[Ready, Set, Love!] — Babay, Kayang!
Tidak ada orang — atau benda — lain yang paling membuat seorang Teza Arkana murka sekaligus iri selain Tedi — boneka beruang kesayangan Karel. Meski sudah berbulan-bulan, bertahun-tahun mencoba mengatasi rasa cemburunya terhadap Tedi, Teza tetap tak bisa menghilangkan perasaan gondok setiap kali Karel lebih memilih memeluk Tedi ketimbang dirinya. Seakan-akan, benda itu bisa bicara saja, pikir Teza tak habis pikir.
Seperti sekarang, ketika van milik Teza yang disopiri Dodo sudah nangkring di parkiran bandara. Kurang dari satu jam lagi, ia harus merelakan Karel masuk ke dalam dan menunggu penerbangannya tepat pada pukul sepuluh pagi, tetapi Karel tiba-tiba saja ngambek — entah apa alasannya Teza tak tahu persis — dan lebih memilih memeluk Tedi sepanjang jalan dari rumah sampai ke bandara. Kalau tidak ingat Tedi adalah benda pemberian alamarhumah ayah mertuanya, Teza pasti sudah membuang boneka itu di jalan tol.
Teza menatap deretan mobil-mobil dari kaca jendela dengan perasaan dongkol. Bandara, kesekian kali, menjadi tempat perpisahan yang dibenci pasangan suami istri Teza dan Karel. Tapi hari ini, Teza makin-makin membencinya karena alih-alih menghabiskan detik-detik waktu tersisa dengan bermesraan, sang istri malah diam saja dengan wajah tertekuk dan bibir manyun di sebelah Teza. Sudah dibujuk dengan berbagai rayuan pun, tetap tidak mempan. Karel lebih memilih memain-mainkan tangan Tedi di atas pangkuan perempuan tersebut, ketimbang menggenggam tangan Teza.
Pantas saja Teza jadi senewen. Kesabarannya yang hanya setipis tisu kini nyaris koyak. Kalau tidak ingat ini adalah momen-momen terakhir mereka sebelum kembali menjalani hubungan jarak jauh, Teza pasti sudah mengomel. Namun kali ini, ia menahan amarahnya setengah mati. Teza bahkan sampai menggigit lidahnya, berusaha tidak mengeluh kepada Karel.
Teza kembali menoleh ke kanan, melihat Karel masih belum merubah posisinya. Ia kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum mencoba peruntungannya kembali. Tangan Teza menyentuh tangan Karel dengan hati-hati.
“Udahan dong ngambeknya, Kyutipaw….” Ada sedikit kemajuan. Karel tidak menepis sentuhan lembut telapak tangan besar Teza di tangan mungilnya. Teza memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyelipkan jari-jarinya di antara jemari Karel. Perlahan senyum simpul terukir di wajah Teza melihat emosi Karel sepertinya mulai mereda.
“Bentar lagi kamu pergi. Masa aku nggak boleh nyium calon istri aku?”
“ISTRI!” Seru Karel kesal. Ia melayangkan tatapan protes terang-terangan kepada sang suami.
Teza terkekeh. “Iya, istri maksudnya. Sori, ingetnya kan kita bentar lagi mau ngadain pesta pernikahan… Udah ya ngambeknya? Sini cium dulu.” Mata Teza sejenak melirik ke depan, melihat Dodo masih setia berdiri di luar sambil merokok.
Karel segera menepis tangan Teza. Tangannya sengaja ia sembunyikan dalam lipatan di depan dada.
“Nggak mau! Kayang belum jawab bakal jemput tanggal berapa.”
“Ya memang belum pasti tanggalnya, Kyutipaw, kan harus nyesuaiin jadwal dulu. Tapi pasti dijemput. Janji,” ucap Teza dengan nada meyakinkan. Tatapannya sengaja menatap Karel lurus-lurus agar istrinya bisa membuktikan sendiri kesungguhan dalam janjinya barusan.
“Janjimu paslu.” Karel memalingkan wajah, enggan menatap Teza, tak mau tertipu lagi. “Aku udah pernah dibohongin waktu itu.”
Teza mantap tangannya yang tergantung di udara setelah mendapat penolakan dari Karel. Ia lalu hanya bisa mengembuskan napas panjang, berusaha menahan rasa sabar melihat istrinya kembali merajuk. Teza menarik tangannya kembali, menyandarkannya di atas paha dalam keadaan terkepal. Meskipun kesal karena dituduh, tapi ia tahu, ia tidak bisa menyalahkan Karel. Memang salahnya sendiri pernah mengecewakan perempuan itu sekali.
“Bener nih nggak boleh cium?” Teza menunggu respons Karel yang tak kunjung datang selama dua menit. Akhirnya, ia pun hanya bisa mendesah pasrah. “Ya udah. Ayo turun aja dari mobil kalo gitu,” ucapnya tak lagi mampu membendung luapan rasa kecewa.
Tangan Teza menarik tuas pintu sehingga pintu mobil perlahan terbuka. Namun, sebelum sempat Teza melangkahkan kaki keluar, Karel lebih dulu melompat ke pangkuan Teza, menahan lelaki itu pergi. Tangannya juga lincah menutup kembali pintu yang sudah sempat terbuka sehingga kini kembali menutup dengan sempurna.
Teza menatap Karel, terkesima melihat pertunjukkan akrobatnya barusan. Tangannya menahan pinggang Karel dengan mantap, tak membiarkan istrinya pindah kembali ke kursinya. Dengan satu gerakan mudah, Teza memutar tubuh mungil Karel agar menghadapnya. Meski wajah Karel masih tertekuk, Teza tahu, emosi perempuan tersebut mulai luluh. Perlahan, Karel mulai terisak kencang sambil merengek.
