[Ready, Set, Love!] — A Hand to Hold

soljaecruise
6 min readOct 17, 2024

--

What if we rewrite the stars? Say you were made to be mine.

Teza bisa mendengar suara Karel ketika ia masuk ke dalam rumah gadis itu. Dentingan piano mengalun pelan-kencang mengikuti dinamika lagu. Tenggorokan Teza gatal mendengar Karel bernyanyi sendiri, ingin ikut berdiri di sebelahnya dan melantunkan lagu yang sama. Apalagi setelah tahu, Jay — guru vokal Karel — juga ada di sana. Teza tak bisa menahan diri duduk diam saja di ruang tamu sambil bermain game di ponsel sementara Dodo duduk mengawasi di sebelahnya.

Waktu tangan Teza mencengekeram erat lengan sofa yang empuk — mendengar Karel bergurau seru bersama Jay — Dodo dengan cepat melirik wajah sang artis. Kecut, muram, masam. Pria itu duduk dengan tegak dan tegang sambil menggeretakkan gigi. Kakinya juga bergoyang naik-turun gelisah seiring tawa Karel dan Jay yang makin kencang,

Mendadak, Teza bangkit berdiri, membuat Dodo panik. Pria itu melangkah lebar-lebar menuju sudut ruang keluarga, tempat di mana piano diletakkan di rumah Karel. Teza bisa melihat dengan jelas Karel duduk di sebelah Jay sambil memegang ponsel, membaca lirik. Sementara Jay memberikan masukan terhadap cara Karel menyanyikan lagu.

“Kamu tarik napasnya jangan di bagian itu. Coba napasnya dipanjangin sedikit, setelah kalimat to be mine itu, baru ambil napas.”

Karel mengangguk-angguk, mengulangi bagian lirik yang dimaksud Jay. Namun sebelum Karel membuka suara, ia mendapati sebuah tangan besar menepuk pundaknya, Teza.

“Kak Teza!” seru Karel seraya melompat berdiri kegirangan. Teza tersenyum kepada Karel, mengacak-acak rambut bocah itu sebelum mengangguk menyapa Jay.

Jay — tanpa mau repot-repot berdiri — mengulurkan tangan. “Jay, guru vokal Karel.”

Teza menatap tangan Jay dengan satu alis terangkat. “Teza, TUNANGAN Karel,” balasnya sesingkat jabatan tangannya pada tangan Jay. Jay hanya menganggut-anggut, tidak tampak terkejut. Teza berasumsi, Karel mungkin sudah pernah menceritakan hubungan mereka kepada Jay. Hal itu membuat Teza sedikit tenang.

“Sori, kita lanjut latihan dulu, ya? Ayo, Karel. Ulangi bagian tadi.”

Jay kembali memainkan bagian reff lagu, memberi kode kepada Karel untuk kembali bernyanyi. Karel meminta Teza untuk menunggunya sebentar. Ia menunjuk sofa di ruang keluarga, Teza mengalah dan menuruti perintah Karel.

Sekitar setengah jam kemudian, Teza terbangun. Ternyata ia tertidur selagi menunggu. Karel sudah berdiri di hadapannya, memanggil-manggil Teza berkali-kali.

“Kak Teza… bangun, Kak. Kak Teza….”

“Hm….” Teza bergumam, merasakan sensasi terbakar di tenggorokannya, panas dan perih. Tubuhnya juga mendadak menggigil, padahal panas matahari di luar terik. Teza merapatkan jaketnya sambil membetulkan posisi tubuh.

“Jam berapa ini?” tanya Teza dengan suara serak.

“Jam dua siang, Kak. Gue mau bangunin lo makan siang nggak enak tadi, lo tidur pulas banget. Kata Bang Dodo, lo kecapekan, dari bandara langsung ke sini.”

Teza mengedarkan pandangannya, mencari Dodo. Ternyata manajernya itu juga berdiri tak jauh darinya.

