[Ready, Set, Love!] — I Miss You Like Crazy
Karel menyusuri jalan paving blok menuju flatnya. Sesekali ia membetulkan tali tasnya yang melorot dari bahu, tetapi matanya tak pernah lepas dari benda pipih di tangan Karel. Meski angin menerbangkan rambutnya, menghalangi pandangannya, Karel masih bisa membaca apa yang tertulis di akun portal berita di Instagram. Berita tentang Teza ramai bolak-balik berseliweran di linimasa akun sosial media gadis itu. Karel tertegun waktu melihat penampilan Teza di salah satu panggung acara penghargaan musik, menyanyikan lagu Aubrey, lagu kesukaannya. Mendengar suara Teza — meski hanya melalui earphone — membuat Karel menarik napas dalam-dalam. Merasakan rindu yang menyesakkan kembali menyapa seperti teman lama yang tiba-tiba datang tanpa memberi kabar.
Karel menyimpan ponselnya ke saku celana lalu berbelok ke salah satu bangunan berlantai lima. Karel dan Bunda Ina tinggal di lantai tiga, tempat yang dipilihkan Teza. Lingkungannya nyaman, lumayan dekat dari kampus. Tetangga-tetangganya mayoritas juga mahasiswa di kampus Karel. Maka tak jarang ia mendengar sama-samar suara denting piano mengalun pada tengah malam atau suara selo dan klarinet bergantian meramaikan siang yang tenang. Karel juga sama, sering berlatih menyanyi di rumah. Kebisingan itu sudah menjadi hal yang wajar. Tidak ada yang protes, kecuali ada yang mengadakan pesta dan menyetel lagu disko kencang-kencang sampai pagi buta.
Waktu Karel tiba di flatnya, suasana terasa sunyi. Padahal biasanya kalau sudah petang begini, Bunda Ina pasti sudah sibuk, heboh memasak di dapur sambil mendengarkan lagu. Karel biasanya duduk manis menunggu sambil menonton Tom and Jerry di ruang keluarga. Namun, sore ini sepi. Tidak ada tanda-tanda orang lain selain Karel sendiri. Karel berjalan menuju kulkas, ia menemukan selembar pesan tertempel di pintu dengan tulisan tangan khas Bunda Ina yang rapi.
Karel, Bunda belanja ke supermarket sama beli makanan dulu ya.
Karel menghela napas. Tumben. Biasanya Bunda Ina bakal langsung kirim pesan alih-alih meninggalkan catatan. Karel membuka pintu kulkas, meraih satu minuman mineral dingin dan menuangnya ke gelas. Setelah berjalan cukup jauh hari ini, Karel merasa dehidrasi. Ia langsung menenggak habis segelas penuh air mineral lalu mencuci gelasnya di wastafel. Sejak tinggal bersama Bunda Ina, Karel sedikit-banyak mulai belajar mengurus kebutuhannya sendiri dan cara merawat rumah, salah satunya mencuci piring dan juga menyapu — meskipun dengan vacuum cleaner.
Karel beranjak menuju kamarnya yang gelap. Ia sengaja tak menyalakan lampu, menikmati suasana remang-remang dengan cahaya tipis menembus melewati sela-sela tirai jendela. Di luar angin bertiup lumayan kencang sore ini. Dan lagi, suara gemuruh di langit meyakinkan Karel untuk menolak tawaran Sasha nonkrong di kafe bersama Tristan nanti malam. Ia hanya ingin bergelung di kasur sambil menikmati menonton Tom and Jerry — yang tak pernah membuat Karel bosan. Selain karena suka, menonton Tom and Jerry menjadi cara tersendiri bagi Karel untuk mengingat momen kebersamaannya dengan Teza ketika ia merindukan pria tersebut.
Masalahnya, hampir setiap malam, kalau sedang tak sibuk latihan, Karel bakal menonton kartun favoritnya itu sambil meringkuk memeluk kemeja berwarna biru muda polos milik Teza yang diam-diam ia curi dari koper suaminya. Kemeja itu selalu Karel bawa hingga ia tertidur, berharap waktu terbangun pagi-pagi, Teza akan muncul di depannya. Atau paling tidak, mampir ke mimpinya.
