[Mau Nikah?] — Tugas Berat
“Pastikan peralatan makanannya yang menghampiri mulut, bukan kepala kamu yang ikut nunduk.”
Kendra berdiri termenung tak jauh dari meja makan, tempat di mana Abi duduk sambil memegang garpu dan pisau sambil dipelototi seorang perempuan berusia 40 tahunan yang berdiri persis di sebelah gadis tersebut. Di seberang Abi, Kendra melihat ibunya duduk sambil menopang wajah dengan kedua tangan bertaut di bawah dagu, memeriksa setiap gerak-gerik Abi dengan teliti.
“Coba praktikkan cara tertawa seperti yang saya ajarkan tadi. Intonasinya ringan, tidak terlalu tinggi, namun tetap natural.”
Kendra melihat Abi tertawa dengan gugup. Meski tawanya terdengar baik-baik saja di telinga Kendra, perempuan yang berdiri di sebelah Abi tetap saja tidak puas.
“Bukan begitu. Coba dibuat lebih natural lagi dan jangan terkesan seperti mengejek.”
Abi melirik Susan, sang guru kepribadian yang dibawakan Titiek untuknya dengan takut-takut. Ia masih belum sadar kalau ada orang lain yang ikut memperhatikan sesi latihan siang itu, yaitu calon suaminya sendiri.
Abi kembali menatap Titiek. Sulit rasanya harus tertawa senatural mungkin jika dihadapkan pada lawan bicara seperti calon ibu mertuanya. Apalagi, ekspresi wanita itu sangat jauh dari kata ramah. Namun, Abi tetap mencoba.
Kali ini, menurut Susan, cara tertawa Abi sudah jauh lebih baik. “Iya, begitu, tapi posisi tubuh kamu jangan berubah, tetap tegak dan anggun. Jangan ikutan membungkuk. Ayo, coba sekali lagi.”
Kendra melihat Abi mengangguk patuh sambil menarik napas, seperti membuat ancang-ancang dan mencoba menirukan apa yang ia lakukan sebelumnya. Saat itulah, Abi menoleh dan melihat Kendra berdiri di batas antara ruang makan dan ruang keluarga. Sulit rasanya menahan rasa sedih yang ia rasakan sejak kali terakhir mereka bertemu kalau melihat wajah sang calon suami. Namun, Abi tetap memaksakan seulas senyum, menyapa sekaligus meyakinkan Kendra bahwa ia baik-baik saja — meski sebenarnya tidak. Setelah itu, Abi kembali fokus melakukan perintah Susan untuk melatih cara tertawanya.
“Sudah, itu biar jadi urusan Mamamu saja. Toh, niatnya baik.”
Kendra menoleh, tak sadar entah sudah berapa lama Langgeng ikut memperhatikan sesi latihan Abi sama seperti dirinya.
“Tumben Papa di rumah?”tanya Kendra separuh terkejut, separuh heran.
Langgeng mengangkat kedua alisnya. “Makanya, mumpung Papa di rumah, mending kamu temani Papa main catur.”
Kendra pasrah ketika ayahnya merangkulnya menuju ruang kerja pria tersebut. Sudah yakin ada obrolan yang ingin dibahas juga ketika Kendra melihat Langgeng menutup rapat pintu ruang kerja pria tersebut. Kendra tertawa pelan tanpa sadar. Gerak-gerik ayahnya, seperti mau melakukan pelobian politik saja.
“Nah, kita mulai sekarang?” Langgeng mengatupkan kedua tangannya dalam sekali tepuk, lalu mengempaskan tubuh pria itu di kursi kerjanya yang nyaman.
Kendra sigap merapikan papan catur untuk mereka berdua. “Papa mau ngomongin apa sampai pintunya ditutup segala?” todong Kendra terus terang, membuat Langgeng otomatis tertawa karena maksudnya terbaca jelas oleh sang putra bungsu.
“Papa cuma mau ngobrol santai sama kamu, kok langsung dicurigai?”
Ekspresi Kendra lantas berubah skeptis. “Mana mungkin.” Kendra mulai memajukan salah satu pionnya, lalu diikuti gerak pion ayahnya.
