[Ready, Set, Love!] — Keinginan vs Kenyataan

soljaecruise
7 min readOct 22, 2024

--

Dodo tahu, tidak ada alasan lain yang membuat Teza Arkana mau menonton pertunjukkan teater anak-anak selain karena ingin melihat tunangannya sendiri tampil menggunakan kostum anak macan. Dodo sempat mendengarnya semalam, waktu Teza teleponan dengan Karel dengan loudspeaker suara maksimal dalam perjalanan pulang. Kebetulan Teza lupa membawa wireless earphone-nya, dan semalam ia harus segera menyantap makanan karena energinya terkuras habis untuk manggung. Sementara, mengosongkan celengan rindu dengan mendengar suara ceria Karel menjadi kebutuhan mendesak untuk Teza. Kalau tidak, Dodo khawatir suasana hati artisnya itu bakal jelek sampai keesokan harinya.

Sambil melawan rasa kantuk dan lelah, mengemudi melewati jalan Gatot Subroto yang untungnya sudah lengang, mendengarkan percakapan Teza dan Karel menjadi hiburan sendiri bagi Dodo.

“Kak, Kak, dengerin aku nyanyi dulu sebentar.” Suara Karel terdengar bersemangat, jauh dari kata mengantuk meski Teza sudah berkali-kali mengingatkan untuk tidak begadang. “Hutan fantasi… tempat bermimpi. Hanya di sini… para peri berkumpul dan menari….

Dari kaca spion tengah, Dodo bisa melihat wajah Teza tersenyum lebar. Ekspresi lelah yang dua jam lalu tampak jelas ketika Teza turun panggung sekarang hilang. Digantikan raut bahagia seakan Teza bisa melihat Karel berada tepat di hadapannya, sedang bernyanyi sambil memeragakan koreografi panggung.

Dodo punya teori baru. Teza Arkana bukannya butuh asupan gula kalau sedang lelah, tetapi asupan suara tunangannya karena setelah Dodo belikan pastry isi coklat dari toko kue langganan Teza, wajahnya masih cemberut. Muram karena belum mendengar suara Karel seharian. Sejak agenda pingitan berjalan, Teza lebih sering mengembuskan napas lelah setiap harinya sambil memandang ke luar jendela mobil.

“Bagus. Udah bagus,” puji Teza tulus. Ia meraih selembar tisu basah, membersihkan sisa-sisa minyak menempel di tangannya.

“Besok aku pake kostum anak macan dong. Kak Teza punya kemeja loreng-loreng gak? Pake itu aja, Kak. Biar kembaran,” cerocos Karel nyaris tanpa jeda.

“Kita ini lagi dipingit ya, Bokem. Mana bisa gue dateng dengan pakaian mencolok gitu. Lagian gue nggak punya. Lo pikir gue Pemuda Pancasila apa?” Teza mendengus sambil merapikan sisa bungkus makanannya ke dalam satu wadah plastik. Ia lalu bersandar nyaman pada kursi.

“Besok gue dateng, tapi kita nggak bisa ketemu di belakang panggung,” kata Teza lebih seperti gumaman rasa kecewa. Bahunya terkulai lesu. Bukan hanya nggak bisa bertemu di balik layar, Teza juga sudah diwanti-wanti Benjamin untuk mengenakan pakaian sebatertutup dan masuk ke ruang pertunjukkan ketika lampu sudah dipadamkan. Waktu Teza berargumen bahwa kemungkinan mayoritas penonton adalah orang tua pemain pentas dan anak-anak, Benjamin tak memberikan sedikitpun belas kasih.

“Justru itu. Kamu ini dihadapkan oleh ras terkuat di bumi, ibu-ibu yang hobi ngerumpi. Jangan cari masalah,” tegas Benjamin dalam panggilan singkat kemarin.

Teza mengembuskan napas panjang mengingat percakapan sarat ketegangan tersebut. Sudah seminggu ia tidak bertemu Karel. Padahal ini bukan kali pertama mereka menghadapi situasi sejenis. Namun, entah kenapa kali ini Teza merasa jauh lebih kesepian. Ia dan Karel ada di kota yang sama, tapi tak bisa melihat cengiran usil wajah tunangannya secara langsung adalah kenyataan pahit yang harus Teza terima.