Karel mengembuskan napas panjang sebelum melempar tubuhnya duduk di kasur. Namun, ada yang aneh. Kasurnya seharusnya tidak terasa sekeras ini. Dan lagi, sejak kapan kasurnya bisa bernapas? Karel bersumpah, ia bisa mendengar suara dengkuran samar-samar. Tubuhnya juga naik-turun secara teratur teratur mengikuti gerakan “kasurnya” tersebut.
Tangan Karel dengan panik meraba-raba area kasur di sekitarnya. Mata Karel perlahan mengerjap, membulat ketika berusaha mencerna tekstur di bawah telapak tangannya. Ia bisa merasakan kulit bagian wajah manusia — mata, hidung, dan bibir. Karel otomatis terlonjak, menyadari bahwa ia memang tidak sedang duduk di atas kasur, melainkan di atas tubuh seseorang. Buru-buru Karel menyalakan lampu kamarnya. Terang seketika menyapu hingga ke sudut ruangan. Menampilkan setiap benda di dalam kamar dengan jelas, termasuk, “makhluk besar” yang kini terbaring menggeliat di atas kasur Karel.
“Ugh… Karel, aku masih jetlag. Baru bisa tidur. Jangan dinyalain dulu lampunya,” ucap makhluk tersebut dengan suara serak sementara Karel mematung, tak bisa bergerak dan megap-megap menyadari apa yang ada di hadapannya.
Karel berdiri dengan mulut terbuka lebar, satu tangannya masih menempel pada sakelar lampu. Ia berusaha mengusap matanya berkali-kali, barangkali apa yang ia lihat hanyalah bayangan fana yang ia ciptakan sendiri. Tapi Karel yakin, jelas-jelas yakin, ia tidak sedang bermimpi apalagi berhalusinasi.
“Kk — Kak Teza…? Kok bisa di kamar aku…??” Jantung Karel berdebar kencang, nyaris copot dan melompat ke lantai. Perlahan, ia mencoba mendekat ke kasur, berupaya memastikan kembali pengelihatannya tidak salah. Mata Karel memicing, melihat Teza menutup wajahnya dengan bantal. Pria itu bergumam tak jelas.
“Ya masa di kamar Bunda Ina??”
Telunjuk Karel menusuk-nusuk lengan Teza. Nyata. Sosok ini nyata. Karel tidak sedang berhalusinasi. Mata Karel membelalak. Karel mencubit lengannya sendiri, merasakan sengatan di kulitnya yang justru membuatnya semakin tertegun. Tezanya benar-benar ada di sini??
Namun sebelum Karel sempat sadar, tubuhnya lebih dulu ditarik oleh Teza. Karel terhuyung, jatuh tepat di dalam pelukan suaminya — menjadi pengganti bantal guling yang memang tidak ada di atas kasur.
Tubuh Karel berbaring kaku, kikuk sementara kaki Teza melingkari pinggangnya. Tubuh besar pria itu separuh menindih tubuh Karel, tangannya memeluk tubuh mungil Karel erat, membuat gadis itu sedikit kesulitan bernapas.
“Khkkk… Khakk… ngghaa bisa napash uhuk….” Karel memukul-mukul lengan Teza, minta dilepaskan. Tetapi bayi besar yang mengurung tubuhnya itu tak mau dengar. Malah balik menyuarakan kekesalannya yang sudah dipendam lama.
“Siapa ini yang udah setahun nggak mau ngomong sama suaminya? Apa jangan-jangan lupa kalau udah nikah, ya?” Meski masih serak, suara Teza terdengar jauh lebih jelas.
Teza melempar bantal yang menutupi wajahnya ke sembarang arah demi bisa melihat wajah Karel dengan saksama. Senyum tipis muncul melihat semburat merah di wajah istrinya — entah salah tingkah atau memang kehabisan napas. Teza membaringkan kembali kepalanya, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Karel. Teza menghirup napas dalam-dalam, membiarkan aroma tubuh Karel menyerap ke tubuhnya seakan-akan inilah oksigen yang selama ini ia cari. Akhirnya, setelah sekian juta detik jarum jam berlalu, Teza bisa kembali bernapas lega.
