[Mau Nikah?] — Usaha Kendra Minta Maaf
Kalau ada lomba adu jeli dengan CCTV, agaknya Noah yakin Kendra bakal menang. Bayangkan saja, sejak pagi, atasannya itu sudah tampak gelisah. Terus mondar-mandir di sekitar area sekre seperti mesin penyedot debu. Alasannya juga tidak jelas — memeriksa kemiringan sudut lukisan yang dipajang di dinding lah, memastikan karpet lantai merekat sempurna — terutama di bagian-bagian sudut, dan juga yang menurut Noah paling konyol adalah… memeriksa sabun cair di area kamar mandi dekat sekre apakah terisi penuh atau tidak.
“Lu ini Manajer ya, bukan OB. CEPET KERJAN TUGAS LU YANG BENER!”
Kendra bersungut-sungut mendengar omelan Noah ketika pria itu menyeretnya kembali ke ruangan. “Kok lu berani-beraninya ngomelin atasan lu sendiri?”
Namun, Noah tidak peduli. Ia rasa, sikap Kendra ini sudah di luar nalar. Sebaiknya Kendra segera dikurung di ruangan sebelum para pegawai berpikir kalau Kendra sedang depresi hingga mengerjakan hal-hal tak jelas.
Segala usaha Kendra untuk menghampiri Abi hari ini pun seakan dicekal semesta. Ketika ia hendak mendatangi Abi di pantri, ada pegawai lain yang sedang mengajak bicara gadis tersebut. Saat Kendra baru mau menyapa usai rapat, Pandu lebih dulu menariknya, mengajak diskusi bersama Pak Ismet mengenai rencana touring mereka akhir pekan ini. Juga ketika Kendra memberanikan diri berkunjung ke ruangan sekre langsung, kebetulan Bu Indri sedang berada di sana dan mengomeli satu per satu sekretarisnya. Otomatis, nyali Kendra menciut kembali. Berakhirlah ia mengerjakan hal-hal tak jelas seperti yang dikatakan Noah.
Tapi tentu, itu saja tidak cukup untuk menghentikan Kendra yang kadung di ambang kecemasan bahwa hubungannya dengan Abi akan kandas. Jam makan siang kali ini, ia sengaja menolak sekuat tenaga ajakan Pandu untuk makan bersama para dewa untuk melanjutkan pembahasan mengenai rencana touring klub motor SM. Konon grup itu juga menjadi tempat terselubung bagi para dewa untuk membahas sang “Ibu Suri” karena hanya di grup itulah Bu Indri tidak menjadi anggota di dalamnya.
Untungnya, siang ini Kendra bisa lolos. Setelah dicecar Pandu dengan tuduhan, “Mau lunch sama calon istri kamu, ya? Okelah, saya ngalah kali ini. Yang penting kamu diizinin ikut touring pas weekend.” Kendra dibiarkan pergi menuju ruang sekre yang tengah sepi. Info inipun ia dapatkan dari Tantina yang kebetulan berpapasan dengan Kendra di lift tadi. Kendra hendak keluar, sementara Tantina ingin turun ke lobi karena suaminya tengah menunggu di parkiran, ingin mengajak makan siang bersama.
“Temenin aja, Pak. Abi makan bekal sendirian di ruang sekre. Kak Marco nemenin Ibu lunch sama Dirut Beta Mart.”
Kendra sejujurnya agak terkejut melihat Tantina tersenyum penuh arti kepadanya, senyum yang menyiratkan bahwa perempuan itu pasti tahu ada hubungan apa antara Kendra dan Abi, serta apa yang tengah terjadi di antara mereka. Namun, Kendra tak sempat memastikan. Pintu lift keburu tertutup dan sosok Tantina ikut menghilang di dalamnya.
Kendra akui, informasi yang diberikan Tina sangat berarti. Ia kini bisa melangkah dengan sedikit tenang mendekati Abi yang sedang duduk di mejanya sendiri. Gadis itu tak menyadari kedatangan Kendra, sibuk menonton drama Korea di ponselnya sambil menyendok bekal makanannya sendiri perlahan ke mulut. Sampai-sampai, Kendra sendiri harus berdeham untuk mendapatkan perhatian Abi.
“Ehm….”
Abi buru-buru mencopot earphone yang ia kenakan, lalu sigap berdiri menghadap tamunya. “Siap, ada yang bisa dibantu?”
Senyum di wajah Abi langsung pudar begitu menyadari tamu yang menunggunya adalah Kendra, orang terakhir yang ingin ia temui di muka bumi hari ini.
“Bapak ngapain nyamperin saya yang calon pengangguran ini?”
Kendra berdiri gelisah di tempatnya mendapatkan tatapan tidak ramah dari Abi. “Maaf, Abi. Saya keceplosan bilang kamu calon istri saya, jadi saya ralat.” Kedua tangan Kendra pun ikutan bertaut, tampak jelas Kendra sedang diliputi rasa grogi.
Bukannya merasa lega, setelah mendengarkan penjelasan Kendra, Abi justru jadi makin kesal. Ia mendelik tajam. “Jadi, memang rencana nikahnya mau diralat juga ya, Pak?”
