[Ready, Set, Love!] — Before Too Late

soljaecruise
8 min readOct 30, 2024

--

Dua jam tiga puluh menit empat puluh sembilan detik. Karel melirik jam tangan di pergelangannya. Belakangan benda itu menyerap paling banyak perhatian Karel. Hampir setiap 300 detik berlalu, Karel mengembuskan napas panjang, kemudian melihat keadaan di sekelilingnya. Lalu lalang manusia menyeret koper, menggenggam tiket, berjalan setengah berlari ke pintu keberangkatan, menumpuk gundah yang Karel rasakan. Ada yang mengganjal dalam hatinya. Bukan hanya perasaan berat untuk pergi, tetapi juga sebuah penantian yang Karel tahu sia-sia.

Meski tahu Teza tidak akan datang, sesungguhnya Karel diam-diam masih berharap. Waktu membaca pesan kirimin Teza yang datang bertubi-tubi, perasaan rindu merayap diam-diam memenuhi hati Karel yang sepi. Karel sengaja tak membalas pesan pria itu, tak sanggup lebih tepatnya. Takut menangis di depan Tora dan Dion yang sedang membantu mengantrekan kopernya ke check in counter. Maka setelah mengantongkan ponselnya kembali ke saku celana, Karel minta izin kepada Inara untuk pergi ke toilet. Sebenarnya mau menangis, tapi karena gengsi, bilang saja mau pipis.

“Yaudah ayo, Bunda anterin.”

Gagal lagi Karel punya ruang untuk menyendiri sejenak. Masalahnya, di tengah keramaian seperti ini, Inara tak mau ambil risiko Karel tiba-tiba hilang dan kabur. Jadi, Karel hanya bisa pasrah ketika Ina mengintilinya ke kamar mandi, begitu juga setelahnya, saat Karel minta keluar sebentar untuk menghirup udara segara. Udara di dalam membuat Karel sesak. Teringat akan penerbangan yang akan ditempuhnya. Dan lagi, barangkali… barangkali Teza bakal datang. Nggak ada yang mustahil, kan?

Karel menunduk selagi duduk di kursi. Tangannya menggenggam ponselnya erat-erat dengan kaki bergerak naik-turun gelisah. Tidak ada tanda-tanda pesan ataupun panggilan lagi dari Teza. Mata Karel lalu menatap mobil-mobil yang berhenti di depan tulisan pintu gate dengan harapan tinggi, lalu mendesah kecewa setelahnya ketika mobil-mobil itu berlalu. Terus begitu selama hampir setengah jam.

“Masih mau di sini?” tanya Ina yang sedari tadi menyadari, sepertinya Karel gelisah menunggu sesuatu.

Karel menoleh. “Bunda mau ke dalem? Nggak apa-apa, Karel tunggu di sini aja sebentar. Janji nggak akan kabur,” ucapnya. Inara tersenyum. “Kamu nungguin Teza?”

Karel diam, melipat bibir sambil menelan ludah berat, tidak mengangguk, tidak juga menggeleng, tapi Inara paham. Ia melihat Karel menunduk ketika matanya mulai berkaca-kaca. Tak lama, Karel terisak.

“Kok… Kak Teza jahat banget Bunda nggak dateng nganterin Karel?”

Inara menghela napas. Tangannya bergerak. Mengusap lengan Karel. “Di sini kan banyak orang. Justru Teza nggak mau kamu susah nanti kalau jadi heboh.”

“Ya kan habis ini aku juga bakal pergi. Mereka heboh juga aku nggak di sini,” sahut Karel lesu.

“Berarti kasian Teza dong dikejar-kejar sendiri di sini? Emang kamu mau?”

Karel menggeleng pelan. Tangisannya sedikit mereda setelah curhat kepada Ina. Karel merasa jauh lebih lega.

“Kamu tunggu di sini, ya. Bunda ke minimarket sebentar beli tisu. Janji jangan bikin ulah, ya?” Karel mengangguk pelan. Menuruti perkataan Inara, ia tak beranjak kemana-mana. Hanya sibuk menghapus sisa air mata yang kini mulai membasahi maskernya juga.

