[Ready, Set, Love] — Doe, a Deer, You are My Dear.

soljaecruise
7 min readOct 10, 2024

--

“HALOO KAREL DATANGG!”

“Papa Ian lagi buat apa?”

Karel menghampiri Ian Arkana setelah melempar ponselnya ke sofa begitu memasuki ruang keluarga rumah Teza. Usai beberapa kali berkunjung, rumah tunangannya tersebut sudah terasa seperti rumahnya sendiri. Sambutan yang diberikan Ian setiap kali Karel datang mengingatkan dirinya akan rasa bahagia ketika Karel menemui ayahnya berada di rumah saat jam pulang sekolah. Hal yang jarang sekali terjadi karena ia tahu ayahnya selalu sibuk. Karel merindukan perasaan bahagia itu. Dan dia menemukannya di sini, di sebuah bangunan yang meski tak sebesar rumah miliknya, tetapi menghadirkan suasana hangat dan akrab, seperti menyesap coklat dari cangkir yang mengepul saat hujan turun deras-derasnya.

Hari ini — karena terlalu bosan di rumah — Karel datang lebih awal ke rumah Teza. Di belakang gadis itu, Ina menyusul sambil sibuk berbicara di telepon. Matanya awas menapaki anak tangga kecil yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga. Ina menurunkan ponselnya sejenak, memberi salam kepada sang tuan rumah.

“Selamat sore Pak Ian,” sapaan Ina terdengar ramah.

Ian Arkana — dengan tangan belepotan tepung melambai. “Silakan, silakan Bu Ina. Anggap aja rumah sendiri.”

Ina mengangguk sebelum memilih duduk di sofa dan berkutat kembali dengan pembicaraan bersama produser label rekaman Karel yang kelewat bersemangat ingin menduetkan penyanyi termudanya tersebut dengan Teza Arkana di atas panggung konser Berdendang Ria. Sebuah kegilaan yang Ina tahu bakal membuatnya pusing menanggapi puluhan pertanyaan wartawan. Tetapi Roy, sang produser, degan keras kepala berkata, “Ini kesempatan besar buat Karel! Data statistik pendengar lagunya meningkat setelah tragedi konser Irama Muda-Muda kemarin.”

“Saya rasa agak sulit, Pak. The Phantom belum ngasih kepastian bakal datang ke acara konser itu, mengingat mereka sedang mengadakan tur luar kota,” jelas Ina. Roy di seberang telepon mengangguk membenarkan. “Betul, betul. Nanti gue coba bicara sama si BJ. Bisa lah itu diatur. BJ kan kawan lama gue.”

Pembahasan soal rencana duet berakhir menggantung. Ina menyimpan kembali ponsel ke tas dan melihat Karel. Terakhir, ketika Ina masih sibuk berdebat di telepon, bocah itu hanya memperhatikan dengan rasa penasaran tinggi proses memasak yang sedang dilakukan Ian. Sekarang, tangan hingga wajah Karel justru sudah belepotan tepung. Ina menggeleng. Untung dia selalu sedia pakaian ganti untuk Karel di mobil.

“Bunda Ina, liat ini pempek bikinan Karel!” Karel mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memamerkan gumpalan adonan berbalut tepung tebal yang menyerupai bentuk beruang. “Pempek Tedi,” Karel berucap bangga.

“Ada lagi, ada lagi.” Karel meraih gumpalan adonan lainnya. Yang satu ini sengaja ia bentuk hati-hati seperti ikan. Tubuhnya panjang, ada motif sisik yang Karel ukir menggunakan tusuk gigi, bibir ikan itu juga manyun. Meski tidak terlihat oleh Ina, sebenarnya Karel juga membentuk alis menukik ke atas sehingga wajah ikan bentukannya terlihat marah.

Karel membetulkan bentuk bibir sang ikan sebelum menaruhnya di atas telapak kanan.

“Yang ini Om Tedi Arwana!” seru Karel heboh, tak sadar ternyata orang yang disamakannya dengan pempek ikan arwana itu sudah berdiri tepat di depan meja makan sambil berkacak pinggang.

Teza melepas kaca mata hitamnya, baru saja pulang dari acara pemotretan. Wajahnya semringah mengetahui mobil Karel sudah terparkir di halaman rumah keluarganya begitu ia sampai. Tapi itu sebelum… jauh sebelum Teza melihat Karel memamerkan mahakarya pempek Tedi Arwana kepada seisi makhluk penghuni rumah, saking hebohnya bocah itu berteriak.

Ian Arkana mengulum bibir, menahan tawa melihat wajah Teza mendadak berang. Keributan pasti akan segera terjadi. Keributan yang bukannya membuat Ian sedih, tetap justru senang karena rumahnya tak lagi sepi seperti biasanya.