“Mau Dodo anter ke rumah sakit, Bang?” tanya Dodo cemas melihat wajah pucat Teza.

Karel duduk di sebelah Teza, menempelkan satu telapak tangannya ke kening pria itu, sementara telapak tangan lainnya ke keningnya sendiri.

“Panas banget, Kak. Lo sakit,” ucap Karel khawatir. Ia buru-buru mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang. Teza yang sudah tak sanggup bicara hanya terkapar lemas, bersandar kembali ke sofa. Samar-samar, Teza bisa mendengar Karel berbicara.

“Om Yuda bisa ke rumah sekarang? Enggak… bukan Karel yang sakit. Itu, pacar — eh, tunangan Karel.” Teza memaksa matanya terbuka untuk melihat ekspresi Karel yang cemas.

“Okee. Karel tunggu di rumah,” ucap Karel sebelum menutup panggilan. Karel kembali menempelkan telapak tangannya di kening Teza sambil meneliti seluruh wajahnya dari jarak cukup dekat.

“Tunggu ya, Kak. Sebentar lagi Om Yuda dateng.” Teza hanya mengangguk pasrah, menikmati rasa nyaman sentuhan tangan mungil Karel di keningnya.

Kak Teza, suamikuuu, ayo bangun.

Mata Teza terbelalak. Pandangannya menatap langit-langit kamar yang asing. Begitu juga wangi mint dan pepohonan yang diciumnya. Jelas ini bukan kamarnya. Teza sadar ada selang infus menancap di punggung tangannya ketika ia hendak meraba kasur yang terasa jauh lebih lebar dari kasurnya, membuat Teza semakin yakin kalau ia pasti tidak berada di rumah.

Teza bersandar pada dipan kasur. Pandangannya mengitari seluruh isi kamar yang baru ia sadari luasnya lebih dari dua kali lipat kamar miliknya sendiri di rumah Ian. Desainnya pun sangat dewasa. Ada beberapa lukisan terpajang di dinding. Lantainya dilapisi karpet tebal yang nyaris tak berdebu. Seluruh furnitur masih tampak terawat meski modelnya terkesan kuno.

Teza terpaku ketika melihat sebuah pigura berisi foto berukuran 4R yang berdiri tegak di bawah lampu tidur. Tangannya meraih benda itu, melihat wajah-wajah familiar dalam foto-foto yang dipajang di ruang keluarga Karel. Di tangan Teza, ada sosok Karel kecil tersenyum cekikikan sambil memeluk kedua orang tuanya. Baik ayah Karel maupun ibunya sama-sama mencium pipi Karel penuh kasih sayang. Saat itu Teza sadar, mungkin kamar ini adalah kamar milik orang tua Karel.

Tok tok tok…

Teza terperanjat mendengar suara ketukan di pintu. Ia menaruh kembali pigura ke atas nakas dan memutar tubuh saat pintu di sisi kanannya terbuka, menampilkan sosok Karel dalam balutan pakaian rumah santai.

“Kak…? Ayo, makan dulu. Mbak Ayu udah masak sop daging.”

Teza mengikuti Karel yang menuntunnya turun dari kasur, keluar kamar. Alih-alih menuju meja makan, Karel justru membawa Teza duduk di sofa ruang keluarga. Di depannya, tv menyala menayangkan Tom and Jerry yang sedang melakukan adegan kejar-kejaran.

Karel meninggalkan Teza ketika pria itu sudah duduk dengan nyaman. Tak lama, bocah itu kembali dengan nampan berisi sepiring nasi dan semangkuk sup, berikut dengan segelas air mineral dan peralatan makannya. Karel duduk hati-hati sambil menaruh nampan di pangkuannya. Tangan Karel sigap hendak menyuapkan makanan ke mulut tunangannya.

“Gue makan sendiri aja,” ujar Teza, tak tega melihat paha Karel yang bergetar menahan nampan dengan telapak kaki berjinjit. Namun, Karel dengan cepat mengelak.

