[Ready, Set, Love!] — Episode Tom and Jerry
Karel menguap. Ketiga kali di depan Teza. Kesepuluh kali kalau dihitung sejak ia duduk di lobi hotel, menunggu jemputan alphard hitam yang kini membawanya melewati jalan-jalan di sekitaran Kuta. Mata Karel terasa sepet. Kalau bukan karena genggaman erat Teza pada tangannya, Karel pasti akan memilih melanjutkan tidur di mobil.
Karel menoleh, melihat Teza sedang memandanginya sambil tersenyum puas.
“Kak, ini gue diajak muter-muter sambil disenyumin doang? Lo nggak mau ngobrol apaa gitu biar gue nggak ngantuk?” Karel menyandarkan kepalanya ke kursi, nyaris terpejam lagi.
“Kalo mau tidur nggak apa-apa. Nanti dibangunin pas gue udah puas ngeliatin lo.”
Karel memutar bola matanya seraya tertawa. “Nggak mau. Habis ini nanti susah lagi ketemunya. Lo kan sibuk.”
Tangan Teza terjulur mengusap kepala Karel. “Siapa yang ngajarin lo jadi manis begini?”
Karel terkekeh. “Sebenernya pas lagi senggang kemarin, gue nontonin beberapa film lo, Kak. Akting lo keren banget. Semoga gue juga bisa sesukses lo nanti di usia yang sama.”
Teza menggeleng. “Gue nggak mau bahas soal kerjaan malam ini. Gue mau bahas soal lo.”
“Gue kenapa?” tanya Karel bingung. Ia berharap bisa melihat ekspresi Teza dengan lebih jelas di tengah suasana malam yang gelap.
Teza beranjak maju, mendekat ke Karel. Tangannya fokus mengusap satu punggung tangan perempuan itu pelan. Hati Teza berkecamuk bimbang.
Mereka sudah bertunangan cukup lama. Meski minim interaksi romantis, belakangan Teza menyadari ada yang berubah dari pola hubungannya dengan Karel. Teza berharap jantung Karel sama berdebarnya dengan milik Teza setiap kali mereka saling tatap. Teza ingin Karel mulai merasakan rasa suka dan nyaman kepada dirinya, walau hanya sedikit. Selama ini Karel tak pernah menunjukannya, itu yang selalu membuat Teza menarik garis batasan, menyadari kalau Karel mungkin belum terlalu dewasa untuk menyelami lebih jauh hubungan antara pria dan wanita.
Kecuali beberapa jam lalu, di balik panggung konser The Phantom. Itu mungkin satu-satunya sinyal yang Teza pernah dapat dari Karel. Sinyal hijau paling benderang yang membuat Teza yakin perasaannya berbalas. Dan Teza tak bisa menuggu lebih lama untuk memastikannya. Teza ingin mendengarnya dari bibir Karel sekarang juga.
“Kenapa tadi lo nyium gue?” Teza menatap Karel lurus-lurus. Karel berhenti menikmati rasa nyaman dalam usapan tangan Teza dan menaruh perhatian penuh pada pria itu.
“Gue mau jawaban lo sebagai perempuan yang mulai dewasa. Umur lo sekarang udah 19 tahun. Gue yakin lo paham risiko melakukan hal itu,” lanjut Teza.
Jantung Karel mulai ikut berdebar. Tatapannya jatuh pada genggaman tangan Teza di tangannya sebelum kembali ke atas, pada wajah pria tampan di hadapannya.
“Kak sejujurnya…, gue lihat adegan itu di film Tom and Jerry hehe…. Menurut gue adegannya manis banget.”
“Jadi, cuma karena Tom and Jerry?” ujar Teza kecewa berat. Harapan yang sempat memupuk setelah ia mendapatkan ciuman Karel — meski hanya di hidung — tadi mulai mengempis. Ternyata, memang terlalu dini mengharapkan Karel memahami hubungan percintaan.
Karel menggeleng. “Bukan, bukan.”
“Jadi?” Harapan Teza mulai mengembang kembali, sedikit.