“Yang mana pempek Tedi Arwana itu?” tanya Teza dengan ekspresi menantang. Semakin Teza mendekat, nyali Karel semakin menciut. Teza berhenti tepat di depan Karel. Satu tanganya bersandar pada kitchen island, sementara tangannya lainnya bertahan di pinggang ramping pria itu.

Mulut Karel terbuka lebar, terkejut mendapati invasi mendadak Teza. Karel memberikan kedua telapak tangannya ke depan tunangannya lambat-lambat, hati-hati.

“Pempek… Tedi Arwana hehe…” cicit Karel cengengesan, membuat Teza gemas setengah mati dan tak tahan untuk tidak mencubit pipi Karel lebar-lebar.

“Uw… pinternya tunangan siapa ini tangannya iseng sekali?”

“Adu-duh…” Karel menggeliat berusaha menjauhkan tangan Teza dari wajahnya, tapi sia-sia. Teza tak peduli tangannya ikutan belepotan tepung. Ia malah menangkup kedua pipi Karel dengan tangannya dan menekannya kuat-kuat sehingga bibir Karel maju beberapa senti meter, persis seperti bibir pempek ikan buatan bocah itu.

“Bandel banget, bokem!” omel Teza kemudian meminta Izin kepada ayahnya untuk menggiring Karel keluar dapur, seperti pelaku kejahatan yang ditangkap polisi. Karel mengangkat kedua tangannya sehingga bulir-bulir tepung berjatuhan di lantai. Sementara itu, tangan Teza masih bertengger pada pipi Karel. Wajahnya menatap Karel galak.

“Cepet cuci tangan, terus mandi. Gue udah janji ke Bunda Ina lo ke sini buat latihan nyanyi, bukan belajar bikin pempek.” Karel megangguk susah payah dengan tekanan tangan Teza di pipinya.

Namun, begitu Teza melepaskan tangannya dan mengira Karel akan segera mengikuti perintahnya, ia tahu ia menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada bocah itu. Karena selanjutnya, sebelum ngibrit dari kejaran Teza, Karel tersenyum usil, sengaja mengusap wajah tampan tunangannya dengan sisa-sisa tepung di telapak tangan bocah itu sambil berseru meledek,

“Dasar Tedi pemarah!”

***

Hutan fantasi… tempat bermimpi. Hanya di sini, para peri berkumpul dan menari.…

Suara Karel menari lembut dan merdu di telinga Teza. Suara khas Karel yang bulat, ringan, dan ceria. Sementara itu, tangan Teza bermain lentur di atas tuts piano yang tak lagi berdebu. Sudah dibersihkan hingga tak ada debu tersisa sebelum Teza mengiringi Karel bernyanyi. Mata Teza teliti menatap lembaran partitur di atas music stand. Kepalanya memainkan melodi yang coba ia beri sedikit improvisasi.

“La… lalala… lihat pelangi tersenyum di bawah mentari. Di hutan fantasi semua imajinasi jadi realita….”

Tring ting ting ting… jreng. Teza menutup melodi terakhir. “Sori tadi chord-nya meleset dikit. Ini yang nyoret-nyoret partiturnya siapa? Si Jay-Jay guru vokal lo itu?”

Karel mendekati Teza, mengintip tulisan pada partitur lagu yang ditunjuknya. “Kenapa emang?”

“Tulisannya jelek. Kayak cakar ayam. Gue kira bagian itu bass-nya di G, taunya C.”

Pipi Karel menggembung seketika mendengarnya. “Itu tulisan gue, tau!”

Karel menggeser tubuh Teza dengan tubuhnya. Ia ikut duduk di atas kursi piano yang sempit, mereka duduk berhimpitan. Tangan Karel sibuk membetulkan tulisan di partitur piano, memberi tanda di beberapa bagian yang sekiranya bisa ia berikan sedikit riff and runs.

Selagi Karel sibuk, Teza diam memperhatikan. Jarang sekali pria itu bisa menemukan Karel bersikap serius. Menyaksikan bagaimana Karel selalu menghayati nyayiannya, Teza bisa melihat dengan jelas betapa gadis itu menyukai pekerjaannya sebagai penyanyi.

“Lo suka banget nyanyi, ya?”

Karel mengangguk tanpa repot-repot menoleh. “Gue belajar nyanyi dari kecil. Mama yang ngajarin.”

“Dulu sering nyanyi lagu apa sama nyokap lo?” Teza menaruh kedua tangannya di atas paha, menghindari menekan tuts piano secara tak sengaja dan menimbulkan keributan. Ia ingin mengobrol sebentar bersama Karel. Menanyakan hal kecil-kecil yang membuat Teza sadar, banyak hal yang ia tak tahu tentang tunangannya.