“Iyah. Gak apa-apa. Kan lagi dipingit.” Karel mengulangi ucapan Teza sebelumnya dengan pasrah. “Semangat ya, Kak.”

Teza tersenyum getir. Seharusnya, sebagai yang berusia jauh lebih tua, ia bisa lebih bijaksana. Tetapi mendengar Karel memberinya semangat membuat hati Teza mengerut. Anak kecil dalam dirinya mulai merengek lagi. Meraung kencang ingin menemui Karel sekarang juga, tidak peduli kalau gosip tentang mereka akan digoreng media setelahnya.

“Semangat ya, Bokem. Semoga besok acaranya lancar dan sukses.”

“Makasih, Kak.”

“Bokem,” panggil Teza sebelum mengakhiri panggilan.

“Yaa??”

Teza menarik napas. “Gue kangen banget sama lo.”

“Hehe… Sama, Kak. Aku juga kangen.Tapi kata Bunda Ina nggak boleh cengeng, soalnya nanti Kak Teza ikutan sedih. Semangat ya, Kak….”

Ternyata bukan hanya mata Teza yang dibuat berkaca-kaca, tetapi hati Dodo pun ikutan berdenyut mendengar ucapan tabah Karel.

Kenapa harus mikirin perasaan orang lain duluan, Bokem?

“Kenapa nggak periksa ke dokter aja sih, Pa? Malah minum obat-obat nggak jelas.”

Teza berdecak, wajahnya mengernyit menatap satu per satu botol obat milik Ian di atas meja makan. Tidak yakin dengan kandungan apalagi khasiat yang tertulis di labelnya.

“Papa udah baikan,” bela Ian. Ia meraih botol obat di tangan putranya lalu menyimpannya rapat-rapat di dalam laci, seperti sedang menyembunyikan rahasia besar. Ian tak berani melirik Teza. Takut ketahuan kalau ia berbuat salah.

“Baikan gimana, Pa? Ini badan Papa pada bengkak. Jangan kira Teza juga nggak tahu ya Papa hari ini udah muntah tiga kali.” Ian Arkana seketika melirik Dodo yang menunduk bersalah. Kurir obat paling setianya itu pasti sudah keceplosan, pikir Ian. Ian kembali melirik Teza, tangannya melambai-lambai mengabaikan sikap menginterogasi sang anak.

“Cuma masuk angin biasa itu,” Ian berkilah. Kakinya yang bengkak susah payah menyeret tubuh rentanya menuju sofa, ingin istirahat.

Beberapa hari ini Ian Arkana merasa seperti tak punya asupan tenaga sama sekali. Mungkin karena ia kesulitan tidur pada malam hari, asumsi Ian. Padahal ia sendiri tahu betul, ada yang salah dengan badannya. Ian hanya tak berani pergi memeriksakan diri ke dokter. Takut menerima kenyataan, seperti ketika ia harus menerima kabar bahwa istrinya perlu perawatan intensif di rumah sakit. Ian tidak mau mengulangi masa-masa itu.

“Udah, Papa istirahat sebentar pasti bakal baikan lagi habis minum obat. Kamu berangkat aja ke acara Karel. Kasian dia pasti nungguin kamu.”

Ian merebahkan tubuhnya sambil memejamkan mata. Ah, napasnya terasa sesak lagi. Mungkin seharusnya ia tidak cepat-cepat berbaring setelah minum obat. Ian tidak tahu pasti apakah dugaannya benar, tetapi ia segera mengembalikan posisi tubuhnya lalu menarik napas dalam-dalam. Rasa sesak itu tak mereda. Tangan Ian meraba dadanya pelan, air mukanya sedikit pucat, namun buru-buru Ian sembunyikan begitu Teza menyusul duduk di sebelahnya.

“Teza bisa nganter Papa ke rumah sakit dulu sebelum pergi.” Mata Teza memindai tubuh ayahnya dengan teliti. Selain bagian tangan dan kaki, sepertinya wajah Ian juga mulai sedikit membengkak. Rasanya mustahil berat badan ayahnya bertambah drastis hanya dalam waktu beberapa hari. Teza menaruh curiga besar. Perasaannya mulai tak enak.

“Papa cuma butuh istirahat aja, Nak. Papa baik-baik aja — ”

“Pa, tolong jangan keras kepala kali ini,” sela Teza cepat. Napasnya menderu karena rasa cemas yang terang-terangan Teza tunjukkan. “Cukup Mama aja yang pergi ninggalin Teza, Papa jangan. Papa harus sehat. Papa harus ke dokter.”

