[Ready, Set, Love!] — Benda Terlarang

soljaecruise
6 min readSep 26, 2024

--

Malam sebelum pertunangan, Teza duduk termenung di atas kursi piano. Jari-jarinya menyapu kayu berpelitur hitam yang tertutup debu, meninggalkan jejak jemarinya di sana. Tangan Teza lalu bergerak membuka bagian penutup tuts, isi di dalamnya tak kalah usang.

Sejak Teza pindah ke apartemennya sendiri, piano peninggalan ibunya ini hampir tak tersentuh. Dulu Teza sering melihat sang ibu duduk di kursi yang ia tempati kini pada malam hari, memainkan lagu-lagu pengantar tidur untuknya. Sekarang, setelah sekian lama, Teza akhirnya memberanikan diri kembali membawa bayangan itu dalam pikirannya. Membuatnya terhanyut selama beberapa waktu.

Besok adalah hari pertunangannya, makanya Teza memutuskan mampir ke sini. Kepalanya memikirkan kembali alasan mengapa ia menerima permintaan ayahnya tersebut. Sesederhana karena Teza Arkana bukanlah seorang megabintang tanpa perjuangan seorang Ian di baliknya.

Ketika ibunya sakit, kondisi keuangan keluarga Teza menurun drastis. Hampir seluruh harta keluarga dijual untuk membiayai pengobatan sang ibu. Piano inilah satu-satunya benda tertinggal di rumah yang Teza mohon di atas lututnya sendiri untuk tidak dijual. Betapa Teza mencintai benda itu. Baginya piano tersebut sangat identik dengan sosok Maura yang penuh kasih sayang dan menenangkan saat Teza kalut.

Teza ingat bagaimana ayahnya banting tulang, berjuang keras mencari uang demi kesembuhan sang istri. Namun, usia Maura tak bertahan lama setelahnya. Teza yang saat itu masih kuliah terpukul, tapi lebih tersayat lagi ketika ia melihat Ian berusaha tegar.

Dengan banyaknya beban keuangan yang ditanggung, Ian masih berusaha mendorong Teza untuk menyelesaikan kuliahnya. Ian juga yang mendukung keinginan Teza untuk merintis karier sebagai artis. Teza ingat, dengan sepeda motor butut satu-satunya, Ian mengantar Teza dari satu panggung konser ke panggung konser lainnya.

Teza menghargai betapa keras perjuangan Ian menggantikan sosok Ibu untuk Teza. Itu mengapa, ketika Ian meminta Teza menerima perjodohan ini, ia tidak sanggup menolak meski hatinya meronta.

Teza mengembuskan napas. Menutup kembali piano tanpa sempat menyentuhnya. Pengorbanannya menerima perjodohan ini sama sekali tidak sebanding dengan apa yang sudah ayahnya berikan untuk Teza selama ini.

***

Tidak pernah Karel bayangkan sebelumnya, ia akan memiliki seorang tunangan ketika dirinya sendiri bahkan masih seorang siswi SMA. Meski sejujurnya, Karel tak terlalu ambil pusing. Que sera, sera. Karel yakin ini memang bagian dari perjalanan hidup yang harus ia lewati, sama seperti momen ketika ia harus menghadapi kepergian orang tuanya sendiri. Karel percaya semua ini adalah takdir.

Pagi ini ketika Ina menyeretnya ke salon untuk didandani, Karel hanya duduk, memasrahkan diri sepenuhnya kepada para pekerja profesional yang kini berhasil menyulap penampilan Karel. Karel hampir tak mengenali dirinya sendiri waktu berkaca.

Bloody hell. Siapa cewek anggun dan menawan itu?