“Um… gak tau? Tadi pas ngeliat lo di panggung, gue ngerasa seneng banget dan pengen banget bisa megang lo dari deket. Mungkin itu yang dirasain para penggemar lo yang lain. Terus tadi… pas kita ketemu….” Karel melirik Teza takut-takut, pria itu mentapnya seakan siap menelan Karel sewaktu-waktu jawabannya tidak memenuhi apa yang Teza harapkan.
“Waktu kita cuma berdua tadi… gue sadar, gue bukan cuma penggemar lo. Gue ini tunangan lo. Kayak lo bilang, ada bedanya antara penggemar-teman-pacar atau apapun itu dengan tunangan.”
“So?” Teza mulai tak sabar dengan penjelasan Karel yang panjang. Tangannya gatal ingin menarik tubuh Karel dan memeluknya.
“Karena gue gemes… dan kangen banget, gue nyium lo deh kayak di Tom and Jerry. Gue boleh kan begitu? Atau ini… lo marah dan nggak suka?”
“Lo kangen banget sama gue?”
Karel mengangguk, membenarkan pertanyaan Teza. “Kangen banget. Gue kesepian hampir dua bulan ini nggak main bareng sama lo. Ternyata punya temen ngobrol beneran lebih seru daripada ngobrol sama Tedi.”
Teza terkekeh. Pancaran sinar melas di mata Karel membuat perasaan Teza tenang. Teza mungkin tak bisa berharap Karel segera mengatakan dengan gamblang perasaannya, tapi Teza tahu, perasaannya sedikit demi sedikit berbalas. Ia hanya harus bersabar sedikit.
“Lo nonton episode yang mana?” Teza beranjak maju lagi sementara Karel berpikir.
“Um… lupa?”
Kedua alis Teza terangkat. “Lo pasti belom nonton semua episodenya, ya?”
Karel menggeleng tak setuju. “Nggak mungkin! Gue udah nonton Tom and Jerry dari kecil. Sebelum berangkat sekolah, pulang sekolah, seharian pas weekend. Nggak mungkin ada episode yang kelewat,” ucap Karel bangga.
“Kalo gitu, lo pasti juga tau adegan yang ini.”
Teza merengkuh kedua pipi Karel dengan tangannya. Kepalanya mendekat dengan cepat sehingga Karel tak punya waktu untuk memikirkan apa yang akan Teza lakukan. Ketika Karel tersadar, bibir Teza sudah menempel pada bibirnya. Mata Karel terbelalak cepat. Rasa kantuknya lenyap, digantikan letupan-letupan pada jantungnya yang seperti tenggelam dalam lautan lahar panas: membara, meleleh, dan hangus.
Jantungnya pasti sudah mati. Karel tak bisa mendengar detaknya sendiri. Ia hanya bisa merasakan kelembutan bibir Teza menyapu bibirnya pelan, memberikan sensasi rasa berdesir pada perut Karel. Geli. Karel tak pernah tahu seperti apa rasanya melihat banyak kupu-kupu di taman, tetapi sekarang ia paham bagaimana perasaan memiliki ratusan kupu-kupu di dalam perut.
Ketika bibir Teza bergerak mengecupnya sekali lagi, Karel sudah yakin ia akan pingsan. Untungnya, Teza segera melepaskan ciumannya pada bibir Karel. Kepala Teza menjauh, namun masih cukup dekat bagi Karel untuk bisa melihat bagaimana wajah pria itu bersemu di bawah cahaya temaram. SEORANG TEZA ARKANA TERSIPU! Karel tidak bisa percaya pengelihatannya.
“Gue nggak marah. Sama sekali nggak. Lo juga boleh ngelakuin itu — episode yang barusan — lain kali ke gue.”
Karel, bukannya menjawab, malah cegukan. Buyar sudah suasana romantis seabad sekali itu, digantikan oleh tawa Teza yang pecah melihat Karel kelimpungan berusaha meredakan cegukannya sendiri.
Lucu banget. Habis dicium malah cegukan, batin Teza gemas.
— tbc.