[Ready, Set, Love!] — Karel Beranjak Dewasa

soljaecruise
11 min readDec 10, 2024

--

Alih-alih seperti Karel yang sibuk dengan persiapan konser, Teza justru jauh lebih repot mengurus persiapan pernikahan. Syuting filmnya sudah seperti prioritas kedua sekarang. Yang terpenting bagi Teza bukan lagi berapa banyak jumlah penonton yang akan menikmati aktingnya pada minggu pertama penayangan di bioskop, tetapi seberapa baik ia bisa menyiapkan pernikahan spesial untuk Karel. Ia ingin hari pernikahan mereka menjadi momen istimewa dan paling berkesan seumur hidup istrinya — sebagai bentuk permohonan maaf dan tebusan untuk mengganti momen akad nikah mereka yang suram dan menyedihkan.

Terlalu banyak yang Teza tawarkan, sampai Karel pusing sendiri memilihnya. Dari mulai venue-venue pernikahan privat di Bali, dekorasi dan perjamuannya yang Teza minta semewah penyambutan keluarga kerajaan, hingga ke desain undangan yang sejauh ini sudah direvisi sebanyak lima kali. Tetapi tidak ada yang lebih Karel benci daripada Teza yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menelpon Dodo, melayangkan protes ini dan itu, ketimbang menikmati waktu liburan Karel di Jakarta yang kian menipis.

Karel mengerti maksud Teza, dia tahu Teza ingin menyiapkan pernikahan terbaik untuknya. Dan yang terpenting, Karel tahu betapa pria itu — Teza — menyayangi dirinya lebih dari yang pernah Karel bayangkan bisa ia terima dari seorang pria. Tidak, sejujurnya Karel tak pernah membayangkan memiliki hubungan romantis sebelumnya, tetapi Teza mengubah semua pandangan lugunya. Dengan Teza, Karel merasa seperti menjelajahi dunia baru yang membuat hidupnya berangsur lebih baik, tidak lagi sepi dan sendiri. Mungkin tidak lewat kata-kata manis, tetapi melalui tindakan-tindakan yang Karel tahu tidak bisa Teza lakukan kepada sembarang orang; bersikap sabar dan mengesampingkan ego pria tersebut. Tetapi saat ini, dengan kondisi hubungan jarak jauh yang harus mereka jalani, Karel lebih ingin ditanya “Mau pergi kencan ke mana besok?” alih-alih “Kamu mau di venue yang ini atau ini? Desain undangannya udah aku minta revisi, nanti kamu juga pilih lagi.”

Karel mendesah. Ia menatap bayangan dirinya dalam balutan baju handuk di pantulan cermin kamar mandi kamar Teza. Begitu rambutnya kering dan hairdryer dimatikan, sama-samar Karel bisa mendengar suaminya tengah mengomel. Karel menggeleng-gelengkan kepala sambil melipat kembali hairdryer dan menaruhnya dengan hati-hati di kabinet gantung. Sebelum melangkah keluar, ia sengaja menyemprotkan sedikit parfum kesukaan Teza pada bagian tengkuknya, berharap wangi semerbak bunga itu akan membuat suasana hati Teza lebih baik.

Gerutuan Teza terdengar makin jelas saat Karel memasuki area kamar Teza yang kini mulai mendapat sentuhan feminin sejak ia tinggali beberapa minggu belakangan. Wanginya bukan lagi campuran kayu cendana dan sitrus, tetapi wangi bunga yang bercampur buah-buahan. Poster-poster grup musik kesukaan Teza yang dulu sempat mendominasi dinding kamarnya harus rela berbagi tempat dengan potret-potret mesra berdua Teza dan Karel yang dicetak dalam ukuran besar-besar. Biar Teza merasa nggak tinggal sendirian waktu Karel kembali ke New York nanti, begitu alasan istrinya. Namun tanda yang lebih jelas justru letaknya ada di dalam lemari pakaian Teza. Koleksi bajunya yang sudah memenuhi lemari berukuran raksasa tersebut terpaksa diungsikan sebagian ke lemari lain di gudang. Teza dengan sukarela memberikan separuh bagian lemarinya untuk diisi baju-baju Karel. Dengan begitu Teza tahu, ia bukan lagi bujangan yang hidup hanya demi kesenangannya sendiri.

