[Ready, Set, Love!] — Goodbye, Kayang…

soljaecruise
5 min readNov 15, 2024

--

“Kenapa sih Kayang harus pulang?”- yang kesepuluh kali sejak pukul dua belas malam, sampai sekarang, nyaris pukul tiga pagi.

Karel mendesah, lalu menguap. Matanya sudah berat kalau boleh jujur, tetapi mana tega dia meninggalkan Teza sendirian mengepak barang-barang ke koper. Meskipun, Teza melarangnya membantu. Dia tahu, Karel sudah lelah setelah bernyanyi di Times Square. Jadi, Karel hanya diperbolehkan menonton sambil rebahan di kasur.

Pintu kamar mereka terbuka. Sesekali Inara tampak mondar-mandir membereskan oleh-olehnya ke kulkas atau ke rak dapur. Mungkin karena masih jetlag, Ina juga tak bisa langsung terlelap. Malah tadi sempat membuat mie instan karena kelaparan.

Teza yang lagi-lagi mendengar pertanyaan Karel, hanya bisa tersenyum sambil mengusap kepala sang istri. Tangannya tak berhenti memindahkan pakaian dari lemari ke koper.

“Kayang kapan ke sini lagi?” tanya Karel — lagi-lagi — sambil menguap.

“Belum juga pulang, udah ditanya kapan ke sini lagi.” Teza terkekeh. Kali ini ia berjongkok di depan Karel sambil mencuri lirik ke pintu, lalu mengecup bibir istrinya singkat. “Kamu liat… celana dalaman aku yang warna biru gelap, nggak?”

Mata Karel yang hampir terpejam mengerjap. “Hm…? Bukannya udah kita laundry waktu itu?”

Karel bangkit dari kasur, berjalan menuju lemari. Tangannya sibuk memindahkan beberapa tumpuk baju, tapi tak ketemu. Karel mengernyit.

“Ya udahlah, ikhlasin aja. Kayang kan bisa beli lagi di sana yang banyak,” sungutnya. “Lagian kalo ketinggalan di sini emang kenapa? Kayak nggak bakal balik aja.”

Teza tertawa mendengar cerocosan dari bibir Karel. Jelas sekali aura tak ikhlasnya ditinggal Teza pulang. Teza kemudian bangkit. Dengan satu gerakan luwes, tangannya menutup pintu kamar. Inara yang kebetulan lewat langsung paham. Perempuan berusia nyaris lima puluh tahun itu berjingkat-jingkat kembali ke kamarnya sambil tersenyum salah tingkah.

Di balik pintu kamar yang baru saja ditutup, Teza memeluk tubuh Karel — yang masih sibuk merapikan pakaian di lemari — dari belakang. Bibirnya mengecup area pundak dan leher Karel lembut dan penuh khidmat. Terbayang rasanya harus menahan rindu — entah sampai kapan, Teza tak tahu. Yang pasti, setibanya di Jakarta, banyak pekerjaan yang sudah menanti Teza. Syuting film barunya, penampilan-penampilan The Phantom dari satu panggung di satu kota ke panggung lain di kota lain, dan juga pemotretan iklan dan majalah yang sudah ikut mengantre di daftar agenda Teza.

Kalau dilihat-lihat, mungkin ia baru bisa sedikit bernapas lega setelah syuting filmnya selesai. Mungkin sekitar enam sampai delapan bulan lagi. Mana sabar Teza menunggu selama itu untuk bertemu dengan Karel lagi?

Teza memutar tubuh Karel menghadapnya. Istrinya hanya bisa menunduk, muram.

“Hei,” panggil Teza. Karel sedikit menengadah, lalu kembali menunduk. Ngambek ceritanya karena Teza tak menjawab kapan ia bakal kembali ke sini.

Teza merengkuh tubuh Karel, memboyongnya berbaring di kasur. Agenda mengepak kopernya sudah cukup malam ini. Tinggal agenda merayu istrinya yang sedang merajuk. Bisa berabe kalau sampai Teza meninggalkan Karel dalam keadaan hati mangkel, takut didiamkan lagi selama setahun seperti kali terakhir.

Mata Karel tampak berair lagi. Belum-belum juga sampai di bandara, Karel sudah menghabiskan satu kemasan tebal tisu kering. Teza mengusap pipi Karel dan mengecup cuping hidung istrinya.

“Kamu udah hampir setengah jalan kuliah. Ya masih lumayan lama sih… tapi liburan semester depan kan bisa pulang, sambil nunggu aku nyusul ke sini….”

Karel merangsek mendekati tubuh Teza, memeluk erat suaminya dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang pria. “Libur semester depan masih lama..,” timpalnya.

“Ya udah, nanti tunggu aku nyusul, tapi nggak bisa lama-lama. Paling cuma tiga hari?”

Karel menggeleng. “Itu mah belum selesai jetlag udah pulang lagi.”

Teza terkekeh, pikirannya membenarkan omongan Karel. Ia pun balas memeluk tubuh mungil di depannya sambil menerawang menatap langit-langit kamar. Kapan kiranya mereka bisa tinggal bebas berdua tanpa harus khawatir berpisah lagi? Jawaban yang pasti adalah, tidak dalam waktu dekat.

