[Ready, Set, Love!] — Kecepetan
Karel berlari semangat, separuh mengendap-endap seperti mata-mata. Tubuh mungilnya bergerak gesit melalui celah-celah di antara mobil menuju van Teza yang nangkring di paling ujung lahan parkir. Posisi mobil hitam itu lumayan tersembunyi di bawah pohon beringin besar dan sedikit tertutup pos satpam yang terbengkalai. Sejak Teza sering mengundang Karel makan siang bersama di mobil, Dodo jadi lebih selektif memilih posisi parkir. Ia juga dengan setia berjaga di depan barangkali ada kru dan pemain film — atau lebih parahnya penguntit yang mencurigai gerak-gerik Karel dan Teza.
Karel mengambil ancang-ancang begitu melihat Dodo siaga membuka pintu mobil. Ia berlari kencang lalu melompat masuk, nyaris terjungkal dan menubruk Teza yang ternyata… sedang tertidur. Meski mobil bergoyang heboh, pria itu tak tergugah sedikitpun. Karel mengernyit. Tidur kayak orang mati?
Ia duduk di kursi tepat sebelah Teza. Matanya tertuju lekat pada wajah sang tunangan yang masih terlelap damai. Karel ikut diam, anteng, tak ingin mengganggu waktu istirahat Teza yang sangat sedikit akhir-akhir ini. Kelelahan itu tersirat di wajah Teza yang terlihat lebih kuyu belakangan.
Wajah Karel mendadak muram. Pandangannya tak lepas dari wajah tampan di hadapannya. Ia perhatikan satu per satu dari kening, mata kanan-kiri, hidung, bibir, pipi, hingga ke dagu. Sampai detik ini, Karel masih sering takjub, bagaimana Teza bisa merawat kulitnya sebersih dan semulus bayi, membuat tangan Karel gatal ingin menyentuh wajahnya.
Sudut-sudut bibir Karel tertarik, membentuk seringai usil. Telunjuk kanannya mulai bergerak, perlahan namun pasti, semakin mendekat pada bagian hidung Teza. Karel terkikik geli, membayangkan bagaimana Teza akan bereaksi. Ia mencolek cuping hidung Teza secepat kilat, Teza otomatis menggeliat. Karel buru-buru menarik tangannya kembali, bersandar manis di atas kedua pahanya. Ia menunggu, sekiranya Teza akan bangun, ternyata tidak.
Karel melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Teza. Tidak ada tanda-tanda kesadaran. Ide jahil lain keburu muncul di kepala mungil Karel. Lidah bocah itu terjulur ke atas bibir. Keningnya mengerut. Perlahan wajah Karel mendekati Teza, seperti meneliti.
Yang Karel tak tahu, Teza tidak benar-benar tertidur setelah dicoleknya tadi. Teza hanya pura-pura terpejam.
Merasakan ada sesuatu yang mendekat ke wajahnya, Teza mulai menebak-nebak apa yang akan dilakukan Karel. Ia pura-pura memutar posisi kepala sambil mengintip. Wajah Karel sudah begitu dekat. Dalam hati, Teza tak menampik rasa percaya diri kalau Karel mungkin penasaran dan ingin mencoba melakukan hal yang sama seperti yang Teza berikan kepada gadis itu beberapa waktu lalu: ciuman di pipi.
Teza diam-diam mengulum senyum. Ia mengitip sekali lagi. Namun, alih -alih mendapatkan “sun” seperti yang diharapkan, Teza malah mendapati sebuah spidol kuning melayang mendekat ke hidungnya. Mata Teza terbuka lebar-lebar, sandiwaranya bubar jalan. Teza buru-buru menangkap tangan Karel yang hampir saja membuat mahakarya di atas wajahnya.
“Ngapain lo, Bokem?” ucap Teza panik.
Karel cengengesan. “Hehehe… mau gambar kumis kucing.” Teza mengerjap tak percaya. Ia melirik spidol di tangan Karel yang kini beralih menodai telapak tangan gadis itu. Buru-buru Teza melempar benda tersebut ke lantai mobil dan melotot menatap Karel.
Mata Karel membulat, melas. “Katanya nggak marah kalo digangguin.”
“ITU NAMANYA KETERLALUAN, HIHHH!” amuk Teza. Ia mengepalkan tangannya erat. Nyaris saja. Nyaris wajah tampannya tercoreng karena ulah si Bokem!
Mata Karel sedikit berkaca-kaca. Bibirnya mencebik ke bawah setelah mendapat peringatan keras dari tunangannya. Teza mendesah keras, lagi-lagi, terpaksa mengalah. Ia menggenggam tangan Karel dengan tangan kanannya.
“Jangan berani-berani lo nangis. Jangan ngerusak perayaan ultah ini.”
Karel batal bersedih. Ia kini justru malah terlihat bingung. Keningnya mengerut menatap suasana bagasi mobil Teza yang dipenuhi balon warna merah jambu dan kuning. Karel baru menyadarinya. Selain itu, ada kotak berisi kue cantik juga di kursi penumpang belakang. Mata Karel berbinar cerah. Kedua tangannya terangkat menutup mulutnya yang ikut terbuka.