“Rencanamu setelah nikah itu gimana? Istrimu mau diajak tinggal di mana?”
“Di apartemen Kendra lah, Pap,” jawab Kendra enteng sambil memikirkan strategi mengalahkan bidak ayahnya.
“Memangnya nyaman tinggal di apartemen? Apa nggak lebih nyaman tinggal di sini? Lebih luas dan hidup. Papa perhatikan, Abi sepertinya tipikal anak rumahan.”
Kendra yang sudah hampir menggerakan bentengnya urung. Ia menatap Langgeng dengan kedua alis terangkat heran.
“Papa serius mau minta istri Kendra tinggal di sini?”
Langgeng tersenyum geli. “Calon,” ralatnya.
“I — Iya, masih calon, sekarang, tapi kan bakal jadi istri.”
Langgeng tertawa sekali lagi. “Ayo, giliran kamu.” Agaknya senang sekali ayahnya Kendra ini menggoda putra bungsunya. Dengan sekali gerakan, Kendra menjatuhkan bidak kuda milik sang ayah.
“Enggak, Pap. Kasian Abi jadi bulan-bulanan Mama kalau tinggal di sini,” jawab Kendra tegas. Langgeng mengangguk-angguk paham. Ia mengambil langkah strategis lain pada papan catur, membuat posisi benteng Kendra yang baru saja menjatuhkan kudanya terancam.
“Bagaimana soal karir kamu? Apa nggak tertarik untuk gabung dan bantuin Mas Rendi mengelola bisnis keluarga? Kan lebih nyaman kalau kamu nggak jadi bawahan orang lain. Di sana juga, kamu pasti harus pintar-pintar bersikap supaya dapat perhatian bosmu, kan?”
Kendra terdiam, entah memikirkan strategi atau merenungkan kebenaran perkataan ayahnya.
“Itu kan hal yang wajar terjadi di setiap organisasi, Pap. Selama kita bisa membuktikan kualitas diri sendiri kan nggak ada salahnya?”
“Ya memang… tapi kalau ada jalan yang mudah, kenapa harus memilih jalan yang susah?”
Kendra lagi-lagi menggeleng. “Biarin Kendra berusaha dulu, Pap. Perjalanan Kendra udah sejauh ini. Lagian… tunggu, Papa sengaja ya ngajak ngobrol Kendra biar gampang menangnya?” Kendra menatap posisi bidaknya yang kian tersudut. Persis seperti anak kecil yang sedang merajuk kepada ayahnya.
Langgeng, untuk kesekian kali hanya tertawa melihat ekspresi putranya yang masih saja mudah dikecoh. Sedikit dipanciang membahas calon istrinya, pertahanan Kendra sudah goyah.
Kendra pasrah, tak lagi tertarik melanjutkan permainan. Ia menatap ayahnya dengan alis bertaut.
“Lagian, kalau Kendra nggak kerja di perusahaan sekarang, Kendra nggak bakal ketemu Abi. Jadi, tolong Papa hargai usaha Kendra.”
Langgeng menganggut-anggut sambil menggerakkan pion andalannya. “Skakmat,” ucapnya, membuat Kendra yakin, ayahnya memang memiliki pikiran yang cermat cermat dan cara-cara lincah tersendiri untuk memenangkan sebuah perdebatan. Hanya kepada Kendra lah, Langgeng bersedia mengalah.
Namun, tetap saja, Kendra tidak menerima kekalahannya semudah itu.
“Satu game lagi,” ucapnya yakin yang langsung dituruti Langgeng. “Oke.”
Ketika Kendra masih asyik bermain catur dengan Langgeng, sesi latihan Abi telah berakhir pada pukul empat sore. Susan memberikannya segudang pekerjaan rumah yang harus Abi latih di depan cermin nanti malam; cara tersenyum, cara tertawa, cara anggun menggunakan peralatan makan… bahkan hingga bagaimana menyeka noda sisa makanan di sudut bibirnya.
