[Ready, Set, Love!] — Girl, You Got Me Going Crazy.

soljaecruise
9 min readOct 20, 2024

--

Dingin. Karel menggosokan telapak tangannya berkali-kali menanti panggilan naik ke atas panggung. Teza sudah mendahuluinya. Setelah penampilan The Phantom, Teza memang tak ikut turun. Gilirannya bernyanyi bersama Karel ada di urutan penampilan selanjutnya. Meski sebelum naik ke panggung tadi, Teza sudah sempat memberikan dukungan kepada Karel — dengan menggenggam sekilas tangan gadis itu, Karel masih saja gugup, seakan ini adalah konser pertamanya.

Lampu panggung perlahan redup, hanya menyorot ke arah Teza yang berdiri gagah sedang memberikan sedikit sambutan pembuka. Detik demi detik rasa nervous Karel semakin bertambah. Tak biasanya otaknya berpikir di saat-saat seperti ini, membayangkan seperti apa reaksi penonton ketika ia berdiri di sebelah Teza Arkana, sang idola.

Saat Teza memanggil namanya, Karel bisa merasakan Bunda Ina meremas bahunya pelan, memberikan suntikan semangat yang sedikit mencairkan rasa tegang di sekujur tubuh Karel. Karel berjalan mantap ke atas panggung, tangannya melambai kepada penonton yang bersorak-sorai. Riuh siulan menggulung seperti ombak yang makin besar ketika Teza merangkul pundak gadis itu sambil tertawa renyah. Beberapa penonton — yang mayoritas adalah remaja usia akhir dan para dewasa muda — berteriak nyaring hingga sampai ke kuping Teza dan Karel.

PACARAN YAA??”

Karel tahu, ini hanya akting di atas panggung, tetapi ia merasa sangat berterima kasih dengan sikap penyambutan Teza yang hangat, membuat Karel menemukan kepercayaan dirinya kembali.

Pekikan heboh penonton tak kunjung surut hingga Teza memberi isyarat dengan tangan agar penonton memberinya kesempatan berbicara. Baru setelah itu, situasi konser lebih kondusif.

“Karel,” panggil Teza, suaranya menggema. Pria itu menunduk, menatap Karel yang memegang mic kuat-kuat dengan kedua tangan. Karel merasakan tangan Teza meremas bahunya pelan, persis seperti yang dilakukan Bunda Ina, memberi dukungan moral. Tatapannya menembus hingga ke jantung Karel.

“Kita mau ngapain di sini?” lanjut Teza.

Karel tertawa, salah tingkah. “Mau nyanyi lah, Kak. Masa balapan liar,” jawabnya asal yang langsung ia sesali. Karel melipat bibirnya, menahan tawa dan rasa malu ketika dilihatnya para penonton ikut menertawakan dirinya dan Teza yang malu-malu di atas panggung.

“UDAH PACARAN AJA!” teriakan-teriakan sejenis kembali terlontar.

“NGGAK BOLEH KAK TEZA PUNYA GUE!”

“KAREL JANGAN MAU SAMA DAUN TUA!”

“SEMBARANGAN AJA KALO NGOMONG!”

“KAREL KAMU ANTRE DULU YAA. TUNGGU GEDE DULU BARU PACARAN.”

Teza berkacak pinggang, mengalihkan tubuhnya yang semula menghadap Karel, kini berbalik menatap para penonton.

“Siapa itu tadi yang bilang ‘Tunggu gede dulu baru pacaran’? Coba kita tanya.” Teza kembali mengarahkan tubuhnya pada Karel. “Karel, kamu mau nggak pacaran?”

“AAKK TIDAK KAK TEZAAA…”

Yang ditanya malah mesem-mesem. Karel menggoyangkan tubuhnya ke kanan-kiri, serba salah. “Ma — Mau. Tapi belum punya hehe….”

“Gue boleh nggak ikutan ngantre?” lanjut Teza, sengaja menggoda tanpa pikir panjang yang membuat lutut Dodo bergetar di balik panggung dan Bunda Ina hanya bisa menutup wajahnya dengan telapak tangan, stress.

“ORANG GILA!”

Kegilaan penonton semakin menjadi. Beberapa di antara mereka bahkan sudah meraung ganas, antara meleleh ikut salah tingkah atau siap memasang badan melindungi idola masing-masing; Teza dengan The FantasTEZ-nya dan Karel yang malam ini ketambahan banyak penggemar baru. Teza dan Karel hanya bisa saling tertawa sambil menutupi wajah masing-masing dengan mikrofon.

