[Ready, Set, Love!] — Carmen Sedih
Teza memijat pelipis. Karena kepikiran Karel, saat konser tadi dia sedikit nggak fokus. Ia sempat LUPA lirik lagunya sendiri. Otaknya tiba-tiba saja kosong ketika di panggung, malah memikirkan Karel yang sedang bersedih. Untungnya, Mario sigap menyelamatkan kondisi. Tangannya otomatis menepuk ke atas, mengajak penonton yang mayoritas merupakan bocah berseragam putih-abu-abu — karena memang hari itu The Phantom menjadi tamu dalam pentas seni SMA — menyanyi. Meski tetap tersenyum, Teza tahu, Mario ingin sekali mencekiknya sebenarnya. Makanya setelah konser berakhir, Teza buru-buru kabur pulang, alasannya karena Karel sakit.
Memang benar, kan istrinya sedang sakit?
Kalau sampai Karel yakin ia sedang hamil, tandanya memang ada gejala fisik yang perempuan itu rasakan seperti kali terakhir, ketika kejadian yang sama terjadi. Sejak awal Teza sudah curiga, seperti waktu itu, Karel memang hanya kurang enak badan saja, bukannya hamil.
Teza ingat betul, minggu lalu ia baru saja “puasa” karena Karel sedang datang bulan. Sejak mendalami ilmu mengenai birth control beberapa tahun silam — setelah ia pulang dari kunjungan pertama ke US untuk menjenguk Karel, Teza sedikit-banyak mulai mengerti siklus masa subur perempuan. Makanya ia skeptis ketika membaca chat istrinya pagi tadi.
Sesampainya di rumah Karel, dari sejak Teza menapaki anak tangga, ia sudah bisa mendengar suara isak tangis dari pintu kamar Karel yang tidak tertutup rapat. Teza mengendap, mengintip di sela-sela pintu. Dilihatnya sang istri sedang duduk di atas kasur dengan kaki bersila. Di hadapan Karel, ada Tedi yang sedang duduk bersandar pada dipan kasur. Tangan boneka itu sengaja dibuat menyilangkan dada — seakan menyiratkan perasaan sedih dan kecewa.
“Kayang jahat huhuhu… Carmen sedih. Tedi juga sedih, kan? Itu adik kamu, Tedi. Kamu juga harus sedih….”
Teza melipat bibir, nyaris terkikik. Bukannya tak simpati dengan kesedihan istrinya, tetapi obrolan Karel dengan boneka yang sudah menemaninya selama 17 tahun itu terdengar sangat lucu sekaligus konyol. Teza menggeleng-gelengkan kepala. Udah 25 tahun juga masih aja curhat sama Tedi.
Perlahan Teza menyelinap masuk. Niatnya tak ingin menginterupsi sesi curhat Karel dengan Tedi. Tapi apa boleh buat. Sepertinya bukan hanya perasaan Karel saja yang sedang sensitif, seluruh organ — termasuk organ pendengarannya — juga seakan bisa merasakan sekecil apapun pergerakan yang terjadi di dunia.
Karel menoleh cepat ketika Teza menutup pintu kamar. Bibirnya otomatis melengkung ke bawah, menatap sang suami cemburut. Karel buru-buru bangkit, berdiri di atas kasur sehingga tingginya kini sedikit melebihi Teza. Ia lalu melipat tangannya di depan dada dengan angkuh dan galak. Kedua ujung alisnya naik.
“Cepat mandi!” perintah Karel kepada Teza.
Teza yang agak khawatir Karel akan terjengkang berusaha mendekati istrinya, tanganya terulur, mencoba menjaga tubuh Karel tetap pada posisi seimbang. Di satu sisi, Teza juga merasa bingung, kenapa tiba-tiba istrinya menyuruhnya mandi. Teza jadi mengendus tubuhnya sendiri. Jangan-jangan, ia memang bau karena manggung di bawah terik matahari?
“Kayang nggak bau. Wangi. Tapi, cepat mandi,” ulang Karel masih dengan nada galak.
Teza tampak kebingungan. Ia mengerti kalau Karel marah dan ingin melampiaskan emosi padanya. Tetapi, ia tak mengerti sama sekali kenapa ia mendapatkan hukuman disuruh mandi cepat-cepat.
“Mau ngapain? Kamu mau tetap diajak periksa ke obgyn?” Teza tetap sabar.
Lalu, dilihatnya Karel menggeleng kuat-kuat. Tangan perempuan itu pindah ke perutnya yang datar di balik kaus tidur crop top yang sedikit memperlihatkan kulit perut Karel.
“Balikin Carmen ke perut akuu!! Cepet mandi.”
Mendengar penjelasan Karel, Teza malah makin bingung. “Maksudnya apa sih, sayang?”
Karel menggeram. Kesabarannya habis. Ia tak mau lagi menjelaskan kepada Teza kenapa suaminya itu harus segera mandi.
“Ih, lama,” gerutu Karel kesal. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan kaus tidur yang ia kenakan dan melompat ke arah Teza, membuat pria itu terperanjat. Tangannya sigap melepaskan jaket kulit yang Teza kenakan juga singlet hitam di baliknya. Teza gelagapan campur panik melihat betapa cepatnya Karel menanggalkan seluruh pakaian atasnya.
“Loh? Loh?”
Teza dengan cepat menangkap tangan Karel ketika tangan mungil sang istri dengan susah payah berusaha membuka bgian kepala gesper Teza. Dilihatnya Karel terdiam ketika tangannya “diborgol” oleh Teza. Ia mendongak, menatap Teza dengan pandangan berkaca-kaca.
“MAU HAMIL HUEEENGGG…. MAU KETEMU CARMEN….”
Teza mengembuskan napas panjang. Diraihnya tubuh Karel ke dalam pelukannya sambil mengusap-usap punggung istrinya dengan sayang.
“Iya, sabar. Nanti juga ketemu kalau udah waktunya. Udah jangan sedih lagi, ya. Ini aku mandi, iya, aku mandi sekarang.”
Perlahan, tangis Karel mereda. “Ya udah cepet mandi. Hari ini Kayang nggak boleh tidur sampe Carmen ada di perut aku.”
Teza menelan ludah sambil memejamkan mata. “Sayang, besok pagi aku ada pemotretan loh?”
Sudut-sudut bibir Karel tertarik ke bawah kembali, tangisnya siap pecah. Teza refleks menepuk-nepuk pundak istrinya dengan panik.
“Iya, iya. Malam ini aku nggak tidur sampe Carmen ada….”
Senyum Karel melebar seketika. Ia mengecup pipi Teza singkat sebelum mendorong tubuh besar suaminya ke kamar mandi.
“Ya udah, cepet mandi. Aku tunggu di sini sambil ganti gaun tidur. Kayang mau yang warna apa? Apa mau ganti-ganti warnanya?” tanya Karel dengan pandangan berbinar centil.
Teza hanya terkekeh sambil menutup pintu kamar mandi. “Nggak usah pake. Langsung aja.”
Teza menggeleng-geleng mengingat kelakukan ajaib istrinya barusan sambil menatap gurat-gurat halus wajahnya yang kian matang di cermin. Memang sudah layak jadi bapak-bapak.
Teza mengangguk mantap. Malam ini akan sangat panjang.
— tbc.