Bukan hanya Karel, Inara, bahkan juga Tora dan Dion ikut memuji penampilannya siang ini. Hari ini Karel mengenakan gaun midi sederhana berwarna biru gelap. Pakaian itu justru membuat Karel tampak lebih dewasa dari usianya. Waktu Karel sampai di rumah Teza, ia melihat pria itu mengenakan batik lengan panjang sewarna dengan gaun Karel. Meski ini adalah pertunangan resmi, acaranya memang sengaja dibuat seperti pertemuan keluarga biasa. Hanya bertukar cincin. Dari pihak Karel, hanya Tora dan Dion yang datang sebagai perwakilan keluarga, sementara Teza sendiri cukup mengundang Mario sebagai saksi.

Sebelum prosesi tukar cincin, wajah Teza mengernyit melihat Karel yang duduk di seberangnya. Bocah itu sedari tadi sibuk bercanda dengan Dion. Sesekali tangan Karel iseng memukul tangan Dion. Sebaliknya, Dion dengan jahil juga sengaja merusak tatanan rambut Karel yang dikeriting. Rasanya aneh ketika melihat ada orang yang tahan dengan sikap pecicilan calon tunangannya tersebut. Teza bergidik.

Begitu tiba saatnya saling bertukar cincin, mata Karel tak bisa tak terpesona pada cincin bermata safir yang terlihat sangat mungil dalam genggaman Teza. Cincin itu tampak antik. Terbentuk dari sulur-sulur emas melingkar, mirip seperti cincin mawar biru.

Teza berdeham singkat sebelum mamasangkan cincin warisan leluhurnya itu di jari manis Karel. “Jangan sampe hilang. Ini cincin turun-temurun,” Teza memberi peringatan halus, Karel masih bisa mendengarnya. Ia pun mengangguk pelan, masih menganggumi cincin yang ternyata sedikit kelonggaran di jari manis Karel.

Gantian Karel yang menerima cincin emas putih polos tanpa hiasan sama sekali untuk Teza. Tangan Karel gemetar waktu menyentuh jari-jari Teza, jantungnya seperti mau meloncat saking gugupnya. Karel tidak berpengalaman sama sekali soal pria. Ini juga kali pertama Karel menyentuh lawan jenis selain Tora, Dion, dan Jay — guru vokalnya. Itupun bukan dalam rangka mengikat hubungan dengan satu sama lain seperti ini. Karel terdiam lama waktu cincin itu sudah terpasang sempurna di jari manis Teza. Tangan Karel tak lepas dari cincin itu sampai Teza berdeham.

“Tangan lo kenapa? Nyangkut?”

Karel menengadah, melihat Teza yang balik menatapnya dengan aneh. Karel tertawa cengengesan. “Bingung ini harusnya langsung dilepasin apa gue harus salim dulu ya, Om Tedi? Maklum, baru pertama kali tunangan, nih.”

“Berhenti manggil gue OM dan TEDI,” geram Teza. “Lo pikir kita abis akad nikah pake salim segala? Cepet lepasin!”

Teza menarik tangannya cepat. Karel masih tersenyum waktu Teza melirik perempuan itu sekali lagi. “Kenapa lo senyum-senyum?”

Karel tersentak, ia menunjuk Ian Arkana yang berdiri di depan mereka sambil membawa tustel. “Itu, lagi difoto. Ayo, Kak. Gandengan biar kaya tunangan beneran.”

“YA EMANG TUNANGAN BENERAN, BOKEM!” bisik Teza geram di telinga Karel sambil menunduk. Namun akhirnya, Teza mengikuti arahan Ian untuk menggenggam tangan Karel sambil berpose foto bersama.

Kalau hanya pegangan tangan saja, mudah bagi Teza. Ia sudah melakukannya ratusan kali dalam adegan-adegan film yang ia mainkan. Tapi tidak begitu untuk Karel. Jantungnya berdebar waktu Teza mengenggam tangannya lembut, rasa hangatnya menyebar hingga ke hati Karel.

Kayaknya punya tunangan nggak buruk juga, pikirnya.

Karel balas menggenggam tangan Teza erat dan memasang senyum lebar sebelum Ian menekan tombol shutter.