Sesekali suara bising kendaraan dan orang-orang yang berbicara keluar-masuk telinga. Namun tidak satupun ada yang bisa menggantikan suara khas Teza di benak Karel. “Bokem.” Panggilan yang selalu Teza ucapkan untuknya. Meski artinya menyebalkan, Karel tak pernah protes.

“Bokem,” Karel tersenyum getir, merasa panggilan itu terus terngiang-ngiang di kepalanya.

“Bokem,” panggilan itu datang sekali lagi. Namun kali ini bukan hanya suara, tetapi juga sosok berkaki panjang yang dilihat Karel ketika masih menunduk. Jantungnya seakan berhenti berdetak melihat boneka beruang dalam genggaman tangan sosok tersebut.

Karel cepat mendongakkan kepala. Meski sambil menyipit, menghalau terang cahaya lampu yang menyilaukan, serta terhalang oleh pandangannya sendiri yang masih agak buram, Karel dapat mengenali sosok yang sedang berdiri di depannya. Teza datang. Tezanya datang.

“Bokem,” panggil Teza sekali lagi. Karel berdiri dari kursinya lambat-lambat. Matanya tak lepas memperhatikan wajah Teza yang tertutup masker. Pria itu juga menggunakan topi hitam gelap sehingga sekarang, nyaris seluruh bagian wajahnya tertutupi.

Teza mengulurkan boneka di tangannya kepada Karel. “Tedi ketinggalan,” katanya. Karel awalnya diam, melirik Tedi yang selalu tersenyum dalam keadaan apapun. Sosok Tedi jadi jauh lebih kecil dalam genggaman tangan besar Teza. Seperti juga tangan Karel, ketika Teza menggandengnya di rumah sakit beberapa hari lalu.

Karel menerima Tedi dengan hati bergemuruh. “Lo dateng cuma buat ngasih Tedi, Kak?” tanya Karel serak. Tapi waktu tangan Karel menarik Tedi, tangan Teza juga tak melepaskan boneka beruang kecil kesayangan Karel tersebut.

Alih-alih melepaskan, Teza malah menarik Karel dan memeluk gadis itu erat. Tubuh Karel bergetar hebat, tangisnya pun pecah kembali. Luapan amarah dan rindu campur aduk, saling sikut-sikutan minta dimenangkan. Tangan Karel bergerak memukul-mukuli dada Teza dengan kesal. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya suara tangisan yang mengiris hati Teza menjadi helaian tipis-tipis. Teza mengeratkan pelukannya, menenggelamkan Karel di balik lengan besarnya yang mengelus-elus bagian kepala gadis itu dengan lembut, penuh rasa sayang. Teza menciumi puncak kepala Karel berkali-kali.

“Nanti gue nyusul ya kalau situasi di sini udah jauh lebih baik,” janjinya. Karel diam, tidak menjawab, hanya sesenggukan. Tangisannya tak mau berhenti karena Karel kesulitan mengontrol perasaannya sendiri.

Teza melanjutkan kesibukannya mengusap-usap kepala Karel, menenangkan gadis itu. Ketika dirasanya Karel sudah jauh lebih tenang, perlahan Teza melepaskan pelukannya. Satu tangannya merengkuh pipi Karel hati-hati, seperti menyentuh benda paling rapuh di dunia.

Cantik. Bahkan saat menangis pun istrinya tetap sosok paling cantik di mata Teza. Sekarang membayangkan ia harus melewati hari-harinya tanpa melihat wajah Karel membuat Teza yang seharian ini sudah gusar jadi semakin muram dan kehilangan semangat hidup.

Karel balas menatap Teza bingung ketika tangan pria itu bergerak melepaskan masker di wajahnya. Tak berhenti di sana, Teza juga melepas masker wajahnya sendiri dan juga topi yang ia kenakan. Sekarang semua orang yang lewat, semua yang berada di sekitar mereka bisa melihat dengan jelas raut menyedihkan sepasang kekasih yang sebentar lagi akan terpisah jauh dalam waktu lama tersebut.

