[Ready, Set, Love!] — Bintang Kecil

soljaecruise
5 min readDec 20, 2024

--

“Bang Teza, Karel, Carmen cantik ngadep sini dong… Foto dulu, ya.”

“Sebelah sini juga mau foto dong, Bang Teza dan Karel!”

“Senyum, ya! Satu, dua, tiga! Lagi! Satu, dua, tiga!”

“CARMEN KAMU GEMES BANGET PLISSS!”

Karel memajukan tubuh, hendak memeriksa ekspresi anaknya dalam gendongan Teza. Kini ketiganya tengah berdiri di depan latar backdrop film kedua The Phantom. Setelah film perdananya sukses meraih jutaan penonton dua tahun silam, akhirnya Tian, Jojo, dan Mario dikontrak kembali untuk membuat seri lanjutannya. Teza senang bukan main. Meski tak ikut serta, ia bahagia melihat rekan-rekan band-nya lain bisa ikut bersinar; hal yang Teza harapkan sejak lama.

Karel tertawa ketika melihat Carmen menirukan pose yang sering ia ajarkan; menaruh satu telunjuk di pipi kanannya sambil tersenyum memamerkan lesung pipit, sementara tangan mungil Carmen yang lain terangkat, melambai ke kamera. Carmen kecil benar-benar memiliki bakat menjadi seorang bintang seperti ayahnya. Ia tampak tidak takut sama sekali dengan ramainya kerumunan manusia di hadapannya. Carmen justru tampak kegirangan mendengar orang-orang berteriak memanggil nama gadis mungil itu.

“Rencana mau punya berapa anak nih Bang Teza sama Karel?” celetuk salah seorang wartawan yang otomatis membuat Teza dan Karel berpandangan.

Keduanya lalu menjawab nyaris bersamaan. “Dua,” jawab Teza. “Lima,” kata Karel.

Sedetik kemudian, Karel dan Teza kembali saling pandang dan tertawa. Sebelum pertanyaan yang diajukan semakin liar, Teza lebih dulu pamit dan meninggalkan area karpet merah bersama istri dan anaknya — yang masih saja terus melambai-lambai ke kamera sambil memamerkan lesung pipit.

Di sekitar area teater bioskop, Mario, Tian, dan Jojo sudah menantikan kedatangan keluarga kecil Teza. Ketiganya menyambut hangat kedatangan Carmen, keponakan pertama yang paling disayang. Jojo langsung merebut Carmen dari gendongan Teza. Bocah itu tak menolak sama sekali, malah tertawa lepas ketika Jojo mengangkat tubuh Carmen tinggi-tinggi.

“Selamat, bro.” Teza menyalami satu per satu tangan Mario, Tian, dan Jojo berurutan. “Gue yakin film kali ini bakal sukses kayak yang pertama. Pasti seri ini masih bakal lanjut ke film ketiga.”

“Thanks, Ja,” balas Mario. “Kalo bukan karena lo yang selalu ngedorong dan nyemangatin kita, mungkin kita nggak akan pernah sampai di titik ini.”

Tian mengangguk, membenarkan. “Meskipun sekarang kita bukan bintang utama, tapi gue optimis dan masih mau nyoba kesempatan-kesempatan buat dalamin dunia seni peran ke depannya.”

“Bagus. Gue dukung.” Teza mengangguk mantap. Tangannya melingkar di pinggang Karel yang kini menaruh perhatian penuh pada Carmen yang mulai mengacak-acak rambut Jojo.

“Sayang, kasian Om Jojo nanti kayak habis kena angin topan rambutnya kamu berantakin.”

Karel meraih Carmen ke dalam gendongannya kembali. Bocah itu meronta, tak ingin bersama ibunya, malah mau tetap dalam gendongan Jojo.

“Nggak apa-apa, Karel. Ini model rambutnya emang berantakan gini, kok.”

“Oh….”

Karena Carmen banyak berulah selama pemutaran film berlangsung; melempar-lempar popcorn ke sembarang arah, menumpahkan minuman soda ke pakaian Teza, dan berakhir terjungkal di area dekat tangga bioskop, akhirnya Teza dan Karel terpaksa pulang lebih cepat. Saking banyaknya ulah yang dibuat Carmen malam ini, bocah itu kelelahan dan bahkan sudah terlelap sejak di mobil dalam perjalanan pulang.

Meskipun harus banyak bersabar dengan tingkah Carmen, Teza dan Karel tetap bersyukur malam itu mereka sekeluarga tetap bisa hadir dan memberikan dukungan kepada para personel The Phantom. Sebenarnya alasan Teza dan Karel pulang lebih cepat bukan hanya karena Carmen yang tak bisa diam, tetapi juga ada perkara darurat lain yang harus segera dipastikan kebenarannya.