Karel berhenti menulis. Ia memutar tubuh menghadap Teza. Satu tangan pria itu bersandar pada badan piano sambil menopang kepalanya yang menghadap Karel. Mata Teza menelusuri wajah sang gadis mungil yang sore ini bersikap manis. Wajah Karel sebagian bermandikan pancuran cahaya matahari sore sehingga rambutnya berubah keemasan. Persis seperti sosok peri dalam lagu hutan fantasi dalam bayangan Teza. Peri Karel.

“My bonnie? My bonnie lies over the ocean… yang itu, tau nggak, sih?”

Teza mengangguk, menyanyikan sepenggal lirik lagu tersebut. “Tau lah.”

“Ada lagi,” tambah Karel. “Do, re, mi.”

“Do re mi yang mana? Do re mi ada banyak. Budi Doremi juga ada Do re mi nya,” cerocos Teza. Karel memutar bola matanya malas.

“Ih… yang liriknya doe, a deer, you are my dear….”

Teza terdiam, wajahnya mengernyit dengan mulut terkatup. Mendadak dadanya berdebar kencang mendengar lirik lagu yang baru saja dinyanyikan Karel. Ia sejenak berpikir. “Coba sekali lagi gimana?”

Karel berdeham sebelum kembali bernyanyi dengan benar. “Doe, a deer, you are my dear. Ray, a drop of golden sun…”

“Kayaknya lirik lagunya nggak begitu deh,” sela Teza yakin. Karel mengangkat bahu. “Dulu mama ngajarinnya gitu. Katanya, khusus buat orang tersayang liriknya diganti.”

Teza menelan ludah. Pandangannya tak berpindah dari bola mata Karel yang jauh lebih terang dan berbinar tertimpa cahaya senja. Gadis itu menekan-nekan tuts piano dengan satu telunjuk, memainkan lagu yang dimaksud.

“Kalo gue minta lo nyanyiin lagu itu buat gue, lo bakal ganti liriknya nggak?” tanya Teza sungguh-sungguh. Karel berhenti bermain. Ia kembali menatap Teza. “Maksudnya, diganti kaya yang diajarin nyokap gue?”

Teza mengangguk membenarkan. Hatinya diam-diam harap-harap cemas untuk sebuah pertaruhan konyol. Sesederhana jawaban “ya” atau “tidak” akan menentukan apakah perasaan yang selama ini menggulung kusut di benak Teza perlahan akan terurai. Setiap detik penantian kata-kata keluar dari bibir Karel terasa seperti bertahun-tahun lamanya. Detak jantung Teza semakin kencang, terlalu cepat sehingga ia takut dadanya akan meledak.

“Iya, bakal gue ganti liriknya. Soalnya lo… termasuk orang yang gue sayang.” Karel tersenyum lebar.

Teza tercengang, dengan cepat mengubah posisinya. Tubuhnya tegak menghadap Karel. Tangannya merengkuh wajah gadis itu hati-hati, penuh kasih sayang, sementara matanya menjelajah mata Karel yang kini termenung menatapnya dalam kebingungan.

Teza tidak mengerti apa yang terjadi, apa yang merasukinya, apa yang membuat dia berpikir sore ini Karel seribu kali lipat jauh lebih centik dari biasanya. Seribu kali lipat lebih menggemaskan. Membuat rasa rindu yang Teza simpan beberapa hari ini juga menumpuk berkali-kali lipat, seperti gunung api yang siap meletus.

Wajah Teza bergerak maju perlahan, matanya turun pada bibir Karel. Hatinya bimbang memikirkan apakah tindakannya tepat, apakah tindakannya bisa diterima oleh si gadis yang kini tampak sedikit panik. Teza berhenti.

“Perlu gue kasih aba-aba, nggak?” tanyanya hati-hati. Napas Karel tercekat mendengar pertanyaan Teza. Sesak. Ia semakin tak bisa bernapas melihat wajah Teza yang hanya berjarak beberapa senti. Jangankan Karel, jantung Teza sendiri pun ikut meletup-letup merasakan napas gadis itu di wajahnya.

Sayangnya, sebelum sempat mendapat jawaban dari Karel, Teza lebih dulu mendengar suara bariton ayahnya berseru nyaring dari dapur. Membuyarkan suasana syahdu yang menghanyutkan di antara ia dan perempuan yang belakangan selalu mengganggu pikiran tenang Teza.

“TEZA, KAREL, pempeknya udah jadi. Itu pempek Tedi Arwananya tadi pas direbus ngembang jadi kayak ikan buntal.”

Teza menarik napas, terpaksa melepaskan tangannya dari wajah Karel ketika bocah itu menyemburkan tawa.

“Tedi ikan buntal,” bisik Karel sambil terkikik lalu kabur menyusul Ian ke dapur.

tbc.

--

--

No responses yet