Wajah Teza perlahan bergerak maju — walau awalnya canggung, ia mengecup bibir Karel dengan pelan dan lembut. Satu tangannya merengkuh bagian pipi sementara tangan yang lain merapatkan pinggang Karel pada pingganganya. Bibir tipis Karel yang dingin seakan mencair dalam kehangatan sentuhan bibir Teza. Kecupan yang awalnya ringan itu perlahan-lahan semakin dalam. Memudarkan bayangan dunia di sekitar mereka, mengaburkan rasionalitas yang mendadak hilang entah ke mana. Teza mencium Karel seakan tiada lagi hari esok, tiada lagi kesempatan untuk bisa menikmati apa yang seharusnya bisa ia nikmati sebelum membiarkan istrinya pergi; kasih sayang yang luput, tidak tersampaikan dengan baik.

Karel pelan-pelan membuka sedikit bibirnya, membiarkan Teza menyampaikan perasaan rindu dan kesedihannya dengan caranya sendiri. Bulir air mata Karel mentes lagi sebelum bibirnya ikut bergerak pelan, membalas ciuman Teza, ciuman pertama mereka sebagai suami-istri — yang seharusnya menjadi ciuman pernikahan, bukannya ciuman perpisahan menyedihkan di bandara, dan lagi ditonton oleh puluhan pasang mata.

Karel menaruh telapak tangannya di pipi Teza, berusaha menikmati sisa-sisa terakhir dari momen kebersamaan mereka. Ia bisa merasakan tetesan air mata membasahi pipi pria itu. Teza menangis, seorang Teza Arkana menangis, untuknya. Fakta itu membuat genderang kesedihan di hati Karel bertabuh makin kencang, layaknya lantunan sebuah lirik lagu yang pernah Karel dengar; …the beating of my heart is a drum and it’s lost and it’s looking for a rhythm like you.

Karel memperdalam ciumannya, mengikuti cara Teza menyampaikan perasaan mendambanya pada sosok istrinya tersebut. Ketika perasaan mereka berpadu, menjadi harmoni yang hanya bisa diterjemahkan oleh detak jantung masing-masing, tidak ada lagi yang penting di dunia ini selain kehadiran satu sama lain yang saling melengkapi. Keduanya saling merindukan dan membutuhkan seperti kebutuhan manusia untuk menghirup oksigen. And they know they are fools for letting this kind of misery ruin their happiness.

Napas Karel dan Teza menderu ketika bibir mereka melepaskan milik satu sama lain. Teza sengaja menempelkan keningnya di kening Karel, masih tak rela melepaskan wajah cantik itu jauh dari jangkauannya. Ibu jari Teza pelan mengusap pipi Karel yang bersemu samar di balik cahaya kekuningan lampu bandara.

“Tedi sengaja ditinggalin, Kak. Buat nemenin lo di sini.” Suara Karel terdengar putus putus di sela-sela napasnya yang berat. Teza mengangguk pelan dan langsung memeluk Karel.

“Jangan nengok,” kata pria itu sambil tersenyum, tertawa samar.

Karel seketika panik, mendadak ingat, di mana posisi mereka sekarang. Matanya melirik suasana di kanan-kiri mereka, berkeliling. Tak sengaja Karel menemukan Bunda Ina sedang menahan senyum, sambil pura-pura menutupi matanya dengan kantung belanjaan yang ia bawa. Wajah Karel mendadak merah padam, malu ketahuan habis berciuman oleh manajernya sendiri! Karel refleks memeluk Teza, menyembunyikan wajahnya di sana.

“Malu, Kak. Banyak orang.”

“Nggak apa-apa,” kata Teza tenang, tangannya balas menepuk-nepuk pundak Karel.

“Lo pasti bakal nyusul kan, Kak?” tanya Karel memastikan. Kepalanya sedikit mendongak, mengintip wajah Teza dengan ekspresi penuh harap.

Teza mengangguk. “Iya, pasti nyusul.”

“Janji?”

“Iya, janji.”

Karel menyandarkan kepalanya lagi di dada Teza.

“Karel,” panggil Teza pelan ketika Bunda Ina memberikan isyarat sudah waktunya untuk Karel masuk ke dalam. Teza memberikan kode untuk meminta waktu sebentar.

