[Ready, Set, Love!] — Bocil Kematian
Masalah.
Kata itu melintas secepat kilat di kepala Teza begitu melihat sosok Karel. Bocah itu sedang celingak-celinguk sambil membawa mangkok waktu Teza temukan di depan gerbang sekolah. Persis seperti maling yang hendak kabur dari kejaran warga. Tanpa pikir panjang, Teza langsung menyeret Karel ke mobilnya yang diparkir tak jauh dari gerbang. Anehnya, bocah itu tidak terlihat bingung sama sekali, malah tampak seperti merasa terselamatkan.
“Om penculik yang dibilang Bunda Ina, ya?”
“Om-om. Gue getok pala lo.”
Teza melemparkan tatapan sinis. Mata Teza menangkap mangkuk beling bergambar ayam di tangan karel. Mangkuk yang sudah jadi rahasia umum biasa digunakan oleh pedagang bakso ataupun mie ayam.
“Ngapain lo tengah hari bolong celingak-celinguk di depan gerbang sambil bawa-bawa mangkok bakso?”
Karel berhenti menatap was-was pemandangan di luar jendela mobil Teza. Ia melirik mangkuk dalam genggaman tangannya sendiri.
“Oh ini… tadinya mau dibalikin. Tiba-tiba Pak Santo dateng sambil bawa ranting kayu. Jadinya dipake buat ngelindungin kepala deh.”
Karel cengengesan sesaat sebelum bibirnya kembali mencebik. “Si Santo ini hobinya main keplak kepala orang aja. Kalo ilmu gue berceceran gimana? Udah sering bolos, makin nggak ada yang nempel di kepala gue.”
“Santo siapa?” ujung mata Teza berkedut menatap Karel seperti alien yang sedang mengoceh.
“Guru BP.” Karel kembali menatap ke luar jendela. “Om, kayaknya di luar udah aman. Ini gue boleh pergi atau lo masih mau nyulik gue?”
Tangan Teza mengepal erat, bibirnya terlipat hingga otot-otot rahangnya berkedut mendengar ucapan Karel yang sepertinya sama sekali tidak terproses di otaknya dan meluncur begitu saja ke mulut.
“Sekali lagi manggil gue om, gue lipet lo ke dalem kardus.”
***
Karel sudah sering menonton film tentang penculikan. Ia bahkan berkali-kali menamatkan seri film Home Alone sampai nyaris hafal betul setiap dialog dan adegan penculikan dalam film. Namun belum pernah Karel temui selama ini, ada penculik yang mau berbaik hati memberi makan korbannya seporsi steak mahal, seperti yang dilakukan pria di depannya.
Pria itu terus-terusan menatap tajam Karel, tak mengucapkan apapun sampai makanan mereka datang. Perut Karel yang memang sudah kelaparan sejak tadi tak ingin menunggu. Ia mendahului Teza menyantap makanannya dengan lahap.
“Lo masih marah gara-gara gue panggil ‘Om’?” Karel bertanya lugu. Ia kesulitan membaca ekspresi Teza karena sebagian wajahnya tertutup masker.
“Lo nggak tau gue siapa?”
Wajah Karel mengerut. Rasanya wajah sang penculik tampak familiar. Tak banyak sosok pria bertubuh besar dan tinggi yang pernah Karel temui, tetapi ia tak bisa menemukan sosok pria di hadapannya dalam ingatannya sendiri.
“Mang Aang tukang parkir sebrang sekolah?”
“Bisa nggak kalo ngomong dipikir dulu?” sungut Teza kesal. Jelas sekali Karel hanya asal menebak saja siapa dirinya. “Lo beneran nggak tau gue siapa?”
Setelah mendapat teguran, kali ini Karel berpikir sungguh-sungguh sambil meneliti Teza. Namun tetap saja, ia tak mendapatkan jawaban. “Jujur aja, lo kayak penculik. Tapi kok lo baik banget mau ngasih gue makan? Mahal lagi.”
Mata karel menyapu beragam hidangan di atas meja. Mulai dari steak yang sedang dimakannya, beberapa jenis pasta, dan juga hidangan penutup manis yang sudah tersaji lengkap.
“Pasti lo mau minta tebusan mahal, ya? Masukin aja tagihan gue nanti ke uang tebusannya. Bunda Ina baik kok.”
Teza memijat pelipisnya sambil menatap Karel yang membuka mulutnya lear-lebar, melahap potongan besar daging sekaligus ke dalam mulut. Benar-benar cocok menjadi bintang iklan produk makanan cepat saji.
“Ini mumpung gue masih sabar, gue tanya sekali lagi.” Teza menarik kursinya maju sehingga ia bisa mencondongkan tubuhnya dengan leluasa ke depan. “LO BENERAN NGGAK TAU SIAPA GUE?” tanya Teza penuh penekanan di setiap katanya.
