[Ready, Set, Love!] — Extra Chapter Part 1: Pipaw’s Princess

soljaecruise
8 min readFeb 21, 2025

--

“HALO SEMUANYA! MIMAW PULAAANGG!!!”

Teza langsung melotot panik memandang Karel yang berjalan separuh berlari ke arahnya. Telunjuk pria itu otomatis megacung ke depan bibir, memberi isyarat. Kepada istrinya untuk tidak berisik.

Sepanjang hari ini Teza sudah susah payah menenangkan Carmen. Putrinya kecilnya yang belum genap berusia dua tahun tersebut menangis seharian, rewel minta ditemani sang ibu yang sedang menikmati jatah “me time”.

Setelah diajak jalan-jalan keliling komplek dengan sepeda — sambil menemani Teza lari pagi, dilanjutkan acara bermain di kolam renang belakang rumah bersama Pipaw hingga kulit Teza nyaris terbakar sinar matahari, melewatkan jatah tidur siang dengan membangun istana balok bersama sang ayah, dan diakhiri sesi mengamuk sepanjang sore karena Carmen mengantuk tetapi menolak tidur tanpa ditemani Karel, bocah itu akhirnya terlelap sebelum petang tiba di atas kereta dorongnya.

Carmen terlelap setelah Teza memainkan sepuluh lagu pengantar tidur dengan piano peninggalan almarhumah ibu mertuanya. Sementara jari-jari Teza menari di atas tuts hitam putih dengan lihai dan kaki kanannya menekan pedal sustain, kaki kiri Teza juga secara aktif bergerak mendorong-dorong kereta bayi Carmen.

Ketika seluruh usaha Teza seharian ini berhasil membuat Carmen tertidur, Karel tiba, dengan wajah girang — persis sepuluh menit setelah mata Carmen terpejam.

Karel berhenti melangkah cepat dan lanjut berjalan sambil berjinjit dan meringis bersalah melihat raut kusut Teza. Ia perlahan menghampiri kereta bayi Carmen. Senyum tenang dan gemas di wajahnya seketika muncul melihat wajah putrinya tertidur damai meski matanya tampak sembap.

“Pipaw, Princess baru tidur?” tanya Karel sambil berbisik.

Teza mengangguk lesu. “Pipaw nggak bohong waktu bilang Princess nyariin kamu. Dia ngamuk seharian.”

Karel nyengir lebar kemudian mendarat kecupan di pipi kiri Teza. “Makasih, Pipaw. Mimaw bersih-bersih dulu biar bisa pegang Princess muehehe….”

Teza merelakan sosok Karel pergi ke atas, sementara ia kembali melantunkan lagu dari dawai piano, memberikan Carmen dua bonus lagu tambahan sebelum menggendong bayi itu ke kamar.

Sambil menunggu istrinya selesai mandi, Teza merapikan pakaian-pakaian miliknya dan Karel ke koper — yang akan dibawa ke Korea, untuk menghadiri festival penghargaan film internasional. Film yang diperankan Teza pada awal tahun ini masuk nominasi. Ia memang berniat mengajak Karel dan Carmen turut serta ke acara tersebut. Rencananya, sekalian berlibur.

Sejak Karel melahirkan anak pertama mereka, rasanya perhatian sang istri lebih banyak terpusat pada Carmen. Karel jarang memikirkan dirinya sendiri, kesenangannya. Beberapa tawaran untuk manggung di luar kota pun selalu Karel tolak, karena sulit membawa Carmen turut serta bersamanya untuk bepergian jarak jauh. Sementara, jadwal Teza sendiri masih cukup padat dua tahun belakangan, sulit untuk mengatur waktu mendampingi Karel.

Kali ini, Teza ingin memberi hadiah untuk Karel. Sebuah acara liburan yang sudah lama keluarga kecil mereka nantikan. Dodo, Ina — bahkan juga Papa Ian — ikut serta. Para manajer tidak hanya akan bekerja di sana, tetapi juga ikut berlibur.

“Pipaw beresin baju Mimaw?”