Karena sudah tak mampu mengontrol antusiasme dan suasana yang makin ricuh, Teza menyudahi kelakarnya. Ia melambaikan tangan kepada penonton, tanda menyerah, kemudian mengalungkan gitar dan mulai memainkan melodi pembuka lagu.

Suara penonton redup dengan sendirinya, seperti lampu panggung yang kian padam. Hanya terang dari layar latar belakang panggung dan lampu sorot yang mengarah ke Teza dan Karel yang menerangi pandangan di sana.

Teza menatap Karel dalam-dalam sebelum melantunkan lagu sepenuh hati.

Can we just sit down, have a little conversation?

Yeah, I wanna talk it out ’cause I’m all up in my feelings.

I never felt this before and I just wanna feel some more.

We used to keep casual. Now, I wanna just be yours.

Can we sit down, try to have little conversation?

Karel terserap sepenuhnya dalam pesona mata Teza. Ia menikmati alunan suaranya sendiri yang ringan berpadu sempurna dengan suara berat dan serak Teza, memberi sentuhan lembut dan gembira di tengah suasana lagu yang romantis. Bayangan dunia di sekitarnya pudar, hanya menyisakan dirinya dan pria tampan di hadapannya. Kalau saja kekuatan teleportasi itu nyata, Karel yakin ia tidak sadar telah menggunakannya dan menyeret Teza bersamanya.

See, you got me all in my head. Every day with you is like the weekend.

I try to quit, but truth is I don’t want to, ’Cause twenty-four seven I’m thinking about you

Twenty-four seven I’m thinking about you, you, you, you, you, you, you-ooh

You, you, you, you

Twenty-four seven I’m thinking about you.

Teza memosisikan gitar ke balik punggungnya, membiarkan pemain musik pengiring di balik layar menggantikan tugasnya mengalunkan melodi lagu. Ia ingin fokus kepada Karel, kepada momen yang belum tentu akan terulang beberapa tahun mendatang. Teza meraih tangan Karel, sambil memberi isyarat agar suara musik pengiring dipelankan.

“Karel,” panggilnya di tengah-tengah penampilan. Karel mengerjap kaget melihat Teza bertindak di luar skenario. Ramai suara penonton terdengar kembali.

“AAAA….”

“I — Iya?” jawab Karel terbata-bata sambil mengatur napas. Wajahnya tampak tersenyum malu-malu lagi.

Teza mencium punggung tangan Karel sebelum memamerkan senyum mematikan sejuta gigawatt-nya, membuat para penonton perempuan berteriak histeris seperti kesetanan, nyaris menggelepar pingsan di atas aspal. Sementara Karel sendiri, nyaris mematung kalau saja Teza tak segera kembali melagukan sisa lirik menjelang bagian akhir.

Ah, I’ve been thinking about. I’ll still be thinking ‘bout you

Di balik layar, Dodo sudah menerima puluhan pesan dari Benjamin — bosnya, bersiap-siap dengan serbuan media yang sudah menanti, tak sabar ingin menodong wawancara dadakan begitu konser berakhir. Ia sigap melakukan koordinasi dengan Inara, membuat skema exit plan yang lebih aman untuk kedua artis yang masih tenggelam dalam penampilan mereka di atas panggung.

Meski harus diakui penampilan duet Teza dan Karel adalah penampilan terbaik pada acara konser malam ini, baik agensi Teza dan Karel sama-sama tak menampik adanya rasa waswas akan berbagai permberitaan negatif yang berpotensi muncul, juga reaksi para penggemar masing-masing artis yang belum tentu bisa menerima chemistry luar biasa jelas antara Teza-Karel dengan lapang dada.

Twenty-four seven I’m thinking about you.

Musik berhenti bermain. Wajah Teza dan Karel bertatapan, berhadapan hanya dalam jarak sejengkal wajah. Kalau lampu panggung tak langsung menyala diikuti hujan confetti, Teza mungkin bakal kelepasan mencium Karel di depan ribuan pasang mata di depan mereka. Gila, pikir Teza. Ini adalah penampilan paling gila seumur hidupnya. Teza nyaris hilang akal.

Untungnya Karel lebih dulu memutar tubuh, membungkuk kepada para penonton sambil bertepuk tangan dan mengucapkan terima kasih kepada Teza. Keduanya kemudian segera meninggalkan panggung, disambut oleh tepuk tangan keras dari para kru dan penyanyi lainnya di balik layar. Tak berapa lama berselang, lagu selamat ulang tahun berdengung di sekitar Teza.