Belum sampai rumah saja, Abi sudah pusing duluan. Terlebih lagi, ia belum bisa pulang karena Kendra belum juga muncul. Abi terpaksa menemani Titiek menyeruput teh sorenya di halaman belakang kediaman keluarga Adinata.
“Besok saya ada arisan, tapi sesi belajar kamu harus tetap jalan.”
Abi menoleh kepada titiek yang kini sibuk membaca koran. Ia lalu mengangguk. “Baik, Bu.”
“Dua minggu ini, kamu fokus pelajari seluruh materi yang diberikan Susan. Jangan sampai ada yang terlewat. Cara duduk kamu harus terus dilatih, jangan membungkuk, jangan keseringan menunduk. Kamu ini akan segera jadi bagian dari keluarga Adinata.”
Abi otomatis menegakkan posisi duduknya sambil mengangguk. Perasaannya benar-benar tertekan dengan sekelumit aturan yang harus ia pelajari dan aplikasikan ke kehidupannya sekarang. Tapi apa yang ia dapat? Genggaman tangan sebagai bentuk dukungan dari calon suaminya sendiri pun tidak.
Mengingat hal tersebut, tubuh Abi mendadak lesu kembali. Namun, ia cepat-cepat membetulkan posisi duduknya ketika Titiek mendelik kepadanya.
“Kamu nggak tahu dunia politik itu seperti apa. Setiap gestur punya arti penting.” Titiek kembali memusatkan perhatiannya pada koran di tangannya. “Saya nggak mau karena kesalahan setitik, karir suami saya — keluarga saya — berantakan. Jadi kamu, sebaiknya selalu hati-hati.”
Abi lagi-lagi hanya mengangguk patuh. “Iya, Bu.” Lalu tak lama, ia seakan mendengar gumaman Titiek bersungut-sungut,
“Coba si Kendra itu cari pasangan dari kalangan darah biru, aku nggak bakal serepot ini menjelaskan semua hal dari awal.”
Abi pun hany abisa terdiam, menyentuh cangkir tehnya sendiri pun tak berani. Ia hanya membiarkan minumannya mendingin ditiup oleh angin sore sehabis hujan sampai Kendra dan Langgeng datang.
“Ayo, pulang.” Suara Kendra tiba-tiba saja muncul di belakang Abi, membuat gadis itu terperanjat. Dilihatnya calon suaminya datang bersama dengan calon ayah mertuanya. Abi buru-buru bangkit berdiri, menyapa Langgeng.
“Selamat sore, Pak.”
“Papa aja. Kamu ini kayak sama orang lain aja. Panggil Papa dan Mama aja, kayak Kendra.”
Abi mengangguk seraya tersenyum lalu kembali melirik Kendra yang kini berdiri menunggunya. “Ayo, pulang,” ajak Kendra sekali lagi.
“Buru-buru banget sih, Ken. Papa kan belum sempat ngobrol sama calon menantu Papa,” keluh Langgeng sambil mengambil posisi duduk persis di sebelah istrinya. Dilihatnya sang istri tengah membaca berita tentang dirinya yang baru saja hadir pada acara peresmian sebuah renovasi stasiun.
“Kasian Abi capek, Pap,” bela Kendra sementara Abi hanya bisa celingukan sebagai topik pembahasan dan terjebak di antara kedua pria tersebut.
“Protektif sekali kamu ini sama calon istrimu…” Langgeng tertawa meledek lalu menerima cangkir teh yang baru saja dituangkan Titiek dengan raut wajah datar, tanpa ekspresi, tampak tidak tertarik untuk ikut campur dalam obrolan tersebut.
“Tapi, nggak apa-apa, pria memang harus begitu.” Langgeng menyeruput tehnya sambil mengangguk-angguk. “Sering-sering main ke sini ya, Abi. Anggap saja rumah sendiri.”
Abi tersenyum lebar merespons sikap hangat calon ayah mertuanya. “Iya, P — Pa,” ucapnya sedikit kaku sambil lagi-lagi melirik Kendra yang hanya tersenyum dan mengangguk, memberikan keyakinan kepada Abi untuk membiasakan panggilan baru kepada kedua orang tuanya.