Karel memeluk Teza dari belakang begitu keluar dari kamar mandi. Ia mengecup punggung Teza sekilas sebelum menyandarkan kepalanya di sana dan membiarkan tangannya merayap, mengusap dada Teza pelan.

“Cuma baju yang buat liburan. Baju yang buat dipakai di acara nanti ada di Bunda Ina.”

Teza menangkup kedua lengan Karel, lalu memutar kepalanya. “Gimana tadi main sama Sasha? Seneng, nggak?”

“Seneng hehe…” Karel mengusap-usap wajahnya sambil tersenyum manja kepada sang suami. “Makasih Pipaw udah mau jagain Carmen.”

“Carmen kan anak Pipaw juga. Mimaw nggak perlu bilang makasih.”

Teza memindahkan rangkulan Karel dari belakang ke depan tubuhnya sehingga lebih mudah baginya menciumi wajah sang istri. “Mimaw wangi banget. Pipaw kangen wangi Mimaw seharian ini.”

“Kayang gombal huehehe…” Karel menggeliat kegelian, berusaha menghindari kecupan Teza yang tak berkesudahan.

“Udah ah. Mimaw juga mau beresin baju Princess.”

Karel mendorong tubuh Teza menjauh. Suaminya terkekeh, merelakan Karel ikut sibuk menatap koper sama seperti Teza melanjutkan kesibukannya yang sempat terinterupsi.

“Tadi Pipaw main apa sama Carmen?”

Teza mendesah. Kata “bermain” rasanya kurang pas digunakan kalau dirinya sendiri lebih sering dijadikan “samsak” oleh sang putri yang kini tertidur. Tak terhitung berapa kali Teza terkena lemparan balok plastik, atau lengannya digigit gemas oleh Carmen, juga punggungnya yang nyaris encok setiap kali Carmen menubruknya kencang dengan mobil-mobilan yang bocah itu naiki. Apalah yang bisa Teza lakukan selain bersabar dan memberi pengertian pelan-pelan bahwa tindakan putrinya tersebut menyakiti orang lain.

Sepanjang bermain dengan sang ayah, ada saja celetukan Carmen bertanya, “Maw na…? (Mimaw mana)”. Hampir setiap jam Carmen menanyakan pertanyaan tersebut. Teza berkali-kali menjelaskan kalau sang mimaw yang dicari sedang pergi dan akan segera pulang. Carmen mengangguk-angguk setiap kali mendengar jawaban pipawnya, entah paham atau tidak, Teza tak yakin. Namun pertanyaan itu terus berulang, frekuensinya makin sering ketika Carmen mulai mengamuk sepanjang sore.

Teza menarik napas, siap bercerita panjang lebar. Namun belum sepatah kata keluar, dilihatnya perhatian sang istri sudah beralih kepada bocah perempuan yang kini terduduk di kasur sambil mengusap-usap mata.

“Maw? Maw?” Carmen merentangkan tangan sambil membuka-tutup telapak tangannya melihat Karel, minta dipeluk.

“Uuuwww… Princess Mimaw bangun!”

Karel menghambur memeluk Carmen dan menghujani bocah itu dengan ciuman bertubi-tubi, melupakan sang suami yang kini hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia melirik jam dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Nampaknya ia tidak akan bisa tidur cepat, harus mendampingi dua bayi bokem bermain hingga tengah malam nanti.

“Kayang… Mimaw pusing… ngantuk….”

Kepala Karel sempoyongan, terantuk-antuk menahan kelopak matanya yang kian berat. Teza sudah menduga, istrinya pasti bakal ikutan “rewel” setelah semalam baru terlelap pukul dua pagi, usai menidurkan Carmen.

Penerbangan mereka menuju Incheon International Airport akan berangkat sesuai jadwal, pukul sembilan pagi. Dua jam sebelum keberangkatan, keluarga Teza dan Karel — berikut Ina dan Dodo sudah tiba di bandara. Dengan kondisi sama mengantuknya, Teza membiarkan istrinya menyandarkan kepalanya di bahu pria tersebut.