Tubuh Abi mulai sedikit bergetar. Ia merasa makin sedih mengingat orang tuanya sudah terlanjur senang sejak tahu kalau putri kesayangan mereka kini punya teman dekat pria. Semalam, saat menjemput Abi juga, ayahnya sempat menanyakan kembali mengapa sosok “teman pria Abi” tempo hari tidak muncul di halte. Apakah mereka tidak pulang bersama? Seolah-olah Abi dan Kendra sudah jadi sepaket saja. Padahal, dikenalkan secara resmi juga belum. Abi tak sampai hati mengatakan kepada orang tuanya kalau kedekatan antara ia dan si pria tinggi yang berhasil menawan perhatian Basuki itu harus berakhir secepat laju kereta shinkansen.
“Ya iya, sih. Siapa juga yang mau nikah sama CALON PENGANGGURAN,” tambah Abi penuh penekanan emosi di bagian akhir.
Abi memalingkan wajah, enggan menunjukkan perasaan kecewanya kepada Kendra. Ia yakin wajahnya juga pasti memerah sekarang dan itu bukan karena Abi kepanasan akibat mengenakan sweater tebal hari ini — karena suhu di ruangannya terasa sedingin Kutub Utara — tetapi karena amarah yang kian memuncak hingga tak terasa mata Abi ikutan menghangat dan berair, membuat rasa bersalah semakin menggerogoti diri Kendra. Pria itu nyaris saja… nyaris saja ingin memeluk Abi.
“Bu — Bukan gitu, Abi.” Kendra menggaruk tengkuknya salah tingkah, bingung bagaimana lagi harus menjelaskan kepada gadis yang ia harap masih bisa ia sebut sebagai calon istrinya.
Mengabaikan Kendra yang masih belum menemukan kata-katanya, Abi bergegas merapikan kotak bekalnya yang baru separuh ia habiskan. Nafsu makan Abi hilang.
Jangankan makan, sekarang yang ada, ia ingin segera kabur dari hadapan Kendra. Kemudian, Abi juga merapikan pakaiannya yang baik-baik saja — seakan sedang mengais kembali harga dirinya yang sempat berceceran karena membiarkan Kendra melihatnya kecewa hanya karena… hanya karena tidak dianggap sebagai calon istri — dan malah dianggap calon pengangguran.
“Selamat cari calon istri baru ya, Pak,” tandas Abi sambil melangkah menuju kamar pantri untuk mencuci peralatan makannya. Namun, baru selangkah saja, tangan Abi keburu dicekal oleh Kendra.
“Tu — Tunggu, Abi.”
Abi berhenti hanya untuk melihat pergelangan tangannya sendiri yang dicengkeram kuat-kuat oleh tangan besar Kendra. Ia lalu mendongak, melihat Kendra yang kini berjengit melepaskan tangannya dari tangan Abi.
“So — Sori, saya nggak maksud — “ Melihat Abi membuang muka, Kendra buru-buru mengucapkan kalimat apapun yang ada di kepalanya sebelum Abi memutuskan pergi kembali.
“Saya salah. Saya minta maaf. Saya sama sekali nggak berniat merendahkan kamu, Abi. Saya berani sumpah,” ucap Kendra sambil mengacungkan kedua jarinya ke udara. “Saya nggak tahu bagaimana caranya biar kamu maafin saya, tapi saya benar-benar panik kemarin. Beneran nggak sengaja.”
Abi masih belum juga merespons.
“Saya minta maaf. Kalau kamu mau saya berlutut, saya lakuin sekarang.”
Abi memutar bola matanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. Tepat sebelum Kendra menekuk kakinya yang jenjang, Abi mengehela napas, lalu meraih lengan Kendra, menahannya untuk melakukan hal-hal gila yang ada di kepala pria itu.
“Nggak perlu segitunya, Pak. Memang benar kok saya ini calon pengangguran,” ucap Abi lesu.
Tangannya tetap bertahan di lengan Kendra hingga Abi yakin, Kendra tidak akan melanjutkan niatannya benar-benar berlutut di depan Abi. Ia memaksakan seulas senyum kecut di wajah, seperti tertampar kenyataan. Meski memang awalnya Kendra tidak sengaja menjulukinya hal tersebut, Abi sadar yang dikatakan Kendra memang fakta pahit yang harus Abi terima.
“Dan juga calon istri saya,” celetuk Kendra berapi-api, berusaha mengingatkan Abi bahwa apapun yang terjadi di antara mereka, tidak ada yang berubah dari keputusan Kendra untuk mengajak Abi menikah.
Abi menggelengkan kepala seraya berdecak. “Udah, Bapak balik aja ke ruangan. Saya masih ada kerjaan habis ini.” Abi memutar tubuh Kendra, sengaja mendorongnya pergi meski tubuh Kendra terasa berat, tenaga Abi tak sebanding untuk mengusirnya.
Namun, Kendra masih belum menyerah. Ia mencoba kembali peruntungannya. Terakhir, sebelum ia menyesal dan berakhir melakukan pekerjaan-pekerjaan tak jelas lagi.
“Bo — Boleh nggak, saya ketemu orang tua kamu malam ini juga? Akhir pekan ini kan… saya nggak bisa ke rumah kamu. Malam ini… boleh, ya?” ucap Kendra memelas.
Abi menghela napas lalu berkata, “Terserah. Sesempatnya aja, Pak,” sebelum melenggang meninggalkan Kendra ke toilet.
Meski belum seratus persen tenang, Kendra merasa sedikit lebih lega sekarang.
Sedikit.
— tbc.