[Ready, Set, Love!] — Istri Berduka
“Karel, kamu pake parfum apa, sih? Kok baunya kayak kuburan?” Dion mengendus-endus aroma tubuh Karel lalu mengernyit, pusing mencium parfum wangi melati yang menyengat — kebanyakan disemprot.
“Diam. Aku ini istri yang lagi berduka.”
“Berduka kenapa?” tanya Dion bingung sambil merapatkan kursinya ke arah Karel, namun Karel diam, tak menjawab. Dion memandang Tora, meminta penjelasan. Yang ditatap hanya mengedikkan bahu singkat.
“Sebenernya Bang Tora udah sempet nelepon Bunda Ina.” Tora menautkan tangannya di depan Karel yang sedang telungkup murung di atas meja. Dion di sebelah Karel — menghibur dengan menepuk-nepuk pundak gadis itu — ikut menatap Tora, mendengarkan penjelasannya dengan saksama.
“Menurut Bang Tora… Teza ada benarnya. Meskipun caranya ngumpet-ngumpet dari kamu itu salah.”
“Emang Teza ngapain, Bang?” tanya Dion penasaran. Tangannya tak berhenti mengusap kepala Karel.
“Kak Teza minta Karel kuliah musik ke luar negeri,” sela Karel cepat.
“Ke mana?” tanya Dion lagi.
“Ke Amerika,” jawab Tora.
“JAUH BANGET? ADA APA DENGAN ERWIN GUTAWA FOUNDATION ATAU SONETA GROUP?”
Tora yag sedari tadi sedang menikmati camilan kacang kulit melempar beberapa serpihan kulit kacang kepada Dion. “Itu bukan kampus, gila.” Dion dengan sigap melindungi diri dari serangan kulit kacang Tora.
“Emang kenapa sih harus kuliah jauh-jauh?” tanya Dion kepada Karel. Yang ditanya hanya mengedikkan bahu sambil manyun.
“Katanya di sini nggak aman. Karel susah keluar rumah, jadi nggak bebas. Dan lagi, kuliah juga bagus buat masa depan Karel.” Tora bantu menjelaskan, namun malah membuat Karel makin murung diingatkan bahwa sekitar seminggu lagi, ia harus segera meninggalkan rumahnya — merasa seperti diusir lebih tepatnya.
Karel melihat Dion menganggut-anggut. “Ada benernya sih. Yaudah kuliah aja lah kamu. Nanti Bang Dion jengukin sesekali.”
“Bang Dion kok malah jadi ikutan dukung Kak Teza! Karel takut naik pesawat tau!” protes Karel kesal. Ia meraup beberapa kulit kacang bekas Tora dan dengan lincah menaburkannya di atas kepala Dion.
“Heh! Bocil!” Dion buru-buru melonjak berdiri lalu merunduk, membersihkan seluruh remah-remah kacang di atas kepalanya lalu mencubit gemas kedua pipi Karel. Baru setelah seluruh remahan sampah kacang di tangan Karel habis, Dion duduk kembali di sebelah adik sepupunya.
“Lagian ngapain sih kamu di sini? Diem aja di rumah. Enak di sana, bisa jalan-jalan. Anggap aja lagi liburan.”
“Emang ada orang liburan sampe empat tahun?” sungut Karel.
Ia kembali menelungkupkan wajahnya di atas meja, mulai merengek lagi sambil mengentak-entakkan kaki di bawah meja, membuat meja bergetar dan beberapa remahan kulit kacang berjatuhan. Namun Tora dan Dion tak menegur, hanya membiarkan saja Karel melampiaskan kekesalannya.
“Kamu mau Bang Tora anterin berangkat ke sana?” Tora menyentuh kepala Karel dengan sayang. Karel kembali menggeleng. Ia mengangkat kepalanya dengan cepat sehingga rambut-rambut menutupi wajahnya yang tak kalah berantakan, pucat, dan juga matanya kemerahan dan bengkak karena terlalu banyak menangis.
“Kan udah dianterin Bunda Ina. Bunda Ina juga bakal nemenin Karel di sana,” ucapnya lesu.
Tapi tetap saja, membayangkan harus beradaptasi dengan tempat tinggal dan orang-orang baru membuat nyali Karel menciut. Belum lagi harus melewati penerbangan panjang yang pasti bakal luar biasa menyiksa dan membuatnya keringat dingin sepanjang jalan. Hatinya benar-benar tak bersemangat dan menolak ide yang menurut orang-orang brilian ini, bukan menurutnya.
Hari itu, setelah selama tiga hari mengurung diri di rumah, akhirnya Karel merasa sedikit hidup kembali setelah melepas keluh kesahnya bersama Tora dan Dion. Meski masih murung, Karel dipulangkan oleh Dion dalam keadaan lebih tenang. Sebelum turun dari mobil kakak sepupunya, Karel juga sempat memeluk Dion erat.
“Makasih ya, Bang Yon. Nanti kita nggak bisa sering-sering main lagi. Tapi plis, Bang Dion jangan ngerecokin Bang Tora terus, Bang Dion kan punya pacar. Recokin Kak Tiara aja, jangan rewel ke Bang Tora yang sibuk cari duit,” cerocos Karel cerewet.
Dion mengajak-acak rambut Karel sekali lagi. “Anak kecil sok tua banget. Tapi gak apa-apa lah, berarti adik abang ini udah sehat lagi. Udah bisa ngomel panjang lebar dan nggak jelas.”
Karel memukul lengan Dion kencang. “Nyebelin! Sama aja kayak Kak Teza.”