“Nanti salam aja buat Mas Rendi sama Mbak Dira ya, Pa, Ma. Kendra sama Abi pamit pulang dulu.”
“Hm…,” gumam Titiek sambil sibuk kembali membaca koran.
“Abi pulang dulu, Pa, M — Ma….”
Berbeda dengan respons acuh tak acuhnya kepada Kendra barusan, Titiek langsung mendelik begitu Abi memanggilnya dengan sebutan “Mama”, membuat bulu kuduk Abi seketika meremang, seolah-olah ia baru saja melakukan kesalahan besar.
Untungnya, Kendra segera mengajak Abi pulang, mengakhiri sesi lirikan dingin menusuk yang diberikan Titiek kepada Abi. Hati Titiek rasanya masih belum rela menerima panggilan baru dari sang calon menantu. Tapi, apalah dayanya jika suaminya sendiri yang memberikan kuasa kepada Abi untuk memanggilnya begitu?
“Kenapa sih, Ma…? Kok resah sekali nampaknya.” Langgeng mengambil alih koran di tangan Titiek. Menghentikan kesibukan sang istri, meminta perhatiannya.
Titiek otomatis mendesah kesal. “Pa, Abi itu nggak punya pengetahuan dasar soal etika sosial — “
“Dia kan bisa belajar, Ma…,” tukas Langgeng, “Sudah lah. Mama nggak usah terlalu khawatir soal itu. Mama itu harusny alebih fokus memperhatikan kesehatan Mama. Kalau Mama stres terus, nanti gula darah Mama naik.”
Titiek langsung terdiam begitu Langgeng menasihatinya, layaknya seorang istri yang penurut, begitulah ia selalu dididik.
“Mama cuma mau yang terbaik untuk anak-anak dan keluarga kita, Pa… Ini semua kan berkat usaha dan kerja keras Papa selama bertahun-tahun. Jangan sampai — “
“Iya, Papa paham… Mama niatnya baik, tapi kan caranya bisa lebih baik, Ma. Mama harus kasih Abi kesempatan juga. Jangan skeptis begitu.”
Merasa tak ada gunanya memperpanjang perdebatan dengan sang suami, Titiek akhirnya hanya bisa menghela napas. Ada tugas penting yang harus ia lakukan ketimbang membahas calon menantunya yang masih membuat hati Titiek merasa dongkol.
“Mama siapin baju Papa dulu buat dinas ke Riau besok pagi.”
Langgeng langsung menahan lengan istrinya, enggan dibiarkan menikmati teh sendiri sore itu.
“Nanti aja lah, Ma. Sini dulu, temenin Papa ngobrol. Jarang-jarang Papa bisa ngobrol sama istri sendiri. Malah lebih sering ngobrol sama Pak Presiden.”
Titiek kembali mengembuskan napas seraya tersenyum. Suaminya itu memang paling pintar meneduhkan suasana hatinya yang sedang panas. Terkadang sikap manja Langgeng juga yang Titiek yakin diwariskan kepada sang putra bungsu. Begitu juga dengan sifat penuh ambisinya. Tak heran kalau Langgeng sendiri sering kalah jika berdebat dengan Kendra.
Mana sanggup ia melawan versi muda dirinya sendiri?
Rasanya seperti ada trauma kecil setiap kali Abi berada di mobil Kendra. Tempat itu masih menyisakan sedikit rasa sesak setiap kali suasana hening memenjarakan kebebasan Abi berbicara di dalamnya. Sampai-sampai Abi pun merasa tak tahan dan meras harus menyuarakan tanda tanya dalam kepalanya.
“Mas?”
“Hm?”
Abi menoleh, melihat Kendra tetap fokus menatap bagian depan jendela mobilnya. Entah apa yang dirasakan pria itu duduk berdua saja dengan Abi sepanjang jalan dalam keheningan. Kendra tampak sama sekali tak terusik.
“Memang aturannya kalau di mobil itu nggak boleh ngobrol, ya?”