“Kak Teza pasien di sini, nggak boleh protes. Ayo, buka mulutnya,” ucap Karel (sok) galak. Teza terkekeh dan menurut pada akhirnya. Ia menikmati tayangan Tom and Jerry sambil menerima suapan makanan dari Karel — persis seperti yang ibunya lakukan ketika Teza kecil sedang sakit. Ingatan Teza lari ke masa-masa itu. Ia menoleh, melihat Karel yang masih berusaha menyendokkan makanan di piring yang hampir habis.

“Karel,” panggil Teza pelan.

“Hm…?” Karel tak menoleh, sibuk merapikan nasi-nasi yang tersebar di ujung piring. Karena Teza tak kunjung bersuara, Karel menyodorkan suapan terakhir. Ia tersenyum puas melihat piring makan Teza yang bersih ludes.

“Yeay. Habis!” Karel bertepuk tangan. Ia menempelkan kembali telapak tangannya ke kening Teza. “Demamnya juga mulai turun. Kata Om Yuda, obatnya harus diminum habis makan. Sebentar gue ambilin ya, Kak.”

Karel membawa pergi nampan kosong, hanya menyisakan gelas minum Teza yang ditaruhnya di atas meja di depan sofa. Waktu Karel kembali, Dodo datang. Ia membawa pakaian ganti untuk Teza setelah memulangkan koper-koper ke apartemen sang artis.

“Bang, ini ada baju ganti. Siapa tau abang mau mandi dulu sebelum pulang.”

Kening Teza mengerut mendengarnya. “Gue nggak berniat pulang,” ucap Teza.

“Bang… kalo sampe ketauan Abang nginep di sini — ”

“Tenang aja, Bang Dodo. Di sini aman. Nggak sembarang orang bisa keluar-masuk perumahan,” bela Karel. Ia duduk di sebelah Teza sambil membantu Teza meminum obat satu per satu. “Bang Dodo juga boleh nginep di sini. Masih ada kamar tamu yang kosong.”

Teza tersenyum menang setelah menghabiskan obatnya. Ia menyandarkan tubuhnya kembali dengan nyaman, tak memedulikan Dodo lagi yang bahunya terkulai lesu, pasrah.

Malam itu Teza sudah memutuskan, ia ingin dirawat oleh Karel. Ia membiarkan Karel menyelimutinya, mengambilkan minum untuknya, juga memeriksa suhu tubuh Teza sesekali selagi ia menyandarkan kepalanya di pundak Karel. Keduanya menonton Tom and Jerry dengan nyaman bersama. Tangan Teza yang dingin juga menggenggam tangan Karel, mencari kehangatan di sana.

Karel tidak protes, justru merasa senang. Ini kali pertama baginya, ada seseorang yang membuat Karel benar-benar khawatir. Seseorang yang membuat Karel ingin memberikan yang terbaik untuk merawatnya ketika sakit. Karel merasa sedang belajar tumbuh dewasa dan memahami apa arti pengorbanan untuk orang lain. Ia jauh lebih senang karena orang yang membuatnya belajar adalah Teza, tunangannya sendiri.

Perlahan kepala Karel ikut bersandar di atas kepala Teza.

“Kak?”

“Hm…?”

“Gue tau telat banget mau ngomong ini, tapi…,” Karel menarik napas sejenak ketika Teza menegakkan kepalanya untuk melihat Karel yang sedang tersenyum. “Gue seneng banget punya tunangan. Gue seneng, kita tunangan.”

Karel menunduk, mengusap tangan Teza di balik selimut. “Semoga… kita selalu ada buat satu sama lain, di saat susah dan senang ya, Kak….”

Perlahan, sudut-sudut bibir Teza tertarik ke atas, tersenyum tipis sambil mengangguk.

“Gue akan selalu ada buat lo, Bokem.”

tbc.

--

--

No responses yet