“Gimana sih? Mereka udah dibayar mahal masa masih harus gue yang mikirin hal detail kayak begini?” Karel melihat Teza mendengus kasar. Pandangan gusarnya bertemu mata tenang Karel yang kini berdiri tepat di hadapan pria tersebut, menunggu. Teza buru-buru menyudahi panggilannya kepada Dodo.

“Udah dulu, Do. Gue mau istirahat.” Tanpa menunggu respons Dodo, Teza memutus sambungan telepon lalu melempar benda pipih keluaran terbaru di tangannya ke ujung kasur.

Sebelum Teza sempat menjelaskan, tangan Karel menangkup kedua pipi Teza. Pria itu duduk di tepian kasur, sehingga kini tingginya hanya sebatas dada Karel. Tangan Karel bisa dengan leluasa mengusap-usap pipi Teza dengan mudah.

“Kayang kenapa sih beberapa hari ini marah-marah terus?” Karel melengkungkan bibir, menatap sang suami dengan pandangan sendu.

“Aku mau ganti WO. Yang sekarang kerjanya nggak becus.” Teza menggeram tanpa sadar. Ia kemudian langsung menyesal telah melampiaskan emosinya kepada sang istri yang tak tahu apa-apa. Tangannya lalu ia sandarkan pada kedua pinggang Karel, menjaga sang istri tetap di tempat karena saat ini hanya kehadiran Karel yang bisa meredam emosi yang ia rasakan.

“Emang Kayang mau pesta pernikahan yang kayak gimana?” tanya Karel, mengundang perhatian Teza. Pria itu kembali menatap wajah Karel lekat, ekspresinya melunak seketika.

“Bukan buat aku, Kyutipaw. Ini pesta buat kamu,” jelasnya.

“Tapi kan yang nikah bukan aku cuma aku, Kayang juga. Jadi ini harusnya buat kita berdua,” protes Karel. Perlahan ia memosisikan tubuh mungilnya di atas pangkuan Teza sambil menghadap pria itu. Rengkuhan tangannya tak membiarkan Teza memalingkah wajah sedikitpun dari Karel.

“Aku nggak perlu pesta nikahan yang gimana-gimana. Yang penting ada Kayang, ada Papa Ian, ada Tedi, Bunda Ina, Bang Dion, Bang Tora, Bang Dodo, Kak Adel… um… siapa lagi, ya?” Karel berpikir sejenak, ekspresinya tampak lucu ketika ia bahkan kebingungan ingin menyebut siapa saja tamunya yang jumlahnya bahkan tak sampai seperlima tamu Teza.

“Ya itu lah, pokoknya,” sahut Karel ketika tak tahan lagi melihat Teza mengulum senyum menertawakan dirinya. Karel memukul dada Teza pelan. “Ish… aku serius, Kayang… yang penting di nikahan, kita bisa foto berdua yang bagus, pakai baju pengantin yang cantik buat dipamerin ke anak-anak nanti….”

Teza memeluk pinggang Karel erat. Keningnya sengaja ia tempelkan pada kening Karel, seperti sedang saling menyalurkan energi positif kepada diri masing-masing.

“Iya, sayang,” balas Teza seraya memejamkan mata, menikmati waktunya yang tadi terasa berjalan jauh lebih cepat, kini seakan kembali berdetak normal — setelah ada Karel.

“Kayang kan udah capek syuting, latihan band, manggung juga. Urusan pernikahan serahin aja ke WO. Kayang harus banyak istirahat biar nggak sakit dan bisa nonton aku konser lusa.”

Teza terkekeh seraya mengangguk. Ia lalu mencium tengkuk Karel, menikmati aroma segar sabun mandi bercambur dengan bunga yang lembut — memikat indra penciumannya, seakan merayu Teza yang sudah merindukan sosok istrinya sepanjang hari.

“Wangi banget. Kamu sengaja ya mau godain aku?”

Kini giliran Karel yang tertawa kecil, niatnya sudah terbaca. “Heheh… biar Kayang nggak marah-marah terus.”

Teza pun tak mampu menolak belaian lembut bibir Karel pada bibirnya. Ia membalas setiap lumatan bibir ranum istrinya dengan rakus, tak menyisakan ruang bagi udara sekalipun untuk masuk.

Tangan Teza menarik turun kerah baju handuk yang Karel kenakan hingga separuh lengan atasnya terekspos, menampakkan tulang selangka Karel hingga nyaris seluruh bagian dada perempuan tersebut. Teza mengambil jarak sejenak, ingin menghayati pemandangan di hadapannya dengan takzim. Karel mengulum senyum, malu. Sudah berkali-kali melakukannya pun, perut Karel masih saja terasa geli setiap kali mata Teza memandangnya liar.