“SELAMAT ULANG TAHUN TEZA ARKANA!” ucap para kru konser kompak, sementara Karel berdiri tertegun. Ia sama sekali tidak ingat hari ulang tahun Teza saking sibuknya mempersiapkan konser. Bagaimana ia bisa melupakan hari paling penting bagi tunangannya?

Karel diam-diam menyingkir, mencari Inara yang berdiri tak jauh darinya. Ia kemudian berbisik panik, “Bunda, aku lupa hari ini Kak Teza ulang tahun. Gimana ini?”

Inara hanya mengangguk-angguk. “Nggak apa-apa. Kita pulang duluan. Papa mertua kamu udah nyiapin kejutan juga di rumahnya.”

Karel mengangguk-angguk mengerti kemudian segera berlari ke ruang ganti ditemani Ina, meninggalkan Teza yang celingukan mencari sosok tunangannya. Betapa kecewanya Teza ketika ia tak menemukan sosok Karel, merasa ditinggalkan begitu saja, namun ia tetap memaksakan seulas senyum selagi para kru memintanya memanjatkan doa dan meniup lilin di atas kue ulang tahun yang telah disiapkan.

“Papa Ian, kaki Karel kesemutan.” Karel memijat betisnya pelan. Kakinya keram terlalu lama merunduk di balik sofa, menanti Teza pulang ke rumah. Jam sudah menunjukkan lewat dari tengah malam. Sebenarnya hari ulang tahun Teza sudah lewat, tetapi baik Ian, Karel, Inara, dan Mario masih setia menunggu.

“Kok Kak Mario bisa kabur duluan?” tanya Karel sambil bisik-bisik yang sebenarnya tidak perlu karena tanda-tanda kedatangan Teza pun belum nampak.

“Gue bilang diare. Kalo lo?” tanya Mario balik.

“Nggak ada. Kabur aja.”

“Pantesan tadi si Teza kayak orang kelimpungan. Ternyata curutnya ilang,” seloroh Mario. Karel memandangnya tak suka. “KOK CURUT?” Namun, Mario keburu membekap mulutnya karena detik berikutnya, mereka mendengar suara derit pagar rumah Ian Arkana terbuka, disusul oleh deruman halus mobil.

“Udah datang! Udah datang!” Ian Arkana berteriak heboh. Mario melompati sofa, mematikan seluruh lampu di ruangan sebelum ikut berjongkok kembali di sebelah Karel. Suasana hening seketika menyelimuti. Hanya detik jarum jam yang terdengar diiringi suara cicak merayap di dinding.

Teza bingung ketika melihat suasana rumahnya gelap. Ia pikir, mungkin ada pemadaman listrik. Teza tak menaruh rasa curiga seikitpun, ia melangkah masuk ke dalam sementara Dodo masih mengurus barang-barang di mobil. Tubuhnya sudah lelah, lesu juga karena tak menemukan Karel usai penampilan mereka di panggung. Agaknya Teza merasa sedikit kecewa dan sedih karena Karel tak ikut merayakan ulang tahunnya bersama para kru konser yang lain. Waktu Teza mencoba menghubungi ponselnya sepanjang perjalanan pulang ke rumah Ian pun, ponsel Karel mati. Nyaris saja Dodo berkorban lagi dengan mengantar Teza ke rumah Karel dulu sebelum pulang ke rumah Ian, karena Teza penasaran setengah mati tak mendapatkan kabar Karel sama sekali, dari Bunda Ina sekalipun.

Teza melangkah gontai, bahunya terkulai lemas. Sebenarnya ia berniat pulang ke apartemen, tetapi Ian memintanya menginap di rumah karena belakangan kondisinya kurang sehat. Tadi pagi di telepon, Ian juga sempat minta tolong untuk diambilkan bermacam-macam obat yang asing di telinga Teza dari toko langganannya. Katanya, sudah beberapa hari ini ia kesulitan buang air kecil. Diajak berbicara pun kadang tidak nyambung, membuat Teza khawatir.

“Paa…?” Teza meraba dinding sambil menyalakan senter melalui ponselnya. Melalui pencahayaan minim itu, ia mencoba melihat situasi rumah. Sepertinya Ian sudah tertidur.

Tiba-tiba saja, Teza merasakan ada sesuatu merayap di kakinya. Sesuatu yang berat dan menggelayuti betis Teza sehingga ia tak bisa melangkah. Teza terperanjat, tubuhya menabrak dinding. Cepat-cepat Teza mengarahkan senter ponselnya ke bawah. Di sanalah ia menemukan wajah Karel sedang cengengesan.