Ian terdiam. Bukan hanya ia yang trauma, putranya pun juga. Seharusnya ia tidak bersikap egois. Ian menatap raut kesedihan yang tertimbun emosi di balik bola mata gelap Teza. Ia akhirnya menghela nafas, mengalah.

“Ya udah. Kita ke dokter setelah kamu datang ke acara Karel. Kasian dia, Nak. Kamu kan tunangannya, masa nggak datang.”

Teza mengangguk sepakat. “Teza pergi sendiri aja. Papa di rumah ditemenin Dodo.” Ia kemudian menoleh kepada manajernya yang kini berdiri gelisah. “Do, gue titip Papa sebentar. Kalau ada apa-apa, hubungin gue.”

“Tapi, Bang… di sana rame. Kalau Abang pergi sendiri, nanti Om BJ marah ke Dodo.” Suara Dodo sedikit bergetar, tetapi ia tahu, keputusan Teza tidak akan berubah. Tinggalah Dodo siang itu di rumah Teza, menemani Ian Arkana yang kondisinya bukannya membaik seperti yang dikatakan lansia tersebut, malah makin mengkhawatirkan.

Niat sebenarnya tidak begini. Teza ingin datang membawa buket bunga paling besar — walaupun Karel bukan pemeran utama. Ia ingin menemui gadis itu sebelum pentas, memberikan dukungan. Teza ingin memberikan bunganya secara langsung sambil memuji betapa bagusnya penampilan Karel, karena kenyataannya memang demikian.

Teza tidak ingin datang mengendap-endap saat lampu teater sudah dipadamkan, dalam balutan pakaian serbahitam dari topi hingga sepatu — dan demi Tuhan, siapa sih yang bakal menyaksikan teater seni mengenakan kaca mata gelap? Teza merutuk setiap detik. Orang-orang pasti berpikir dua hal; antara Teza yang kurang waras atau memang pria itu punya penyakit mata menular.

Kedua tangan Teza mencengkeram lengan kursi, menghindari nafsu untuk membuka kaca mata dan meneriakkan nama Karel ketika gadisnya keluar dengan pakaian ala tokoh Tinkerbell. Kostumnya memang tidak sesuai yang dibicarakan Karel semalam, tapi perasaan Teza jauh dari kata kecewa. Karel benar-benar seperti peri; imut, lucu, dengan rambut dicepol ke atas, mengenakan gaun hijau mini yang meski membuat Teza waswas ingin menculik Karel, tetapi membuat gadis itu bersinar paling terang di atas panggung. Pandangan Teza berbinar, memuja. Tangannya mulai gatal menyingkap kaca mata yang ia kenakan agar bisa melihat pesona Karel lebih jelas.

Detik-detik berikutnya, Teza terhanyut dalam alur cerita. Ternyata benar, Karel memang akan mengenakan kostum anak macan. Ceritanya ia dikutuk oleh sang raja hutan yang mengamuk karena diganggu saat tidur siang. Kalau tadi saja Karel sudah membuat Teza gemas setengah mati, kali ini Teza rasanya mau benar-benar berlari ke panggung dan menculik “anak macannya”. Teza bertepuk tangan dan tertawa heboh sewaktu Karel belari menaiki tangga — seakan-akan ia sedang memanjat pohon untuk berbicata dengan teman perinya yang lain, mencari cara agar ia bisa kembali ke wujud semula.

Pada akhir cerita, untungnya peri Karel yang cantik dan imut telah kembali. Teza ikut bangkit berdiri, memberikan tepuk tangan paling meriah. Meskipun matanya sudah tertutup kaca mata hitam gelap kembali, Karel bisa menemukannya. Sosok tunangannya menjulang paling tinggi di antara penonton yang lain. Senyum Karel merekah dari satu ujung pipi ke ujung pipi lainnya.

Namun sayang sekali, persis sebelum acara berakhir Teza harus segera pergi bak Cinderella yang dikejar waktu. Karena bukan hanya penonton dan media yang sepertinya mulai menaruh curiga, tetapi Dodo tiba-tiba saja mengirimkan pesan,

mengabarkan ayahnya jatuh pingsan.

tbc.

--

--

No responses yet