“Tidur aja sebentar. Biar Carmen dijagain sama Papa Ian sama Mbak Nana.”

Carmen mengangguk, mengikuti sarang sang suami, ie memejamkan mata di bahu Teza. Rasanya hanya beberapa detik, karena setelah itu, suara tawa cekikikan bocah kecil terdengar kian jelas mengarah kepadanya.

“Maw? Maw bobo?”

Terdengar jawaban Teza, suaranya sangat dekat di telinga Karel, “Sst… Mimaw Bobo, sayang. Princess main sama Kakek Ian dulu, ya?” lalu disusul dengan rengekan bocah yang awalnya pelan namun kian lama kian mengusik ketenangan para pengguna lounge di sekitar mereka.

“Maw… Maw… Maw….”

Karel membuka mata kembali begitu Carmen menuburukkan tubuhnya di kaki Karel lalu memukul-mukul paha perempuan tersebut, merengek, minta digendong ibunya.

“Carmen main sama Pipaw aja, ya?” tawar Teza sambil merentangkan tangan. Kalimat sang ayah berhasil membuat Carmen tenang seketika. Rengekan bocah itu terhenti, ia memandang Teza dengan bola mata bulat membesar dan berbinar senang.

“Paw? In? (Pipaw main?)”

Teza mengangguk, lalu meraih salah satu tangan Carmen yang sudah siap minta digandeng.

Karel mengangkat kepalanya dari bahu sang suami dengan enggan. Sambil menguap ia mendekatkan wajahnya kepada sang putri yang kini sudah kembali ceria, tak sabar ingin bermain kejar-kejaran bersama Teza. Karel lantas mengecup pipi Carmen — menggigitnya juga sekilas.

“Princess main sama Pipaw dulu, ya. Mimaw ngantuk. Hati-hati ya, mainnya… Jangan bikin nangis anak orang….”

Carmen mengangguk-angguk, seolah mengerti saja. Ia mengerjap sambil tersenyum kepada Karel.

“Maw Bobo?”

“Iya, Mimaw bobo sebentar, ya,” jawab Karel sebelum merelakan Teza dan Carmen pergi meninggalkannya jalan-jalan keluar lounge.

Di sebelahnya, kini ganti Papa Ian yang duduk menempati posisi Teza sebelumnya. Napas mertuanya tampak ngos-ngosan.

“Papa Ian baik-baik aja?” tanya Karel cemas. “Papa Ian diapain sama Carmen?”

Ian Arkana menaruh satu tangannya di dada, berusaha mengatur napas. “Cucu Papa ini… tenaganya kuat. Larinya kencang sekali… kayak atlet. Papa rasa Teza juga pasti bakal kewalahan.”

Karel terkekeh mendengar celotehan ayah mertuanya. Ia memejamkan mata, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Ian.

“Anak itu emang larinya cepat banget, kayak kuda, tapi kuda yang cantik. Kuda poni.”

Ian Arkana ikutan terkekeh mendengar jawaban melantur putri menantunya. Ia membiarkan Karel tertidur sejenak hingga panggilan boarding untuk penerbangan mereka tiba.

“Mimaw takut? Sini biar Carmen sama Pipaw aja.”

Karel menggeleng kuat-kuat, meski jelas wajahnya mengerut, tampak ketakutan. Ia memeluk tubuh Carmen di pangkuannya kuat. Bocah itu ikutan rewel, mengantuk karena kelelahan bermain — dan memang sudah waktunya jatah Carmen tidur pagi sejenak karena semalam apapun bocah itu tertidur, setiap pukul lima pagi, mata Carmen pasti sudah kembali terbuka. Apalagi hari ini, bocah itu memang terpaksa dibangunkan lebih pagi untuk bersiap-siap berangkat ke bandara.

Sambil menahan rasa takutnya, Karel mengusap-usap punggung Carmen, berusaha menenangkannya. “Kayaknya Carmen juga takut deh naik pesawat.”