“Kenapa diliatin? Aku malu.” Karel berusaha membetulkan letak baju handuknya kembali, tetapi lengan kekar Teza dengan cekatan mencegahnya. Alih-alih membetulkan baju handuk yang Karel kenakan, Teza malah menurunkan satu-satunya lapisan kain yang Karel kenakan tersebut hingga menanggalkan bagian atas tubuhnya. Tangan Teza lalu mengusap punggung Karel perlahan, dari area pinggang menuju pundak. Terus berulang, sampai bulu kuduk Karel meremang.

“Cantiknya, sayangku,” puji Teza dengan mata berbinar menatap sang istri.

Karel kira, Teza akan melanjutkan aksinya. Tetapi, adegan selanjutnya jauh di luar eksptasi Karel. Pria itu justru mendudukan Karel di tepian kasur, kemudian berjalan menuju lemari dan mengambilkan pakaian tidur untuk istrinya — sebuah piyama panjang berikut dalaman-dalamannya. Teza dengan sabar memasangkan satu per satu pakaian untuk sang istri yang masih termenung melihat sikap Teza. Tidak biasanya seorang Teza Arkana yang sudah kadung diliputi hawa nafsu bisa menahan dorongan kuat dalam dirinya sendiri. Saking herannya, Karel tak bisa memikirkan hal lain selain merasa bahwa Teza sudah tak lagi menginginkannya. Mendadak Karel merasa sedih.

Setelah Teza selesai mengenakan baju pada Karel, mereka berbaring di kasur dengan tubuh Karel terkurung dalam pelukan erat Teza.

“Kok… nggak dilanjutin? Kayang marah ya sama aku? Apa udah nggak sayang? Udah nggak nafsu sama aku?” cicit Karel menahan tangis. Teza yang menyadari Karel sepertinya salah mengartikan sikapnya buru-buru menjelaskan dengan ekspresi panik.

“Bukan gitu, sayang….” Teza mendaratkan kecupan bertubi-tubi di kening Karel lalu menghapus genangan air di sudut mata istrinya. “Aku… mau puasa dulu. Supaya… nanti abis acara nikahan berasa kayak pengantin baru lagi?”

Tangisan Karel terhenti seketika. “Hm…?” Ia merenungi sebentar ucapan Teza sebelum akhirnya mengangguk paham. “Oh… kalo gitu aku mau rajin olah raga biar badan aku makin seksi.”

Teza tertawa sambil kembali memeluk Karel. Ada-ada saja celotehan yang keluar dari mulut ajaib istrinya. “Nggak perlu olah raga juga kamu udah cantik, udah seksi, udah sempurna buat aku.”

“Gombal,” sahut Karel disambut dengan kekehan pelan.

Ia lalu mengeratkan pelukannya pada tubuh sang suami sebelum terlelap dan lagi-lagi, bermimpi tentang Carmen.

“ — Terus, Kayang kan lagi nyuapin Carmen makan, dia tiba-tiba mukul piring makannya. Makanan Carmen tumpah semua ke muka Kayang Pipaw. Pipaw tadinya mau marah, tapi karena muka Carmen terlalu lucu dan gemesin, jadi nggak tega deh hehe….”

Teza menganggut-anggut, dengan sabar mendengarkan Karel bercerita tentang mimpinya dua hari berturut-turut tentang Carmen, calon putri mereka menurut Karel, sambil mengemudi dengan hati-hati menuju lokasi acara konser tempat Karel akan tampil.

“Pasti Carmen mirip kamu, ya?” komentar Teza yang dijawab Karel dengan gelengan dan senyum simpul. “Enggak, mirip Kayang, tapi versi perempuan.”

Kening Teza mengerut, tetapi bibirnya menyemburkan tawa kebingungan dan keheranan, tak bisa membayangkan seperti apa sosok Carmen yang digambarkan Karel.

“Matanya kecil, kalau ketawa, hilang hehe… Terus, hidungnya mancung kayak Kayang, bibirnya juga penuh. Aku cuma kebagian rambutnya aja….”

Mulut Teza terbuka lebar, kepalanya bergerak naik-turun. Kini ia mulai sedikit mendapat gambaran seperti apa sosok Carmen dalam mimpi istrinya. Teza diam-diam tertawa dalam hati ketika sosok bayi perempuan banyak tingkah dan sering membuat kegaduhan terlintas dalam bayangannya. Mungkin bukan hanya rambut yang ditiru Carmen dari ibunya, tetapi kemungkinan besar juga tingkahnya, pikir Teza.