Dion menjulurkan lidah, sengaja meledek Karel sebelum turun, membukakan pintu dan mengantar Karel sampai dengan selamat ke dalam rumah. Begitu Dion pergi, Karel kembali menghirup udara dan suasana hampa di rumahnya yang sepi. Hawa dingin menusuk dan menyelimuti hatinya yang masih saja berdenyut mengingat kehadiran Teza di sini kali terakhir.
Karel merebahkan tubuhnya di atas sofa sebelum pergi ke kamar. Satu tangannya diangkat menutupi wajah, menghalau terang cahaya lampu yang menyilaukan. Pandangan Karel sedikit berkunang-kunangan. Ia juga baru merasakan denyut di kepalanya yang membuatnya meringis pelan selagi memikirkan kapan sekiranya ia harus mulai mengepak barang-barang.
Perlahan, Karel bengkit ketika denyut di kepalanya terasa semakin menjadi saat darahnya mengalir, menumpuk di bagian kepala. Samar ia bisa mendengar suara pintu terbuka lalu tertutup diikuti suara langkah kaki pelan mendekat ke arahnya. Karel sedang memijat pelan pelipisnya sambil sedikit mengeluh ketika dilihatnya Teza berdiri tepat di sebelahnya dengan rambut sedikit basah dan handuk tersampir di bahu. Pakaiannya sederhana, hanya kaus lusuh kelonggaran dan celana pendek sebatas lutut — seperti pakaian rumahan yang biasa Teza kenakan.
Karel mengerjap. Apakah dia sedang berhalusinasi?
“Kenapa? Sakit?” Teza mengambil tempat tepat di sebelah Karel. Sofa yang empuk sedikit bergoyang waktu Teza mengempaskan tubuh besarnya dengan cepat. Telapak tangan pria itu menempel pada kening istrinya yang masih termenung.
“Agak demam. Udah makan?”
Karel masih diam. TIdak menjawab. “Kenapa lo ada di sini?” respons Karel dingin. Teza bergeming sebentar sebelum menjawab.
“Jengukin istri gue lah. Katanya sakit, nggak mau makan.” Teza lalu menunjuk meja makan di belakang mereka. “Gue bawain pempek sama kue coklat kesukaan lo. Makan, ya?” Karel menampik uluran tangan Teza yang mengajaknya beranjak ke meja makan. “Atau lo mau gue suapin di sini?” tawar pria itu masih dengan sabar.
Karel lagi-lagi tak memberikan jawaban. Matanya masih memandang Teza penuh amarah. Benci melihat pria itu dengan santainya bersikap seolah-olah tidak ada kejadian apapun yang menyebabkan Karel menjalani hidupnya seperti zombie beberapa hari belakangan — belum lagi kalau dihitung sejak Karel merasa uring-uringan karena sikap hilang-hilangan Teza.
“Gue tanya, kenapa lo di sini?” ulang Karel tajam dan tak bersahabat. Teza mendesah, menarik handuknya turun dari pundak dan menyampirkannya di lengan sofa.
“Mulai sekarang, gue bakal tinggal di sini… sampai lo berangkat. Gak apa-apa kalau lo mau nganggep seolah-olah gue nggak ada. Gue mau sesekali pulang ke sini selagi tukeran jagain Papa bareng Dodo.”
Karel menelan ludahnya, tak mengerti dengan jalan pikiran Teza. Kemarin pria itu jelas-jelas melepehnya, hari ini ia bersikap seolah-olah menjadi suami paling peduli dengan istri yang sedang berkabung. Karel memutar bola matanya sinis, tak peduli. Ia bangkit dari sofa dan meninggalkan Teza.
“Terserah. Gue nggak laper. Lo makan aja sendiri.”
Teza hanya bisa menatap kepergian Karel dalam diam. Rahangnya berkedut, kesal dengan situasi yang kian lama kian rumit. Namun ia tak bisa menyalahkan Karel. Kalau jadi gadis itu, Teza juga pasti akan membenci dirinya sendiri.
Karel mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Tubuhnya berbalik, bersandar pada pintu dengan mata terpejam, frustrasi. Perlahan-lahan tubuh Karel merosot hingga terduduk di lantai. Air matanya mulai jatuh lagi.
Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa besar amarahnya pada Teza Arkana. Meski begitu, Karel tak pernah bisa membencinya. Karel benci karena ia tak pernah bisa membenci suaminya sendiri. Ia hanya bisa duduk sambil terisak dalam diam. Isakan penuh kepedihan yang samar bisa Teza dengar dari balik pintu kamar Karel.
Teza menunduk, menatap nampan berisi makanan di tangannya dengan getir. Ia mencoba mengetuk pintu kamar Karel, mencari peruntungan barangkali Karel bersedia memakinya lagi. Hanya itu saja, Teza tidak muluk-muluk ingin mendapatkan senyuman dari Karel.
“Karel, makanannya gue taro depan pintu.”
Tidak ada sahutan. Teza meletakkan nampan makanan untuk Karel di lantai, menunggu pintu kamar Karel terbuka, namun tak kunjung kejadian.
Ketika pagi tiba dan Teza mengecek kembali, nampan makanan itu masih utuh, bahkan tak bergerak barang sesenti pun. Teza mengetuk pintu kamar Karel pelan. Dalam hati sudah mengira, tidak akan dapat jawaban. Teza mengembuskan napas panjang.
“Karel, gue ke rumah sakit dulu ya. Nanti malem gue nggak pulang, nginep di sana gantian sama Dodo.”
Masih tidak ada jawaban. Akhirnya Teza pergi tanpa sempat mendengar sedikitpun suara Karel.
— tbc.