“ASTAGA KAREL!”

“Wooo… Happy birthday, Kak Teza, wooo…,” ucap Karel dengan nada menakut-nakuti seperti hantu di film kartun. Tangannya bergerak-gerak ke atas, membuat gelombang. Alih-alih merasa ngeri, Teza justru mengembuskan napas keras sambil memandang Karel keheranan. Ada aja sih tingkahnya bocah ini???

“Karel, cepet bangun. Jangan gelayutan kayak monyet gitu di kaki gue!” omel Teza galak.

Lampu ruangan menyala dalam sekejap, membuat pandangan Teza terang benderang seketika. Kini ia bisa dengan jelas melihat, tidak hanya Karel, tetapi ayahnya, Mario — sahabatnya sejak SMA, juga Inara berada di ruangan yang sama. Ketiganya kompak menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Teza. Dodo tak lama sudah hadir menjadi tamu pelengkap malam perayaan ulang tahun Teza Arkana.

Ian perlahan mendekat, dengan susah payah karena kakinya yang sedikit membengkak, membawakan kue ulang tahun untuk putra tunggal kesayangannya yang kemarin menginjak usia ke-24 tahun. Suaranya bergetar ketika menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Teza. Sedih campur bahagia karena ia masih diberi umur untuk melihat putranya tumbuh dewasa.

“Selamat ulang tahun, anakku.”

Teza memeluk Ian dengan mata sama berkaca-kaca. Sudah lama, ulang tahunnya tidak pernah semeriah ini. Terlebih, dengan kehadiran Karel di rumah. Meski sempat membuat Teza nyaris jantungan, kedatangan Karel malam ini di rumahnya terasa seperti hadiah. Teza merasa seperti ketambahan anggota keluarga baru.

“Makasih banyak, Pah….”

Teza melepaskan pelukannya pada Ian, lalu menarik lengan Karel, meminta gadis itu ikut berdiri di sebelahnya. Selagi Teza memanjatkan doa, tangannya tak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Karel. Berjaga-jaga siapa tau bocah itu kabur lagi dan sudah lenyap sebelum Teza sempat membuka mata setelah meniup lilin.

Para tamu undangan yang hadir bertepuk tangan begitu cahaya lilin padam. Tidak ada suara terompet yang berisik, Mario sudah mewanti-wanti Karel ketika ide itu muncul di kepala gadis mungil tersebut, membuat Karel sedikit kecewa karena tak bisa memberikan perayaan ulang tahun yang meriah kepada tunangannya.

“Maaf ya, Kak. Gue belum sempet nyiapin kado. Gue lupa hari ini lo ulang tahun, saking nervous-nya mikirin konser,” aku Karel jujur begitu menerima potongan kue pertama dari Teza. Ekspresinya muram, merasa bersalah.

“Nggak apa-apa. Gue punya ide yang lebih bagus dari pada kado apapun yang lo pikirin sekarang,” balas Teza dengan senyum misterius di wajahnya. Ian Arkana dan Mario yang ikutan menyimak obrolan tersebut memandang Teza penasaran.

“Apa?” todong Mario. Teza menoleh, masih sambil tersenyum, menatap Ian sungguh-sunggguh.

“Pah, Teza izin mau nyium Karel boleh, ya?”

“LU GILA!” Mario sontak meraup wajah Teza dengan telapak tangannya, gemas, ingin menenggelamkan wajah Teza ke baskom berisi air dingin biar pikirannya jernih kembali.

Namun, Teza tak mengindahkan. Baik mendapat izin atau tidak, dia sudah memutuskan ingin mencium Karel sekarang juga! Sayangnya, waktu kepala Teza siap menyosor, Karel keburu berteriak panik.

“NGGAK MAU CIUM! NANTI HAMIL!”

“KAN KEMAREN KATANYA BOLEH?” Protes Teza tak kalah ribut.

Karel menggeleng-geleng, ketakutan, nyaris menangis. “NGGAK MAUUU! NGGAK MAU CIUM! ADA PAPA IAN! MALU TAKUT HAMIL!”

Meledaklah seketika tawa orang-orang di sekitar mereka. Teza yang kadung malu pun terpaksa mengurungkan niat dan menelan kembali keinginannya mendapatkan momen romantis di hari ulang tahunnya sendiri.

Awas ya, Bokem. Lengah dikit gue sedot lu! batinnya penuh rasa dendam.

tbc.

P.S.: Makasih untuk Anon Retro yang udah memberikan rekomendasi lagu untuk duet Teza-Karel ❤

--

--

Responses (1)