Karel sendiri termenung mendengar pertanyaan Teza sambil menatapi cincin di jari manisnya. Dalam hati ia bersungut-sungut, mana mungkin bisa lupa? Tanpa Karel Sadari, senyuman perlahan muncul bersamaan dengan air mata yang berlinang jatuh.
Penantiannya terbayar sudah. Rasa rindu yang selama ini berusaha dikubur kini terbalaskan. Karel balik mengalungkan kedua tangannya di leher Teza erat-erat. Sama seperti suaminya, Karel pun menyandarkan wajahnya di atas pundak Teza. Tangannya bergerak mengelus-elus rambut Teza yang terasa halus.
“Emang nggak kangen sama suaminya, hm…?” Tanya Teza lagi. Karena tak mendapatkan respons, Teza menjauhkan wajahnya agar bisa kembali menatap wajah sang istri yang berkaca-kaca.
“Kenapa nggak mau ngomong?” ulang Teza, gemas melihat wajah polos Karel yang seperti bayi. Meskipun, ia juga sadar, garis -garis wajah Karel mulai berubah. Istrinya mulai tampak lebih dewasa seperti usianya, bukan lagi bocah remaja seperti kali terakhir Teza temui di bandara.
Setelah diam sejenak berusaha mengatur emosinya, Karel akhirnya terisak. “Ka… hiks… Kangen Kayang….”
Mendengar suara tangisan Karel, hati Teza melunak, merasa bersalah karena ulahnya sendiri yang menyebabkan mereka harus hidup terbelenggu oleh rasa kesepian dan rindu yang berkepanjangan. Ibu jari Teza perlahan mengusap air mata yang membasahi wajah Karel. Meski masih menginterogasi, nada suara Teza jauh lebih lembut sekarang.
“Kalo kangen kenapa nggak mau ngomong?”
“Marah… hiks… Takut makin kangen.” Teza menyemburkan tawa rendah. Matanya menatap Karel sesaat sebelum mengecup kening, kedua pipi, dan cuping hidung gadis itu.
“Maaf ya lama banget baru bisa nyusul.” Teza mengecup sekilas sudut bibir Karel. “Maaf ya, sayang, aku nggak ikut ngerayain ulang tahun kamu yang kedua puluh. Tapi ulang tahun ke-21 besok kita rayain bareng-bareng, ya?”
Tangisan Karel perlahan mereda. Ia tersenyum senang seraya mengangguk. Akhirnya, tidak seperti tahun lalu yang sepi, tahun ini Karel akan merayakan ulang tahun lagi bersama kekasihnya. Daftar kegiatan dan tempat kencan yang ingin Karel kunjungi bersama Teza seketika terbayang kembali, membuat Karel bersemangat.
“Heheh… mau pacaran. Mau kencan sama Kayang….”
Teza mengangguk setuju, pelan-pelan wajahnya mendekat kembali ke wajah istrinya. Sembari tangannya mengusap pipi Karel penuh kasih sayang, bibir Teza perlahan menyapu, menyapa bibir Karel penuh kehangatan di tengah udara yang terasa dingin. Meskipun masih saja terkejut setiap kali mendapat ciuman dari suaminya, kali ini Karel bisa mengatasi sentakan rasa bahagia dan kupu-kupu yang mendadak beterbangan di perutnya dengan lebih baik. Bibir Karel membalas lumatan pelan bibir Teza yang terasa manis sekaligus memabukkan. Keduanya hanyut dalam suasana syahdu, menikmati momen yang rasanya telah dinanti lebih dari satu abad.
Saking khidmatnya, tubuh Teza tanpa sadar mendorong tubuh Karel berbaring telentang. Badannya yang besar menindih tubuh mungil itu tanpa rasa berdosa dan tanpa niat sama sekali melepaskan kepemilikannya pada bibir istrinya. Ciuman lambat-lambat sarat kerinduan itu kini mulai menyulut api yang membakar tubuh Teza. Pria itu membiarkan nalurinya mengambil alih, mengklaim apa yang seharusnya menjadi miliknya sejak lama. Bibirnya melumat bibir Karel lebih dalam, membuat Karel sedikit kewalahan.