Bandara John F. Kennedy, seperti biasa, ramai dan sibuk. Selayaknya tempat kedatangan dan kepergian, selalu ada yang berpelukan erat ataupun menangis menghadapi perpisahan, seperti yang dilakukan Karel. Sudah nyaris setengah jam, pelukannya pada tubuh Teza tak mau juga dilepas. Padahal sudah waktunya Teza untuk masuk kalau tak mau ketinggalan pesawat. Namun, Teza dengan sabar berusaha menenangkan Karel. Inara yang jadi penonton hanya bisa tersenyum dengan kepala sedikit pusing karena baru tertidur sebentar.

“Nanti Kayang ke sini lagi kan…?”

“Iya, nanti ke sini lagi….”

“Kapan…?” Wajah Karel memberengut. Meski Teza tak bisa melihatnya, karena Karel masih memeluknya erat, ia tahu, Karel pasti cemberut dengan wajah berair. Apalah gunanya membawa tisu kalau pada akhirnya jaket yang dikenakan Teza lah tempat mengelap wajah paling efektif?

“Kapan Kayang ke sini,” berondong Karel karena tak kunjung mendapat jawbaan dari Teza semalam.

“Aku nggak bisa janji, takut kaya waktu itu, malah tiba-tiba nggak jadi. Pokoknya kamu tungguin, nanti tiba-tiba aku udah nyampe sini.”

Bukannya mereda, tangisan Karel justru makin kencang. “HUEENGG… MAU PULANG JUGA….”

Teza menepuk-nepuk punggung Karel, berusaha menenangkan. Matanya melirik Inara yang masih menunggu dengan sabar.

“Udah, kamu pulang ya. Nanti sore kan latihan resital lagi. Aku juga harus masuk ke dalam.”

Karel diam, namun perlahan, tangannya mulai melepaskan tubuh Teza. Udara hampa menyergap Karel seketika, beriringan dengan perasaan kosond dan hampa melihat Teza perlahan menarik gagang kopernya, bersiap meninggalkan Karel. Karel beralih memeluk Bunda Ina yang berdiri tepat di sebelahnya, melanjutkan tangisannya di sana.

“Mau pulang, Bunda… Mau ikut Kayang pulang….”

Teza tersenyum, lalu mengusap kepala Karel dan berpamitan pada Inara.

“Titip Karel ya, Bunda. Maaf ngerepotin terus. Semoga Bunda bisa segera mudik lagi, gantian sama Teza.”

Inara mengangguk. “Nggak apa-apa, Nak. Kamu hati-hati, ya. Salam buat Papamu dan Dodo.”

Teza mengangguk sebelum menyeret kopernya pergi. Namun belum selangkah saja, Karel sudah kembali menarik tangan Teza. Alhasil, pria itu kembali membalikkan tubuh dan mendapati Karel sudah berdiri menghadapnya, siap mendaratkan kecupan perpisahan di bibir Teza.

Teza tersenyum sebelum balas melumat bibir Karel pelan dan singkat — yang rasanya jauh dari kata cukup untuk dijadikan bekal menahan rindu selama berbulan-bulan terpisah nanti. Tak peduli dengan Bunda Ina yang terang-terangan menonton, toh ini bukan kali pertama. Teza mencium Karel dalam-dalam sebelum melepaskannya. Mata Karel masih sendu waktu Teza menjauhkan kepala pria tersebut. Pandangan mata gadis itu sama gelap dan beratnya seperti Teza, digelayuti perasaan campur aduk.

Teza mengusap kepala Karel sekali lagi sebelum melambaikan tangan. “Aku pergi, ya.”

Dengan begitu, dimulailah lagi argo Long Distance Marriage mereka. Setiap satu langkah Teza menjauhi Karel, rasanya seperti ribuan kilometer jarak tercipta di antara keduanya. Karel meremas tangan Inara dalam genggamannya. Tak siap melihat keadaan kamarnya yang sepi kembali tanpa sosok tinggi-besar suaminya yang selalu mendominasi di sana.

Karel menatap nanar sosok Teza yang kian lama kian jauh dan pada akhirnya menghilang di pintu keberangkatan. Bibirnya bergetar lagi. Belum apa-apa sudah kangen.

Inara yang tahu Karel akan menangis lagi mulai menenangkan dan mencoba menghibur gadis tersebut.

“Nggak apa-apa, Sayang. Kemarin-kemarin bisa. Pasti kali ini juga bisa.”

Karel mengangguk, mengikuti Inara menuju tempat pemberhentian taksi sementara dalam hati tak berhenti bergumam nelangsa.

Kemarin-kemarin bisa karena aku nggak tau kalau Kak Teza ternyata sebaik, seperhatian, sesayang, sengangenin itu dan semua-muanya, Bunda… Jadi iri berat sama Tedi. Huh.

Karel jadi berpikir, harusnya bukan cuma celana dalaman biru gelap milik suaminya saja yang ia sembunyikan, tapi sekalian koper dan paspor lelaki itu biar Teza tak usah pulang sekalian. Sepanjang perjalanan pulang menuju apartemen, Karel tak berhenti merutuki kebodohannya sendiri.

— tbc.

--

--

Responses (1)