“OMAGAAHH….” Karel buru-buru menyambar tangan Teza, berniat salim. Teza yang kebingungan tampak terkejut melihat Karel menempelkan punggung tangannya ke kening bocah itu.
“Selamat ultah, tunjanganku. Semoga hepi besday.”
Teza mengerjap berkali-kali. Ia buru-buru menarik tangannya dari genggaman Karel. “Bukan gue yang ultah! Tapi lo, Bokem!!”
Karel — masih dengan posisi menatap telapak tangannya yang kini kosong — lalu melirik Teza. Ia menegakkan duduknya kembali. “Hah? Emang iya?” Karel berpikir sejenak. Ia lama mengingat tanggalan hari ini.
Teza berdeham sambil membetulkan posisi duduknya sehingga menyerong ke arah Karel. Wajahnya bersemu sedikit merah, entah karena kepanasan atau malu. Mungkin yang terakhir.
“Masih besok, sih. Tapi hari ini gue baru selesai syuting dini hari.”
“Terus?” tanya Karel bingung. Mulutnya manyun seperti bebek, membuat Teza gemas ingin mencubit pipi gadis itu sampai tertarik lebar seperti adonan donat.
Teza menautkan kedua tangan.Ia membungkuk, kepalanya menengadah ke arah Karel.
“Gue mau jadi orang pertama yang ngucapin. Gue mau ngasih lo kejutan. Gue nggak mau lo merasa sendiri di hari ulang tahun lo,” ucap Teza sungguh-sungguh. Matanya menatap mata bulat Karel.
“Emang besok nggak bisa main?” Tanya Karel polos. Teza terkekeh, ia membetulkan posisi duduknya kembali.
“Lo lupa tunangan lo ini sibuk?”
“Besok sibuk ngapain?” lanjut Karel.
“Besok gue sama The Phantom tampil di pensi SMA, di Bandung.”
Karel menunduk lesu. “Sama aja dong. Berarti gue ngerayain ultah sendiri. Bang Dion pasti sibuk, Bang Tora belakangan ini juga.” Kedua telunjuknya bertaut, tumpang-tindih bergantian, seperti menyimpan rasa risau. Karel melirik Teza, sedih.
Teza menangkup satu pipi Karel dengan telapak tangannya. Karel terkesiap kaget. Matanya berkali-kali melirik ibu jari Teza yang mengusap-usap pipinya. Mengalirkan sengatan listrik yang berhasil membuat jantung Karel bertalu seperti deruman perkusi marching band memainkan lagu festival. Pipi Karel bersemu. Hangat, wajahnya, hatinya, seluruh tubuhnya.
“Kalo gue bisa, pasti gue ajak lo. Lo kan besok udah mulai latihan buat serial musikal Hutan Fantasi, kan?”
Karel mengangguk lemah. Mengesampingkan rasa sedih, ia malah sibuk meredakan debar jantungnya, mendengar nada lembut dan dalam dari suara Teza. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat Karel tak bisa berkedip, melesat dan membekas pada hati dan pikiran Karel. Pertama kali dalam hidupnya, ia menemukan ada orang yang — sepertinya — benar-benar peduli dengan rasa kesepian yang Karel berusaha kunci jauh di dasar dirinya. Dia tak pernah menyangka orang itu adalah Teza Arkana.
“Udah, jangan nangis. Hari ini kita tiup lilin. Nanti pas gue dan lo sama-sama libur, kita main. Oke?”
“Main apa?” tanya Karel bersemangat.
“Lo maunya apa?”
“Balapan liar hehehe….”
“KAREL!”
Teza menjitak kepala Karel pelan untuk dua alasan; pertama, menyadarkan bocah itu dari ide konyol dan kriminalnya. Kedua, karena Karel telah merusak momen romantis yang berusaha Teza bangun spesial untuk merayakan ulang tahun sang tunangan yang beberapa saat lagi akan menginjak usia kesembilan belas. Usia legal untuk menikah.
Teza meraih kotak kue di kursi penumpang belakang. Tangannya cekatan menyusun lilin dan memantik api di atasnya. Semburat cahaya terang menerangi kue coklat bertuliskan “Selamat ulang tahun, Bokem!”. Teza menyodorkannya tepat ke depan wajah Karel.
Karel memejamkan mata sebelum meniup lilin, memadamkan seluruh api yang menyala seakan mengusir semua rasa sedih dan kesepian. Rasa takut akan hari esok yang akan ia hadapi sendiri sirna seperti asap yang menguap dari lilin. Ia yakin, ia tidak lagi sendiri sekarang. Ada Teza, setidaknya.
“Apa doa lo tadi?” tanya Teza penasaran.
“Hmm… gue minta supaya Tedi panjang umur.”
Teza melotot, kesal. Gue yang bikin kejutan, yang diinget malah si Tedi!
“Seriusan?” tanya Teza tak percaya.
Karel tertawa, lalu menggeleng. Ia menatap Teza lembut.
“Gue berdoa, semoga kita bisa sama-sama terus, Kak. Sebagai apapun itu.”
Teza terenyuh. “Aamiinn….” ucapnya tanpa sadar, diam-diam dalam hati tersenyum.
— tbc.