***

Lagi. Kening Teza mengerut melihat Karel sibuk berebutan puding dengan Dion. Keduanya mencuri makanan satu sama lain sambil mengomel. Asyik ribut sendiri sementara orang-orang di sekitarnya juga tak memedulikan. Hanya Teza yang merasa terganggu sepertinya. Jelas bukan cemburu. Teza tahu, Dion adalah kakak sepupu Karel. Namun menjelaskannya dengan kata lain, Teza juga tak menemukan padanan yang tepat. Teza memilih tak menggubris Karel lagi dan mengajak Mario bermain catur di halaman belakang.

Karel sempat melihat Teza pergi sebelum kembali bertengkar dengan Dion.

“Bang Dion itu pudingnya masih banyak. Punya Karel tinggal seperempat!”

“Ya kan bisa ngambil lagi! Nanti Bang Dion ambilin lagi!”

“Ya kenapa gak ambil sendiri?? HIHHH.” Karel menyerahkan piring makannya kepada Dion, ngambek. “Yaudah abisin aja nih sampe Bang Dion kembung!”

Minat makan Karel hilang. Ia bangkit dari sofa, berjalan menuju jendela kaca tinggi yang menghubungkan ruang keluarga rumah Teza dengan halaman belakang. Di sana Karel melihat Teza duduk di gazebo, serius bermain catur bersama Mario. Karel memeluk pintu kaca sambil menarik napas. Ia mulai bosan dan mengantuk. Akhirnya Karel memilih jalan-jalan, menjelajahi rumah Teza seorang diri.

Karel melihat foto-foto yang dipajang di dinding dekat tangga. Banyak foto Teza pada masa awal debut. Teza bersama The Phantom ketika masih harus menyanyi dari satu kafe ke kafe lainnya untuk mencari panggung, hingga foto-foto Teza dalam tur konser The Phantom di kota-kota besar beberapa tahun terakhir.

Karel kembali menjelajah bagian rumah Teza lebih jauh. Di balik tangga, ia menemukan sebuah piano usang tersembunyi. Karel berjingkat-jingkat menghampiri benda tersebut, diam-diam duduk di atas kursi piano. Tangannya gatal ingin melarikan jari-jarinya pada tuts hitam-putih, penasaran dengan suara denting yang akan keluar. Tak sabar, Karel membuka tutup piano. Tatapannya memuji kondisi piano yang masih cukup bagus. Meski berdebu, piano ini jelas masih dirawat dengan baik, seperti piano milik ibunya di rumah Karel.

Karel memosisikan tubuhnya tegak, sudah membayangkan sebuah lagu di kepalanya. Namun sebelum jari Karel sempat menyentuh satu tuts saja, sebuah teguran keras mengejutkan Karel.

“Ngapain di sini?” Teza, entah muncul dari mana, melihat Karel dengan pandangan menyalang. Kakinya berderap cepat menghampiri Karel. Teza buru-buru menyingkirkan tangan Karel dari tuts dan menutup piano dengan keras. Karel berjengit mundur, kaget mendapati perlakuan tidak menyenangkan dari Teza.

“Area ini bukan untuk umum. Pergi.” Teza menggeram di sebelah Karel, membuat Karel ketakutan dan lekas menyingkir dari kursi piano. “Jangan pernah nyentuh sembarangan barang di rumah ini. Pergi.”

Teza mengulangi pengusirannya kepada Karel. Karel yang masih syok mencoba mencerna kesalahannya, tetapi wajah Teza yang kejam dan seram membuat Karel semakin kesulitan berpikir. Ia hanya merasakan dadanya berdenyut nyeri, hingga rasanya Karel kesulitan bernapas.

Karel buru-buru berbalik meninggalkan Teza sambil meyakinkan diri sendiri kalau yang menyebabkannya menangis adalah debu-debu piano yang masuk ke mata, bukan kalimat-kalimat kejam Teza.

tbc.

--

--

No responses yet