[Ready, Set, Love!] — Curi-Curi
Meski Teza datang lebih awal, ternyata lebih banyak pemain pendukung lain yang sudah datang lebih dulu dari Teza. Waktu Teza duduk di kursi sebelah sang sutradara dan penulis naskah, ia melihat Karel duduk di kursi paling ujung. Bocah itu sedang mengobrol bersama beberapa pemeran pendukung lain seusianya. Sepertinya bahkan tidak sadar kalau Teza sudah datang.
Mendadak Teza merasa kesal. Ia berusaha memusatkan perhatiannya pada obrolan sang sutradara mengenai detail karakter Juan, yang akan diperankan Teza. Mereka hanya tinggal menunggu kedatangan Maya sebelum acara pembedahan naskah dimulai.
Sepanjang momen menunggu itu mata Teza tak berhenti melirik Karel. Masih tidak lepas dari obrolan serunya. Teza jadi penasaran apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Teza bahkan sempat berpikir ingin pura-pura menyapa satu per satu pemain hanya untuk mencuri dengar. Kaki Teza bergerak-gerak gelisah di bawah meja, mempertimbangkan matang-matang ide konyolnya. Pada akhirnya, ide itu tak juga terlaksana karena Maya sudah lebih dulu datang.
Saat pembedahan naskah berlangsung, Teza tetap masih sempat mencuri-curi pandang ke arah Karel. Awalnya bocah itu serius membaca naskah di tangannya sendiri. Lama-kelamaan diperhatikan, Teza sadar kalau Karel tak lagi fokus pada naskahnya. Bocah itu tertidur! Kepalanya terantuk-antuk nyaris membentur meja. Teza cepat-cepat mengeluarkan ponsel dan mengirimkan pesan kepada Dodo.
***
Karel tak membalas pesan Teza lagi. Dilihatnya gadis itu pamit izin keluar, mungkin ingin ke toilet, pikir Teza. Ia menggunakan alasan yang sama untuk pamit kepada sang sutradara. Di luar, ia menemukan Karel berjalan gontai menyusuri lorong, seperti zombie dalam permainan Plant vs Zombie. Teza melirik ke kanan-kiri sebelum melangkah lebar-lebar mendekati Karel. Teza menyentuh pundak Karel, membuat Karel berjengit kaget. Tubuh Karel menubruk dinding di sebelahnya.
“Kak! Ngangetin aja!”
Teza buru-buru menaruh telunjuknya di depan bibir Karel, membungkam Karel seketika. Karel ikut-ikutan melirik ke sekeliling, memastikan situasi di sekitar mereka aman dari pantauan orang lain. Setelah yakin aman, Karel berbisik-bisik dari jauh kepada Teza.
“Ngapain lo ngikutin gue?”
“Siapa yang ngikutin? Gue juga mau ke toilet!”
“Yaudah sana.”
Karel mendorong tubuh Teza agar segera pergi. Tetapi bukannya menuruti Karel, Teza justru menangkap tangan Karel yang mendorong-dorong lengannya. Mata Teza menatap jemari Karel.
“Cincin tunangannya mana?” Kening Teza mengerut tak suka melihat jari-jari Karel yang polos. Seharusnya ada benda mengilap berwarna biru di sana seperti yang Teza bayangkan.
Karel melepaskan cengkraman tangan Teza. Ia buru-buru meraba leher dan mengeluarkan sebuah rantai emas dari sana.
“Gue kalungin. Nggak mungkin kan gue pake?” Teza langsung tersenyum puas. “Punya lo mana?” balas Karel tak mau kalah.
Teza dengan bangga langsung mengacungkan ibu jarinya kepada Karel. Cincin itu tak bisa masuk sepenuhnya, tersangkut di buku jari bagian tengah.
“Fashion,” ucap Teza bangga. Mungkin itu alasannya Teza memesan cincin emas putih polos tanpa ukiran dan hiasan sama sekali. Agar bisa dikenakan dengan aman ke mana-mana tanpa harus melepasnya.
“Udah, kan?” Karel melengos pergi. Kebetulan sosok Dodo segera muncul sambil membawa kantung-kantung berisi kopi. Melihat Teza dan Karel saling berhadapan, Dodo buru-buru meghampiri keduanya.
Teza tersenyum, memuji kerja keras Dodo. “Pas banget.” Tangan Teza merogoh kantung tas belanja dan mengeluarkan kopi hitam untuknya, juga kopi susu extra shoot untuk Karel.
“Apa nih?” tanya Karel bingung. Teza tak menerima pertanyaan, langsung menyerahkan kopi milik karel kepada sang empunya.
“Biar lo nggak ngantuk. Nggak enak dilihat sama pemain yang lain.”
Setelah itu, Teza kembali menuju ruang pembedahan naskah, meninggalkan Karel dalam keadaan bingung. Dodo di belakang Teza mengikuti dengan patuh.
“Tadi katanya mau ke toilet?” Karel menggeleng-geleng tak mengerti, sebelum kembali pada tujuan awalnya, yaitu mencuci muka agar kantuknya hilang.
— tbc.