Seakan masih belum cukup dan puas, tangan Teza bergerak membuka satu per satu kancing kardigan rajut yang dikenakan Karel, melepasnya, hingga menyisakan tanktop merah jambu yang membalut tipis, mencetak jelas lekuk bagian atas tubuh Karel. Tangan Teza bergerak mengusap leher, turun ke bagian pundak dan lengan Karel yang terbuka, lalu tanpa sadar menurunkan tali tanktop yang dikenakan istrinya sehingga pundak Karel kini terbebas dan Teza bisa ikut melarikan bibirnya turun — mengecup rahang, leher, dan pundak Karel berurutan sesuka hatinya, sebelum kembali pada bibir Karel yang terasa seperti buah cherry ranum.
Waktu kesadaran tiba-tiba saja menghantam kepala Teza seperti ayunan palu godam, ia akhirnya melepaskan pagutannya pada bibir Karel. Sekarang Teza bukan hanya bisa melihat dengan jelas wajah Karel yang merah padam dengan napas menderu, tetapi juga bibir Karel yang merah dan bengkak, serta lekuk-lekuk kewanitaan pada tubuh istrinya yang selama ini luput dari perhatian Teza.
Teza menelan ludah berat sambil mengatur napasnya. Ia lama menatap seluruh tubuh Karel yang terekspos sebelum kembali memfokuskan pandangannya pada wajah cantik yang kini menatap Teza terpaku, seakan kesenangannya baru saja direnggut paksa.
“Tu — tunggu, aku nggak punya kondom,” ucap Teza terbata-bata, malu, tidak yakin sebenarnya apakah Karel mengerti. Wajahnya ikutan bersemu merasakan letupan hawa nafsu membanjiri tubuhnya seperti bocah yang baru puber.
Karel pun sama gelagapannya. “E — Emang buat apa?” tanyanya polos.
Kening Teza mengernyit. “Y — Ya kamu belum boleh hamil. Mana mungkin aku ngebiarin kamu hamil sendirian di sini?” Teza menggeret paksa tubuhnya turun dari kasur. “Tunggu, aku beli dulu.”
Namun tangan Karel sigap menangkap lengan Teza, mencegahnya. “Kak… aku… anu… aku….”
Teza menatap Karel bingung. Tubuhnya masih merasakan ketegangan yang tercipta dari momen intim pertama mereka. Namun sebelum Karel sempat melanjutkan kata-katanya, terdengar suara kunci pintu flat dibuka, disusul suara langkah tergopoh-gopoh masuk, memenuhi area tempat tinggal Karel yang tak terlalu luas itu.
Tak lama Karel dan Teza mendengar suara teriakan Inara.
“KAREL, TEZA, AYO MAKAN DULU.”
Malamnya, sambil berpelukan menonton Tom and Jerry, Teza meladeni cerocosan Karel yang sepertinya masih diawang-awang mimpi melihat sosoknya hadir secara tiba-tiba.
“Ini beneran gak sih suami aku di sini?”
“Iya, ini aku,” balas Teza sabar.
“Kakak berapa lama di sini?”
“Kamu maunya berapa lama?”
“Sampe aku selesai kuliah?”
“Yang bener aja heheh… kasian dong Papa Ian. Sebulan aja ya? Nanti ke sini lagi. Kamu kan bulan depan libur, gak mau pulang aja sama aku? Nggak kangen Papa Ian?”
“Takut, Kak. Harus naik pesawat lagi.”
“Maaf ya aku bikin kamu naik pesawat jauh-jauh… Makanya pulang bareng aku aja, yuk?”
Karel tidak menjawab, hanya mengencangkan pelukannya pada perut Teza.
Teza terkekeh. “Seneng ya sekarang bisa meluk orangnya langsung, bukan kemejanya lagi?”
Karel menengadah, menatap Teza panik. “Ta — tau dari mana?” Teza tak menjawab, hanya mesem-mesem. “Pasti Bunda Ina deh!”
“Lagian sih sok-sok ngambek segala,” ledek Teza sambil menjawil ujung dagu Karel.
“Siapa suruh PHP terus, nggak dateng-dateng,” sungut Karel sambil manyun.
“Yaudah, ini kan udah dateng. Mana ciuman banyak-banyak aku?”
Karel terkekeh sebelum merangkak naik dan menghujani wajah Teza dengan ciuman lalu berakhir mengecup bibir suaminya.
“I miss you, Kayang Husbando….”
“I miss you too, Kyutipaw….”
— tbc.