[Ready, Set, Love!] — Hari Lamaran Tora

soljaecruise
6 min readDec 1, 2024

--

Sebenarnya Karel masih tidak menyangka kalau dia bakal menyaksikan hari ini, hari di mana Tora pada akhirnya memutuskan untuk meminang seorang perempuan. Tora, yang selalu Karel kenal penuh ambisi dan sibuk dengan bisnisnya, pada akhirnya melabuhkan hati pria itu pada seorang perempuan manis dan baik hati — Karel mengatakan demikian karena ketika ia baru sampai saja, Kak Adel, tunangan Tora, langsung menyambutnya dengan pelukan dan ciuman hangat di kedua pipi Karel. Katanya, Tora sering menceritakan adik bungsunya tersebut kepada sang pacar yang kini sudah resmi jadi tunangan. Wajah Karel otomatis tersipu. Baru kali ini rasanya dia memiliki sosok kakak perempuan.

Waktu acara tukar cincin berlangsung, Karel meremas tangan Teza dalam genggamannya. Kepala Karel juga bersandar pada pundak sang suami yang hadir dalam balutan kemeja batik lengan panjang, persis seperti yang Teza kenakan pada hari pertunangan mereka. Ingatan Karel mendadak melayang pada hari itu, hari di mana ia dan Teza melakukan prosesi yang sama seperti dilakukan Tora dan Adel. Ia dan Teza yang sama-sama tidak tahu apapun, tidak mengerti sesungguhnya apa yang mereka jalani waktu itu, kini merasa luar biasa bersyukur. Untungnya, mereka memutuskan untuk menerima pertunangan tersebut.

“Kayaknya acara tunangan orang-orang pada manis dan romantis banget. Kita doang yang tunangannya aneh,” komentar Karel selagi matanya menatap Tora dan Adel berpose memamerkan cincin sambil tersenyum malu-malu.

Teza yang tadi sibuk menyimak acara lamaran, mengalihkan perhatiannya kepada sang istri. Karel sedang menatapnya dengan bibir mengerucut.

“Kayang galak banget pas hari tunangan waktu itu.”

Teza terkekeh, tangan satunya yang bebas meraup kuncup bibir Karel. “Ya habis kamu pecicilan banget.”

Sejurus kemudian, ibu jarinya mengusap pipi Karel, tanpa peduli kalau keluarga besar Karel dan Tora — yang jumlahnya nggak besar-besar amat — dan keluarga Adel sedang menjadikan mereka tontonan menarik selain pasangan yang memiliki acara pertunangan sendiri.

“Kita ulang aja lamarannya gimana?” usul Teza.

Karel mencebik mendengar ide konyol tersebut, “Aneh banget. Kita kan udah nikah? Ngapain tunangan lagi? Itu namanya kemunduran dalam hubungan dong?”

Teza tergelak mendengar cerocosan Karel. “Sekarang anak ayam ombreku udah gede, ya? Ngerti-ngertian aja ngomongin masalah hubungan.”

“Hehehe….”

Keduanya pun tanpa rasa malu kembali melanjutkan agenda pamer kemesraan; pengangan tangan dilanjutan rangkul-rangkulan, sampai tiba waktu makanan dihidangkan, Teza bahkan tak keberatan sama sekali harus menyuapi Karel makan serpiring berdua dengannya di depan Dion, Tora, dan juga Adel. Perlakuan ala tuan putri yang diberikan Teza kepada Karel otomatis mengundang cibiran Dion.

“Manja banget elah pake disuapin segala. Tangannya letoy apa gimana?”

Tak terima mendengar ledekan Dion, Karel balas mencomooh. “Sirik aja yang jomblo sendiri.” Sementara itu, Teza hanya bisa menyeringai lebar melihat Karel dan Dion bertengkar.

Kalau dulu ia sering merasa cemburu melihat kedekatan Karel dengan kakak sepupunya tersebut, sekarang tidak lagi. Teza justru bersyukur Karel memiliki sosok seperti Dion dan Tora yang selalu ada dan ikut menjaga perempuan itu. Apalagi, di momen-momen setelah hari pernikahan yang membuat Karel sedih. Teza tahu, dia berutang budi pada Tora dan Dion. Oleh karena itu, meski harus membatalkan satu sesi pemotretan hari ini, Teza mengupayakan agar bisa hadir di acara pertunangan Tora — selain karena ia tidak ingin Karel datang dan menghadapi hunjaman pertanyaan dari keluarga besar perempuan tersebut tentang hubungan mereka sendirian.

Teza bersyukur ia mengikuti kata hatinya untuk menemani Karel karena tak lama berselang, ketika isi piring makan miliknya dan Karel nyaris habis, datanglah orang-orang yang disebut Karel sebagai Tante Ning — ibunya Dion, berikut Tante Iput — ibunya Tora. Sambil mengipas-ngipasi wajah dengan heboh, sepasang ibu-ibu itu mendekat, menghampiri meja berisi kumpulan anak muda milik Karel, Teza, Dion, Tora dan Adel. Tanpa aba-aba, Tante Ning bahkan langsung mengambil tempat duduk di sebelah Teza yang kosong, alih-alih duduk di sebelah Dion.

“Aduh… ini dia artis tenar kita,” ucap Tante Ning heboh sambil mengayunkan kipas di depan wajah Teza. Yang dikipasi sendiri hanya bisa tersenyum canggung.

“Halo, Tante,” sapa Teza ramah.

“Waktu itu Tante kaget banget pas dikasih tau Dion kalian mau nikah. Mana nggak ngundang-ngundang, nggak bisa datang juga,” cerocos Ningsih tanpa henti seperti kereta api.

