[Ready, Set, Love!] — What If…

soljaecruise
4 min readSep 27, 2024

--

“Gue baru tau lo bisa nyetir.”

Teza menyeringai mendengar ucapan Karel. Dalam perjalanan menembus jalanan kota Jakarta yang padat saat rush hour, keduanya terjebak menikmati keberadaan satu sama lain dalam mobil Teza. Menurut Teza yang diucapkan Karel barusan terdengar sangat konyol. Seperti biasa, tidak diproses di kepala mungil bocah itu dan langsung meluncur dari mulutnya.

“Emang kalo gue biasa disopirin artinya gue nggak bisa nyetir? Aneh,” sahut Teza.

Karel mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. “Lo kayak keliatan terlalu bossy dan malas buat nyetir mobil sendiri.”

Teza tertawa sinis. Tidak percaya Karel bisa mengatakan hal semacam itu. Ego Teza sedikit tersayat.

“Sepele lo sama gue. Perlu gue jemput lo tiap hari dari tempat les?”

Karel tertawa mendengar lelucon Teza. Kayak dia bukan si megabintang paling sibuk di muka bumi aja, cemooh Karel dalam hati. Ia melirik Teza yang sedang fokus menyetir. Masih tak habis pikir bagaimana ia bisa berakhir bertunangan dengan pemuda paling dikejar-kejar gadis belia di seantero negeri ini.

“Kenapa lo ngeliatin gue? Mulai naksir, ya?” Teza tersenyum percaya diri, merasakan sinyal tatapan Karel yang sudah berlangsung selama beberapa lama.

“Enggak. Gue baru sadar ternyata dari samping jidat lo lebar banget ya. Katanya orang yang jidatnya lebar itu biasanya orangnya sabar. Tapi ya, biasanya kan nggak berarti semuanya.” Karel mengangguk-angguk, melepaskan perhatiannya dari Teza. Tayangan di videotron sebuah gedung pencakar langit yang menampilkan iklan promosi konser Muda-Mudi menarik perhatiannya. Ia melihat dirinya di sana, sekilas, sebelum wajah para personel The Phantom muncul menggantikan, tampil lebih lama. Jelas band itulah yang menjadi bintang utama dalam konser.

“Maksud lo?”

“Masa gitu aja gak paham sih, Kak. Lo jelas bukan kelompok dari yang biasanya itu.” Teza melemparkan tatapan membunuh kepada Karel. Belum pernah ia temukan dalam hidupnya ada seorang gadis — masih kecil pula! — berani mengata-ngatainya di depan wajahnya sendiri.

“Lo jauh banget dari kata Sabar. Teza Arkana dan Sabar itu kayak langit dan bumi, Kak. Jauh, cuma bisa saling pelototan.”

Teza mengeratkan cengkramannya pada kemudi. “Lo mau gue turunin sekarang?” ancam Teza. Ia semakin kesal melihat Karel tampak cuek. Malah sibuk mengganti-ganti lagu di layar tape. Teza memukul setir pelan dengan satu tangan. Ia membuang pandangannya ke luar jendela, enggan menunjukkan wajah kesalnya kepada Karel.

Tak lama, mmobil Teza bergerak keluar dari jalan tol, berbelok menuju jalan protokol utama di mana banyak polisi lalu lintas berjaga di tepi jalan. Teza menekan pedal gas dengan percaya diri hingga seorang polisi berbalut rompi hijau meniup peluit, memberikan kode kepada Teza untuk menepikan kendaraan.

“HAYOLOH, KAK??” Karel berseru panik. “LO NGAPAIN KAK SAMPE DITILANG?”

Teza yang tak kalah paniknya buru-buru menyambar jaket hitamnya di kursi penumpang belakang dan melemparnya kepada Karel. “Tutupin muka lo.” Ia lalu memasang masker di wajahnya sebelum membuka kaca jendela.

“Selamat malam, Pak,” sapa sang polisi ramah. “Bapak tahu sekarang tanggal berapa, ya?”

Teza mengernyit bingung. Mana pernah gue merhatiin tanggalan. Itu tugasnya Dodo, omelnya dalam hati. Namun, ia tetap memasang senyum, pura-pura bodoh dan polos.

“Wah, tanggal berapa ya, Pak? Saya lupa nggak merhatiin.”

“Sekarang tanggal 28, Pak. Mobil Bapak platnya ganjil. Ini area ganjil-genap, Pak.”

Teza meringis dalam hati, meski wajahnya masih tetap menampilkan senyum. Samar, ia bisa mendengar tawa Karel yang teredam di balik jaket. Hati Teza semakin dongkol. Rasanya ia ingin mencekik Karel yang tubuhnya masih jelas bergetar karena tawa.

Begitu Teza menyelesaikan urusan persuratan tilangnya, Ia masu kembali ke mobil. Di sana ia melihat Karel diam tak bergerak di balik jaket.

“Tadi bisa lo ngeatawain gue. Sekarang pura-pura mati, lo?” Teza mencebik. Menekan pedal gas dengan emosi sehingga knalpot mobilnya menderumkan suara kasar.

Karel menarik turun jaket di wajahnya. Tawanya meledak. “Kata gue juga apa, Kak. Udah lo emang paling cocok duduk di kursi penumpang belakang. Biar Bang Dodo aja yang nganterin lo kemana-mana.”

“Gue cuma lupa aturan lalu lintas Jakarta ya, bukannya nggak punya SIM. Nggak usah seenaknya ngeledekin gue lo, Bokem! Berenti nggak lo ketawa!”

Karel mengabaikan peringatan Teza. Tawanya malah semakin menjadi-jadi. Teza diam karena kesal, tapi Karel sama sekali tidak menangkap kilatan-kilatan petir menyambar di sekitar Teza.

“Omong-omong, lain kali nggak usah jemput gue, Kak. Bahaya banget kalo keliatan keseringan bareng. Takut dibidik hengpon jadul.”

“Kenapa? Lo nggak siap mendadak tenar?” ucap Teza angkuh dan kasar. Namun rasa percaya dirinya redup waktu Karel menggeleng kuat.

“Gue nggak siap digerus sama fans lo, Kak. Serem banget. Banyak yang jelmaan tarzan kota.” Tawa Karel mereda. Ia menghapus air mata bahaia yang menggenang di susut-sudut matanya. “Coba aja kita bukan artis.”

“Emang kenapa kalo kita bukan artis?”

“Ya kan kita nggak perlu ngumpet-ngumpet kalo mau kencan?” Teza mengerjap melihat Karel mengatakan kalimat terakhirnya dengan begitu santai, seakan kata-kata itu tidak akan ada efeknya untuk Teza. Teza mega-megap, maju-mundur membalas kalimat Karel.

“Siapa juga yang mau kencan sama lo, Bokem!”

Karel hanya terkekeh pelan. Ia menyandarkan tubuhnya dengan nyaman ke kursi sambil menikmati pemandangan di luar dengan damai. Tak lama, Karel terlelap.

tbc.

--

--

No responses yet