“Dia capek aja itu, ngantuk,” balas Teza. “Tadi lari jauh banget sampe keringatan, tuh….” Teza merapikan rambut-rambut halus Carmen, menepikan bagian poninya yang lepek dari kening bocah itu. Teza meraih satu tangan Carmen, mengusap-usapkannya ke wajah hingga membuat perhatian Carmen teralihkan, tangisannya sedikit mereda.

“Main lagi, mau?” tanya Teza. Carmen mengangguk sambil menahan isak tangis.

“Au… (Mau).”

“Gendong Pipaw, mau?”

Visualisasi Karel mindahin gendongan Carmen, tapi anggap aja di pesawat 😂

Carmen mengangguk sekali lagi. Ia merentangkan tangannya kepada Teza, minta dipindahkan. Jadilah Karel harus ikut memindahkan sabuk pengaman milik Carmen ke kursi sang suami. Anehnya, tangisan Carmen reda sepenuhnya begitu dipeluk Teza. Putrinya memeluk sang ayah erat seperti bayi koala.

“Sini, Mimaw pengangan tangan Pipaw.” Teza mengulurkan tangan kepada istrinya.

“Mimaw mau dipangku juga aja kayak Carmen boleh, nggak?”

“Mana bisa, sayang….” Teza mengembuskan napas, sudah terlampau maklum dengan celetukkan Karel yang sering di luar akal.

Bibir Karel lantas cemberut, menekuk ke bawah. “Mau pangku juga….”

“Iya, nanti dipangku kalau udah sampai hotel sana, ya. Sekarang Mimaw jangan ikutan rewel kayak Carmen. Ayo, sebentar lagi take off. Pasang sabuknya lagi yang bener.”

Karal menurut, meski wajahnya masih tertekuk. Ia menggenggam tangan Teza erat — meremas lebih tepatnya — ketika pesawat lepas landas. Meski sudah berkali-kali terbang bersama Teza — sebelum melahirkan, Karel masih tetap saja takut setiap kali harus bepergian naik pesawat. Memang, setelah ditemani sang suami, rasa takut itu jauh berkurang dibandingkan yang Karel rasakan sebelumnya. Ia tidak lagi menangis, hanya tetap merasa cemas dan panik, seperti sekarang.

Begitu pesawat mengudara dan lampu tanda sabuk pengaman dimatikan, Karel kembali bernapas lega. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Teza sejenak agar suaminya bisa bergerak leluasa menidurkan Carmen di bassinet. Carmen yang dikira Teza sudah hampir tertidur, mendadak menangis lagi ketika tubuh bocah itu sudah hampir berbaring di atas ranjang, kali ini karena kehausan.

“Neyney… neyney….”

“Susu aja, ya? Kan Princess udah besar… pakai botol susu aja, ya?” tawar Karel sambil memamerkan botol susu dengan tempelan stiker bergambar Shinchan kepada Carmen.

Carmen menggeleng lagi, tangisannya makin keras hingga menarik perhatian Ian Arkana yang duduk di seberang kursi Teza.

“Kenapa cucu Kakek?”

“Neyney… HUE… NEYNEY….”

“Enggak, neyney, sayang,” tolak Teza tegas. “Ayo, minum susu di botol. Kasian Mimaw udah capek-capek bikin.”

Carmen yang tentu belum sepenuhnya mengerti tetap menangis hingga membuat Karel hampir menyerah, tetapi tidak dengan Teza. Sang ayah kembali meraih Carmen ke gendongannya, lalu bangkit berdiri.

“Kayang mau ke mana?” tanya Karel bingung.

“Ajak Carmen jalan-jalan, biar tidur. Dia sebentar lagi tidur, matanya udah ngantuk banget.”

“Nanti keliatan orang-orang?”

“Nggak apa-apa, cuma di pesawat ini.”

Dan begitulah ceritanya, bagaimana wajah Teza dan Carmen bisa berakhir menjadi unggahan viral di media sosial.

Teza Arkana, sang aktor dan penyanyi terkenal, rela menggendong-gendong putrinya di pesawat dan menyapa hampir seluruh penumpang di kabin bersama Carmen.

— End of Part —

--

--

Responses (1)