“Hah?” Kali ini Kendra menoleh, meski hanya sepersekian detik. “Aturan dari mana?”
Abi mengangkat kedua bahunya singkat. “Habis setiap di mobil, Mas selalu diem aja.”
Ekspresi Kendra mendadak berubah, gelagapan seperti orang tertangkap melakukan kesalahan.
“O — Oh, enggak. Ini aku memang su — suka keasyikan dengerin lagu di radio,” jawabnya terbata-bata, tak terlalu meyakinkan Abi.
Kendra hanya terlalu malu mengakui kalau sampai detik ini, ia masih tetap merasa berdebar-debar setiap kali harus berduaan saja bersama Abi. Ia bukannya sibuk mendengarkan lagu di radio, tapi sibuk meredakan salah tingkah dirinya sendiri. Jangankan memikirkan mengajak Abi mengobrol, ingin membahas apa kepada calon istrinya pun otak Kendra seperti kosong duluan, hanya bisa memikirkan bagaimana caranya menyetir dengan selamat sampai tempat tujuan.
Ketika diliriknya Abi kembali, Kendra hanya bisa melihat perempuan mengembuskan napas lesu. “Oh….”
“Ke — Kenapa? Kamu bosen, ya? Mau ganti lagunya? Atau mau ngobrol sesuatu?”
“Enggak, Mas. Nanggung juga, udah deket rumah. Bentar lagi sampai,” jawab Abi datar.
Sunyi kembali menemani perjalanan mereka hingga mobil Kendra tiba persis di depan rumah Abi. Ia sudah berniat akan mengantar Abi sampai ke dalam rumah, sekalian berpamitan, tapi Abi keburu mencegahnya.
“Makasih ya, Mas, sudah nganterin pulang. Ibu sama Ayah ada acara pengajian di rumah tetangga, jadi nggak perlu mampir. Selamat istirahat, Mas. Semangat kerjanya besok — “
“T — Tunggu,” ucap Kendra buru-buru sebelum Abi membuka pintu mobil. Gadis itu memutar tubuhnya kembali, menatap Kendra bingung.
“Kenapa?”
Kendra melipat bibirnya ragu. Ia merasa ada sedikit perbedaan dari sikap Abi hari ini. Gadis itu tampak lebih pendiam ketika berdua saja dengan Kendra. Tapi mungkin… hari ini Abi hanya kelelahan saja. Mungkin, pelajaran hari ini memenuhi pikiran Abi, begitu pikit Kendra. Ia tak sampai hati memikirkan bahwa dirinya sendiri lah yang menjadi sumber kegalauan perasaan sang calon istri.
“A — Aku… boleh nggak latihan megang tangan kamu sebentar?”
Lagi, batin Abi, ia tak berani berekspektasi banyak. Meski tetap saja, ia terperangah mendengar permintaan Kendra.
Abi menengadahkan telapak tangannya kepada pria di hadapannya. Seperti yang sudah Abi kira, genggaman tangan Kendra tak berlangsung lama. Sedikit lebih lama dari kemarin — sekitar satu menit — tapi tetap saja membuat Abi merasakan kekecewaan yang sama. Seakan acara pegangan tangan itu hanyalah agenda formalitas, bukannya afeksi yang mencerminkan perasaan Kendra.
“U — Udah. Makasih, Abi.”
Abi menatap kosong tangannya yang kini sudah terbebas. Senyum sendu perlahan muncul di wajahnya.
“Mas.”
“Ya?”
“Kalau Mas mau megang tangan aku, nggak perlu izin. Pegang aja. Tapi nanti aku bakal tetap izin kok kalau mau megang-megang, Mas,” tukas Abi sambil memksakan diri menatap Kendra sebelum turun dari mobil. Wajah pria itu tampak bingung, mencoba menrcerna ucapan Abi barusan.
“Aku pamit, ya. Hati-hati pulangnya, Mas.”
Kendra tak mengerti kesalahan apa yang ia perbuat, tapi malam itu, ia menyesal membiarkan Abi masuk rumah dengan ekspresi muram di wajah gadis itu.
— tbc.