“HUEEENGG… NGGAK MAU BALIK KE NEW YORK HUHUHU… MAU SAMA KAYANG AJA….”
Teza buru-buru menghapus bulir-bulir air mata yang terjun bebas membasahi wajang sang istri dengan sapu tangan miliknya. Tangannya yang lain sibuk mengusap-usap punggung Karel pelan, mencoba menenangkan.
Teza membiarkan Karel menumpahkan tangisnya di pundak pria itu. Tak peduli kalau kemeja yang digunakannya basah atau belepotan karena kelunturan riasan, Teza rela-rela saja asalkan istrinya berhenti merajuk. Ini yang seharusnya mereka lakukan sejak tadi; setidaknya, berpelukan, bukan malah saling mendiamkan seperti orang sedang menderita sariawan.
“Pasti disusulin kali ini, kan bakal dijemput pulang buat acara resepsi. Kamu mau aku buktiin beli tiket dulu sekarang? Paling nanti tinggal reschedule aja kalau jadwalnya maju atau mundur. Atau kalau hangus ya tinggal beli lagi,” sahut Teza enteng.
Karel menggeleng. Ia tahu, sikapnya berlebihan tadi. Belakangan Teza selalu menepati janjinya; menemani Karel berkencan selama di liburan di Jakarta, sengaja mengorbankan hari liburnya untuk menonton Karel konser, dan hari ini… mengorbankan waktu istirahatnya sebelum syuting demi mengantar Karel ke bandara. Seharusnya, Karel tidak perlu khawatir Teza akan berbohong. Toh, disusul atau tidak, mereka tetap akan bertemu enam bulan lagi, pada hari resepsi pernikahan.
Tangis Karel perlahan terhenti. Ia menjauhkan kepalanya dari pundak Teza agar bisa menatap suaminya dengan mata sembap dan napas cegukan. Teza tertawa kala dilihatnya raut wajah Karel berantakan. Tangannya sigap merapikan rambut Karel kembali seperti semula.
“Masa belum dicium udah berantakan gini. Rugi dong,” ledek Teza yang langsung disambut dengan pukulan keras Karel di dada suaminya.
Tanpa memberi aba-aba, selagi Teza masih terkekeh sambil merapikan rambutnya, bibir Karel menyambar bibir Teza secepat kilat, lalu melumatnya dengan ganas. Teza pun lantas terkesiap, tak sempat mengambil napas, langsung dibungkam dengan ciuman bertubi-tubi dari istrinya. Bibir Teza dengan cekatan mengikuti ritme bibir Karel, melumat dengan liar hingga Karel yang semula lebih agresif kini mulai kewalahan, tubuhnya sedikit-sedikit terdorong ke belakang. Ia tahu, ia tidak akan pernah menang melawan kekuatan besar Teza. Namun begitu, Karel menikmati setiap sentuhan yang diberikan, hingga akhirnya ciuman Teza semakin lama semakin melambat, menyiratkan perasaan sedih dan rindu yang mulai merayap meski raga Karel masih berada di pangkuannya.
Begitu bibir keduanya terasa kebas, Teza melepaskan pagutannya dari bibir Karel. Dilihatnya bibir sang istri membengkak, lipstick merah muda yang ia kenakan juga mencoreng area wajah sekitar bibirnya. Tak lama, Teza melihat Karel tertawa.
“Hahaha… bibir Kayang belepotan lipstick!”
Teza meraba bibirnya sendiri, lalu melihat noda kemerahan membekas di jari-jarinya. Ia kemudian terkekeh dan mengeluarkan sapu tangannya kembali. Dengan lembut ia mengelap noda-noda di area wajah sang istri sebelum menyerahkan sapu tangan tersibut kepada istrinya dan membiarkan tangan Karel bekerja menghapus noda-noda lipstick di wajah Teza.
“Udah yuk, turun. Kasian, nanti Bunda Ina kelamaan nunggu.”
Bibir Karel melengkung kembali, masih tak rela beranjak dari pangkuan Teza. Ia sengaja memainkan ujung kemeja Teza untuk mengulur waktu.
“Hati-hati ya, Kyutipaw,” pesan Teza. Ibu jarinya bergerak mengusap pipi Karel. “Kalau takut — ”
“Jangan lupa minum obatnya,” ucap Karel seraya mendesah lesu. Ia lalu tersenyum getir. “Kapan ya aku bisa naik pesawat bareng Kayang?”
Teza balas tersenyum, meneduhkan hati Karel yang kembali dilanda kegalauan. “Nanti, kamu pulang lagi libur semester depan, kita pulang naik pesawat bareng ke sini, ya….”
Setelah diyakinkan berkali-kali bahwa kali ini Teza tidak akan ingkar janji, akhirnya Karel mau pergi. Teza mengantarnya ke pintu keberangkatan, dan tak lupa sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Bunda Ina yang mau direpotkan untuk menjaga sang istri di tempat nun jauh di sana. Mata Teza pun ikut berkaca-kaca kala dilihatnya sosok Karel kian jauh sambil melambai-lambai. Teza tahu, Karel juga pasti menangis, karena tangan Bunda Ina tak berhenti menggosok-gosok punggung sang istri.
Tetapi, kalau bukan dirinya yang harus selalu terlihat kuat, siapa lagi? Teza sudah bertekad ingin menjadi suami yang selalu bisa diandalkan. Untuk itu, meski hatinya juga tak siap ditinggal jauh sang istri, Teza harus teguh bertahan dan tidak boleh cengeng. Ia harus kuat menjalani LDM ini sampai tiba waktunya bisa tinggal bersama Karel tanpa perlu merasa khawatir lagi dipisahkan kembali oleh waktu.
— tbc.