“Ceritain lagi. Aku mau tau lebih banyak soal Carmen.”

Senyum Karel melebar sempurna mendengar nada antusias dalam suara Teza. Ia mulai bercerita lagi panjang lebar, seakan Karel bukan hanya mempikan Carmen selama dua malam, tetapi seribu satu malam. Seperti kisah-kisah dari negeri gurun pasir, cerita tentang Carmen seakan tak ada habisnya. Hanya terhenti di momen-momen tertentu, seperti ketika Karel harus melakukan gladiresik juga mengganti kostum dan dirias.

Namun di momen-momen tersebut, Teza tak pernah absen. Ia menunggu dengan setia meski tak melakukan apapun, hanya memperhatikan. Ia duduk dengan tenang dan tidak protes meski suasana di sekitarnya sibuk sekali, bikin pusing. Orang-orang bolak-balik menyapanya, Teza menjawab dengan ramah dan antusias. Hari ini sudah Teza dedikasikan khusus untuk Karel, meskipun, hari ini juga merupakan satu-satunya jatah libur yang Teza punya pekan ini. Dodo yang juga hadir di sana sampai heran, kejadian apa yang membuat sang Pangeran Darah Tinggi mendadak berubah seperti anjing yang penurut. Tutur katanya lembut dan penuh sopan santun kepada Dodo, tidak seperti sosok Teza yang beberapa hari ini selalu marah-marah meski Dodo selalu melakukan segalanya sesuai perintah dan keinginan Teza.

Ketika konser dimulai, Dodo jadi bisa menikmati konser dengan tenang. Ia duduk di barisan kedua, di belakang Teza yang duduk sejajar bersama Mario dan Jojo. Dodo sendiri duduk bersama Samuel. Mereka memulai kembali sesi curhat dengan bahasa isyarat tangan. Topik pembicaraannya apalagi kalau bukan tentang anak-anak The Phantom, terutama vokalisnya yang meski kini duduk dengan khidmat menghadap panggung, namun sudah sempat membuat Dodo dan Samuel kebakaran jenggot karena sikap tempramentalnya masih sering kumat.

Tiba giliran Karel tampil, ia membawakan lagu “Sang Pemuja” — lagu yang sempat Karel benci setengah mati, tetapi kini ia berhasil membawakannya dengan sangat baik. Karel mendapatkan apresiasi dan tepuk tangan meriah dari para penonton, terutama penonton yang duduk di depan Dodo. Teza bahkan nyaris berdiri kalau Dodo tidak keburu menahannya, menyaarkan pria tersebut bahwa tubuhnya yang tinggi dan besar akan menghalangi pemandangan para penonton lain ke panggung.

Tampak jelas di wajah Karel ekspresi kelegaan. Ia melihat Teza bertepuk tak henti bertepuk tangan untuknya meski para penonton lain kini sudah siap menantikan penampilan Karel selanjutnya. Mario yang duduk persis di sebelah Teza sampai-sampai harus mengikat tangan Teza dengan tangannya sendiri agar sahabatnya itu berhenti bertepuk tangan.

“Karel, gimana rasanya konser lagi setelah sekian lama?” ucap Paul, sang pemandu acara yang kebetulan juga kenalan Teza.

Sambil mengatur napas, Karel memegang mikrofonnya dengan mantap di depan wajah. “Seneng banget, Kak Paul, meskipun agak nervous tadi di awal takut ada kejadian aneh-aneh lagi…,” ucap Karel polos yang disambut tawa seluruh penonton.

“Waduh? Kejadian aneh-aneh apa itu? Kayak pingsan habis nyanyi gitu ya, Karel?” wajah Paul menatap Karel dengan pandangan menyipit, sengaja meledeknya. “Nggak apa-apa, kalo pingsan kan udah ada uwumbulance-nya yang stand by di barisan tedepan. Halo, Kak Teza. Udah siap bopong Karel lagi, kan?”

Karel menutup wajahnya dengan tangan, menahan tawa ketika dilihatnya Teza tetawa lebar sambil bertepuk tangan lalu tanpa ragu-ragu megacungkan jempol tinggi-tinggi ke arah panggung, tanda siap melakukan apa yang dikatakan Paul.