Tadi, sesaat sebelum Carmen terjungkal di tangga bioskop, Karel tiba-tiba saja merasa mual. Kepalanya juga mendadak pusing, makanya Carmen sampai lepas dari pengawasannya. Teza yang sadar kalau Karel sepertinya ingin muntah langsung berubah panik. Nggak mungkin kan… hamil lagi? Apa karena kebablasan waktu itu, ya? Pikiran Teza langsung dipenuhi berbagai asumsi.

Segeralah mereka pulang ke rumah untuk mengecek kepastian apakah Karel benar-benar hamil anak kedua atau tidak. Teza baru bisa bernapas lega kala dilihatnya Karel keluar kamar mandi sambil menenteng hasil testpack negatif. Tubuh Teza terasa ringan seketika. Napasnya yang tadi terasa berat kini kembali mengalir dengan lancar. Ia langsung mengajak Karel berbaring di kasur sambil memeluk tubuh istrinya dari belakang.

“Kenapa sih Kayang khawatir banget aku hamil lagi?” tanya Karel sambil menepuk-nepuk punggung Carmen yang berada di depannya.

“Bukannya gitu. Emangnya kamu beneran mau punya anak lima? Nggak takut nanti sakit lagi pas nyusuin sama capek begadang?”

“Nggak apa-apa,” sahut Karel enteng. “Kan aku udah jago neyney-in Carmen. Lagian, rumah kita sebesar ini. Sepi kalau cuma berempat sama Papa Ian.” Karel menatap langit-langit kamar Teza lalu melihat Tedi yang teronggok di ujung ranjang Carmen.

“Lima deh, sama Tedi,” tambahnya.

Teza mendesis kesal mendengarnya. “Tedi nggak masuk hitungan.”

Karel terkekeh mendapati nada kesal dalam suara suaminya. “Udah bertahun-tahun, Kayang masih aja cemburu sama Tedi.”

Teza mengeratkan perlukannya pada tubuh Karel. Tangannya terjulur ke depan sehingga ia bisa ikut mengusap-usap punggung Carmen bersama istrinya.

“Punya kamu sama Carmen aja aku udah hampir encok. Gimana kalau kita punya anak lima?”

Karel mendengus mendengar ucapan Teza. Sambil berusaha menjaga suaranya tetap dalam volume kecil — agar Carmen tidak terbangun — Karel meledek Teza.

“Halah, Kayang nih ngomong kayak gitu, kayak nggak sering kebablasan aja. Kalau nggak aku tahan, bisa-bisa anak kita ada sepuluh!”

Tawa Teza meledak seketika. Karel buru-buru menepuk tangan Teza ketika dirasanya tubuh Carmen menggeliat. Bocah itu merengek kecil mencari botol susu, lalu kembali terdiam setelah mendapatkan apa yang ia inginkan.

“Jadi, lima?” tanya Teza lagi, mendadak bersemangat karena itu artinya ia harus “berusaha keras” mewujudkan keinginan sang istri.

“Tiga aja deh. Aku takut neyney aku kempes,” jawab Karel khawatir.

“Ya nggak mungkin lah, sayang. Kamu nih ada-ada aja mikirnya.” Teza memutar tubuh Karel menghadapnya, sengaja ingin menagih jatah cium yang belum ia dapatkan sepanjang hari ini karena Karel terlalu sibuk mengurus Carmen.

Namun sebelum itu, Teza harus dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan sang istri.

“Kayang sayang nggak sama aku sama Carmen?”

Teza melengos seketika. “Pake nanya. Sayang bangetlah.” Tanpa menunggu lagi, ia langsung menghujani wajah Karel dengan kecupan bertubi-tubi sampai Karel kegelian.

“Banget, banget, banget?” tanya Karel lagi, mencari celah selagi Teza berusaha menekan tubuhnya lebih rapat pada tubuh pria tersebut.

“Banget, banget, banget,” ulang Teza penuh penekanan dan keyakinan. Setelah itu, ia tak lagi memberikan Karel kesempatan untuk berbicara. Diciumnya bibir Karel penuh khidmat. Padahal, baru saja beberapa menit yang lalu Teza merasa khawatir kalau-kalau Karel sudah akan hamil lagi secepat ini.

Sekarang, lihat. Pria itu mencium bibir istrinya sampai lupa kalau tidak hanya mereka berdua saja yang tidur di ranjang itu. Tubuh Carmen ikutan terguling ketika Teza mulai bergerak secara brutal.

“Kayang, pelan-pelan! Nanti Carmen bangun!” omel Karel.

Teza lagi-lagi hanya bisa terkekeh tanpa rasa berdosa. “Katanya mau punya anak lima? Harus dicicil dong.”

“Kayang!”

— THE END —

--

--

No responses yet