“Ya kan memang karena situasinya mendesak, Ning. Kamu ini udah dijelaskan berkali-kali juga masih aja diungkit,” bela Tante Iput. Perempuan paruh baya tersebut berdiri tepat di belakang kursi Karel sambil mengelus-elus rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai malam itu.

“Jadi, gimana? Kalian akur-akur aja, kan?” giliran Tante Iput yang bertanya.

“Akur, Tante,” jawab Teza sambil melirik Karel yang juga sedang tersenyum sambil menggandeng lengan suaminya.

“Akur banget lah. Liat aja itu tangan nempel mulu dari tadi kayak dijahit,” ujar Dion sambil memasang wajah meledek Karel. Yang diledek lagi-lagi tak terima. Karel pun langsung meluncurkan serangan balasan.

“Tante Ning, mending Bang Dion suruh cepat nikah biar nggak nyinyir terus.”

“Alah. Dion mah susah. Setelah putus dari Tiara, setiap ditanya, nama pacarnya selalu gonta-ganti.”

Semua orang di meja tertawa, kecuali Dion yang kini wajahnya tertekuk. Ia kesal melihat Karel menjulurkan lidah, merasa menang dibela oleh banyak orang. Namun, rasa jemawa itu tak bertahan lama, karena setelahnya, Tante Ning kembali menjadikan Karel dan Teza sebagai topik obrolan utama. Pertanyaan yang dilemparkan pun bikin Karel pusing, meskipun sudah menduganya.

“Jadi, kapan nih… rencananya Tante dikasih keponakan?” Tante Ning mengerling ke arah Teza yang lagi-lagi, hanya bisa tersenyum canggung dan serba salah.

“Karel kan masih kuliah Tante, masih muda juga. Kita — ,” Teza sengaja melirik istrinya yang kini menatap Teza dengan ekspresi penasaran, sibuk menerka-nerka apa yang akan dikatakan sang suami. “ — mau pacaran dulu.”

“Halah bucin!” sahut Dion refleks. Ia sendiri terkejut menyadari betapa berapi-api nada yang keluar dari mulutnya, sampai-sampai Karel langsung melemparkan serbet milik perempuan tersebut ke wajah Dion.

“Diam kamu, Bang Dion!”

Tora dan Adel yang sedari tadi lebih banyak menjadi pemerhati hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Tapi, emang kalian nggak ada rencana buat ngumumin pernikahan?” kali ini Adel yang bersuara. “Maaf, kalo terkesan terlalu ikut campur hehe… Kalo nggak mau dijawab juga nggak apa-apa.”

Karel dan Teza saling pandang. Sejujurnya hal tersebut belum pernah mereka bahas. Toh, belum ada situasi mendesak yang mengharuskan mereka mengumumkan pernikahan ke publik. Namun agaknya, pertanyaan Adel tersebut membuat Karel kepikiran, bahkan hingga dalam perjalanan pulang ke rumah, usai acara pertunangan selesai, pikiran Karel masih berkutat pada hal yang sama.

Selagi Teza mengemudikan mobil sambil sesekali menciumi tangan Karel, gadis itu menatap sang suami dengan pandangan bertanya-tanya.

“Kayang,” panggilnya.

“Hmm….”

“Udah nyetirnya yang bener jangan sambil megangin tangan aku, nanti ditilang lagi.”

Teza terkekeh. Bukannya melepaskan tangan Karel, kini ia malah mengusap-usap pipi istrinya sambil menekan pedal rem saat lampu lalu lintas berganti merah.

“Kamu kenapa dari tadi ngeliatin terus? Mikirin apa?”

Karel bergumam tak jelas, raut wajahnya sedikit murung. “Kepikiran kata Kak Adel.”

“Yang mana?” tanya Teza bingung, berusaha mengingat-ingat. Ia menyelipkan rambut-rambut Karel yang jatuh menutupi wajah ke belakang telinga gadis tersebut.

“Gimana ya kita ngasih tau orang-orang kalau kita udah nikah? Kita nggak punya foto nikahan yang proper. Aku takut dikira… hamil duluan…?”

Teza mengelus kepala Karel dengan sayang. “Nggak perlu dipikirin yang kayak gitu. Biar aku aja yang mikir.”

Namun begitu, bibir Karel masih saja menekuk ke bawah. “Emang… Kayang belum kepikiran mau ngumumin? Atau… Belum boleh, ya? Takut ngaruh ke karir Kayang?”

“Aku lebih khawatir sama karir kamu, Kyutipaw. Habis lulus kuliah nanti, kamu kan punya banyak kesempatan buat bangun karir yang lebih besar. Emang nggak mau jadi penyanyi lagi?”

“Mau,” jawab Karel tanpa banyak berpikir. “Tapi mau juga bilang ke orang-orang kalo Kayang suami aku, bukan pacar.”

Teza terkekeh. “Iya, nanti kita cari waktu yang pas, ya.”

Setelah berkata demikian, Teza kembali melanjukan mobilnya. Diam-diam, kepalanya ikut memikirkan apa yang meresahkan pikiran Karel. Ketimbang karirnya sendiri, jujur saja Teza lebih mengkhawatirkan karir sang istri kalau sampai Teza dan Karel mengumumkan status pernikahan mereka. Tetapi melihat wajah Karel yang masih murung, entah pikiran apa lagi yang menggelayuti perempuan tersebut, agaknya Teza sedikit tersentil.

Bagaimana kalau mereka mengumumkan pernikahan dalam waktu dekat?

Teza berpikir sejenak selagi fokusnya tertuju pada jalanan. Ia lalu memutuskan, ia harus segera berdiskusi dengan Dodo, Bunda Ina dan Om BJ.

tbc.

--

--

Responses (1)