“Tuh, nggak apa-apa Karel kalau mau pingsan. Ada Kak Teza yang siap menggotong kamu ke hatinya uwh…,” Paul cekikikan sendiri melihat wajah tersipu dan merona Karel. “Atau kalau kamu nggak mau pingsan, aku aja yang pingsan boleh, nggak? Kak Teza, plis gotong aku juga,” ucap Paul dengan suara mendesah centil sambil pura-pura mengibaskan rambut.

Karel sampai-sampai memutar tubuh menghadap belakang, saking tak tahannya menahwan tawa melihat sang pembaca acara dengan sengaja menggoda suaminya terang-terangan.

“Oke, oke, kita cukup ya godain calon suami orang.” Paul menghampiri Karel yang kini sibuk menghapus air mata akibat terlalu banyak tertawa. “Sini, Karel. Kayaknya orang-orang udah nggak sabar mau denger suara kamu yang kayaknya makin merdu aja nih setelah menggali ilmu di US yah. Kamu mau bawain lagu apa habis ini?”

Karel menerima tisu yang dibawakan panitia konser lalu mengelap sudut-sudut matanya dengan hati-hati, takut merusak riasan wajahnya malam ini.

Karel menaruh mikrofon kembali ke depan mulut sambil menghadap Paul. “Sebelum nyanyi, aku boleh ngomong sebentar, nggak?”

“Oh boleh dong,” sahut Paul antusias. “Ngomong yang lama juga boleh, soalnya suara kamu ngomong aja udah merdu banget, cantik.”

Karel terkekeh sekali lagi sebelum berdeham dan memasang wajah serius.

“Aku mau bilang makasih buat seluruh penggemar yang udah setia dengerin karya-karyaku. Teman-teman penyanyi lain, para senior, juga buat seluruh tim label produksi dan yang pasti orang-orang di sekitar aku yang terus ngasih dukungan supaya aku terus bisa nyanyi….”

Karel menarik napas sejenak sebelum memutar tubuh menghadap Teza. “Aku juga mau ngucapin terima kasih khusus buat Kak Teza….”

Belum apa-apa, sahutan ramai riuh terdengar kembali dari para penonton juga Paul yang ikut-ikutan histeris. Karel terkekeh pelan, berusaha teguh pada pidato yang sebenarnya sudah ia siapkan dari jauh-jauh hari. Karel sengaja ingin memanfaatkan momen untuk menunjukkan perasaannya kepada Teza di depan orang-orang, hal yang dirasanya selama ini belum pernah Karel lakukan.

“Aku seneng dan bersyukur banget punya Kak Teza yang selalu ada di sebelah aku dan selalu ngasih dukungan bahkan di situasi sulit sekalipun. Malam ini,” Karel menarik napas sekali lagi, matanya terkunci pada mata Teza yang kini menatapnya dengan senyum teduh dan lekat.

“Malam ini aku mau bawain satu lagu buat Kak Teza.”

Para penonton sontak terkesiap, tidak menyangka bahwa Karel akan menyanyikan lagu untuk sang kekasih. Ketika Karel sudah siap duduk di belakang piano digital dan jemarinya yang lincah menari di atas tuts memainkan alunan melodi indah, suasana seketika hening. Seluruh penonton tersihir, siap menantikan suara merdu Karel.

This song is for you, Kayang….

Looks like we made it. Look how far we’ve come, my baby.

We might took the long way. We knew we’d get there someday.

They said, “I bet they’ll never make it”. But just look at us holding on.

We’re still together, still going strong…

You’re still the one I run to, the one that I belong to.

You’re still the one I want for life…

You’re still the one that I love, the only one I dream of

You’re still the one I kiss goodnight…

Teza menatap Karel penuh haru. Begitu nyanyiannya berakhir, tak peduli penonton akan menyorakinya dan protes karena tubuh besar Teza menghalangi pemandangan, Teza bangkit berdiri, bertepuk tangan dengan heboh. Mario sampai tak bisa berkata-kata lagi selain tersenyum dan menyembunyikan wajahnya karena malu melihat tingkah sahabatnya. Namun harus ia akui, dan seluruh penonton akui, apa yang dilakukan Karel barusan merupakan sebuah pengakuan cinta yang sangat romantis. Pandangan orang-orang tentang Karel yang seringnya masih tampak kekanakan perlahan mulai sedikit berubah.

Karel, tak seperti tubuhnya yang mungil, ternyata tampak lebih dewasa di dalamnya.

— tbc.

--

--

No responses yet