“Hm…,” gumam Karel masih enggan melepaskan pelukannya dari tubuh Teza.

“Jaga diri baik-baik di sana. Jangan bikin ulah terus, kasian Bunda Ina. Belajar yang bener buat persiapan kuliah. Terus, kalau suaminya ini nelepon atau chat dibales. Jangan dicuekin.”

Karel terkekeh. “Iya….”

I love you,” kata Teza tiba-tiba saja. Kali ini Karel menjauhkan kepalanya demi melihat wajah Teza. Tidak ada yang Karel temukan selain kesungguhan yang menghangatkan hatinya seketika di sana.

Karel tersenyum lebar dan dengan malu-malu menjawab. “I love you, Kak Teza… hehe… tapi itu maksudnya apa, ya? Boleh ciuman di depan orang-orang, kah?”

Tawa Teza menyembur. Oh… bagaimana dia harus melanjutkan hidupnya setelah ini?

Di dalam pesawat, sebelum take off, Karel membuka bingkisan pemberian Teza. Ada headphone, coklat, beberapa komik Crayon Shin-Chan, dan juga obat antimabuk dalam perjalanan. Teza menuliskan pesan di sana — “diminum kalau mual.”

“Dia — Teza — semalem nanya-nanya Bunda, kamu perlu dikasih apa biar tenang pas terbang,” Inara berkata selagi Karel membuka bungkus plastik yang membalut komik pemberian Teza.

Karel menoleh. “Kok tadi Bunda diem aja?” tanya Karel, merujuk pada kejadian ciuman perpisahannya dengan Teza yang ia yakini sudah menjadi bahan gunjingan publik sekarang.

“Emang suami kamu udah izin, kok. Nggak mau kucing-kucingan lagi.”

“Maksudnya?” tanya Karel bingung.

“Iya, nggak mau sembunyi-sembunyi lagi. Biar gampang nyamperin kamu,” jelas Inara.

Karel tersenyum, mengingat betapa manisnya Teza saat mengantarnya masuk tadi. Pria itu melambaikan tangan sambil berkali-kali melayangkan ciuman jarak jauh. Sampai-sampai Dion dan Tora pun heran, melihat sosok Teza seperti bukan sosok Teza yang biasanya.

Karel meminum satu tablet obat pereda mabuk perjalanan yang diberikan Teza. Jantungnya berdebar kencang saat mendengar pengumuman dari awak kabin bahwa pesawat yang mereka tumpangi sudah siap diterbangkan. Karel menggenggam kuat tangan Inara sambil menatap ke luar jendela, melihat bangunan bandara yang diterangi lampu-lampu. Ini adalah pemandangan terakhirnya di Jakarta untuk beberapa tahun mendatang. Meskipun Karel benci dengan kemacetannya, tapi ia pasti bakal merindukan kota ini.

Lampu di dalam kabin pesawat perlahan dipadamkan. Cengkraman tangan Karel di lengan Ina semakin kencang seiring perjalanan pesawat menuju tempat landasan pacu. Suasana gelap membuat Karel sesak napas. Ketika pesawat lepas landas, Karel hanya bisa menahan napas sambil merapalkan berbagai macam doa. Matanya memejam kuat-kuat ketika tubuh Karel tersentak ke belakang dan kakinya tak lagi terasa menapak bumi. Perlahan, pesawat terbang makin tinggi, mencari posisi stabil.

Barulah setelah lampu tanda kenakan sabuk pengaman telah dipadamkan, Karel mulai bisa bernapas lebih lega. Ia mulai sedikit tenang — meskipun sudah hampir menangis. Karel melirik ke luar jendela lagi, pemandangan indah lampu-lampu kota Jakarta membantunya meredakan rasa takut yang sempat membanjiri pelipis Karel.

Inara menepuk-nepuk lengan Karel pelan. “Semuanya bakal baik-baik aja,” kata Ina meyakinkan.

Karel hanya bisa mengangguk seraya tersenyum. “Makasih Bunda Ina.”

tbc.

--

--

No responses yet