Karel menelan daging yang belum dilumat sepenuhnya sampai halus dengan susah payah. Ia terbatuk-batuk. Cepat-cepat Karel menenggak air mineral di gelas.
“YA GAK TAU LAH!” semburnya galak. “Orang lo pake masker! Kalo mau jadi penculik tuh profesional dikit. Pake kupluk ninja kek!”
Teza menggebrak meja usai mendengar kalimat Karel, membuat gadis bertubuh mungil yang masih dalam balutan seragam sekolah itu tersentak kaget. Sebagian daging yang sudah Karel potong melompat dari piring. Karel tak sempat marah karena detik berikutnya ia melihat Teza melepas maskernya tak sabaran.
“Sekarang udah tau?”
Karel terdiam, meneliti wajah Teza dengan saksama. Alis yang tebal menunkik ke atas tanpa lekungan, bola mata gelap yang selalu menatap sengit, batang hidung yang tegak sempurna, serta rahang yang tegas berpadu sempurna. Kalau sosok malaikat dalam film benar-benar ada dalam dunia nyata, mungkin seperti inilah bentuknya, pikir Karel. Hanya saja malaikat yang ini sepertinya sedang kesurupan iblis jahat, makanya hobinya marah-marah.
“Lo… vokalisnya The Pantomim itu, kan?”
“The Phantom,” ralat Teza mencoba memperpanjang rasa sabarnya. “Selain itu, lo nggak tau siapa gue?”
“Pemain film?”
“Selain itu?”
“Ini lo lagi minta gue puji-puji apa gimana, sih?” Karel mulai ikutan emosi.
“Lo beneran belom tau?”
Karel mengangguk-angguk yakin. “Tauuu. Lo Tedi Arwana, kan?”
Sekali lagi, kedua tangan Teza yang masih berada di atas meja mengepal erat. Rahangnya kembali berkedut karena menahan amarah di ujung lidahnya. Teza mengembuskan napas.
“Lo pikir gue ikan???”
Tangan Teza meraih pisau makan dan menusuk daging di piringnya sendiri kuat-kuat. Mata Karel mengerjap kaget menatap adegan tersebut. “Wow.” Entah terkejut karena atraksi ekstrem barusan atau kagum dengan kelihaian tangan Teza.
“Inget nama gue baik-baik.” Teza merangsek maju, menatap Karel seakan ingin menelan gadis itu hidup-hidup. “T-E-Z-A A-R-K-A-N-A. Awas lo lupa nama tunangan lo sendiri!”
“Hah?” respons Karel otomatis.
“Apa?” Teza yang sedang mengunyah makanan melirik Karel galak.
“Apa tadi lo bilang? Tunangan?” Makanan di piring Karel belum habis sepenuhnya, tetapi rasa laparnya seketika menguap begitu mendengar informasi dari Teza barusan.
“Lo bukan… pasien RSJ yang kabur terus nyamar jadi bintang tenar kan…?” ucap Karel hati-hati. Karel sigap meraih ponsel di sakunya, berjaga-jaga bilamana ia perlu segera melakukan panggilan darurat.
Teza berusaha mengabaikan ocehan Karel. Mengingat usia mereka yang terpaut lima tahun, Teza merasa harus lebih banyak bersabar menghadapi gerak-gerik Karel yang sering tak masuk akal. Sekarang segala kehancuran karier yang sempat ada dalam bayangannya satu per satu mulai terpampang nyata. Karelia Agni bukan hanya ancaman, tetapi juga sumber masalah bagi Teza Arkana.
“Manajer lo mungkin belom bilang. Gue kasih tau duluan. Kita dijodohin. Meskipun gue najis banget ngakuinnya, tapi lo adalah tunangan gue walau belum resmi. Lo pasti seneng kan tunangan sama gue?” hardik Teza sambil mengacungkan daging yang tertusuk garpu ke depan wajah Karel.
Karel yang bingung dengan maksud tangan Teza mendadak serba salah. Namun pada akhirnya, ia tetap maju, melahap daging dari garpu yang digenggam tangan Teza.
“Ma-Makasih,” ucap Karel terbata-bata.
“GUE BUKAN LAGI NYUAPIN LO BOKEM! HIHHH” Garpu di tangan Teza terpelanting ke lantai. Nafsu makannya hilang. Lenyap seketika. Mulutnya tak bisa berhenti mendesis melihat Karel mengunyah jatah daging miliknya dengan tatapan tak berdosa.
“Sori, gue kira lo mau nyuapin gue sebagai tanda kita tunangan.”
Teza menatap Karel tak percaya dengan mulut separuh terbuka. Bener-bener bisa gila gue, batin Teza frustrasi.
— tbc.