[Ready, Set, Love!] — Kejutan dari Kayang!

soljaecruise
11 min readDec 14, 2024

--

“Kamu temenin aja istrimu di sana. Papa di sini masih ada keluarga pamanmu yang ngurusin. Istrimu di sana nggak punya siapa-siapa, cuma Bunda Ina aja. Kamu bisa pulang beberapa bulan sekali kalau mau jengukin Papa. Toh, dua tahun itu nggak lama.”

Teza mengembuskan napas perlahan. Dalam taksi kuning yang membawanya meninggalkan bandara John F. Kennedy, ia ingat kata-kata ayahnya berbulan-bulan lalu. Kata-kata yang memantapkan pilihan Teza untuk menetap sementara pada akhirnya di salah satu kota impian sejuta umat, New York. Demi Karel. Apapun, demi istrinya.

Teza meremas ponsel dalam genggamannya, lalu melirik Dodo yang duduk di sebelahnya dengan posisi terkantuk-kantuk, sebelum melempar tatapan ke luar jendela. Wajahnya semringah menatap lapisan tipis putih salju menyelimuti seluruh kota. Orang-orang lalu lalang sambil merapatkan jaket, ada yang membawa segelas kopi dengan asap mengepul, dan yang lainnya — layaknya New York pada musim apapun, berjalan tergesa-gesa seperti dunia akan kiamat.

Senyum Teza semakin merekah. Meski baru tidur sekitar dua jam, rasa bahagia tak kunjung hilang sejak ia berpamitan dengan Ian di Jakarta. Tak sabar ingin bertemu Karel dan menikmati suasana New York di musim dingin bersama, walau hanya lima hari. Karena setelah itu, mereka harus kembali ke Jakarta, lalu terbang ke Bali, untuk melaksanakan resepsi pernikahan.

Walaupun hanya datang sebentar, koper yang diboyong Teza justru jauh lebih banyak ketimbang yang dibawanya pada kunjungan terakhir ke kota ini. Banyak perlengkapan yang ia angkut setelah membulatkan keputusan akan tinggal di New York hingga Karel selesai kuliah, setelah resepsi pernikahan nanti. Untuk itu, ia membawa Dodo turut serta bersamanya kali ini, untuk membantu Teza membawakan koper-koper besarnya mendaki anak-anak tangga menuju apartemen Karel di lantai tiga.

Bunda Ina berlari tergopoh-gopoh ke arah pintu saat bel berbunyi. Ia bahkan lupa menyimpan spatula silikon berlumur krim masak dan oregano saking tak sabarnya membukakan pintu. Tanpa perlu memeriksa, Bunda Ina tahu siapa tamunya; orang-orang yang sejak kemarin dinanti-nantikan Karel, Teza dan Dodo. Baik Bunda Ina dan Karel tahu, Teza dan Dodo memang akan datang petang hari itu. Tetapi, mereka — atau Bunda Ina, setidaknya — nggak menyangka sama sekali kalau Teza bakal membawa dua koper besar sekaligus — hanya menyisakan satu koper kecil untuk Dodo bawa — untuk kunjungan singkat kali ini. Meksi terkejut, Bunda Ina tidak protes. Ia lekas meminta Teza dan Dodo masuk karena udara di luar begitu dingin.

“Langsung istirahat aja dulu, Nak Teza, Bang Dodo. Ini sebentar lagi pastanya matang. Saya siapin dulu untuk makan malam. Karel ada di kamar, kayaknya ketiduran dari sore habis ngutak-atik piano.”

Bunda Ina lantas sibuk kembali di dapur, mengaduk bumbu pasta yang belum sepenuhnya matang sebelum memasukkan spaghetti ke dalamnya. Dodo sendiri memilih duduk bersandar di sofa sambil memejamkan mata begitu Teza meninggalkannya menuju kamar Karel, calon kamar Teza juga.

Pintu ditutup rapat. Selain karena tak ingin membuat Karel terbangun, Teza juga membutuhkan ruang pribadi untuk berdua saja dengan istrinya yang kini terlungkup di atas meja belajar. Layar laptop di hadapan Karel padam. Di bawah lengan sang istri, Teza bisa melihat lembaran-lembaran partitur musik dengan coretan not balok asal-asalan berserakan. Mungkinkah Karel sedang membuat aransemen lagu? Tebak Teza sambil meraih selembar partitur yang jatuh persis di bawah kursi.

Alih-alih not balok, yang dilihatnya justru ilustrasi kasar Tom and Jerry hasil buatan Karel. Teza berdecak sebelum menggeleng-geleng dan tertawa. Ia menyelipkan gambar tersebut ke rak buku, menyimpannya baik-baik, lalu mengecup pipi Karel pelan.

Sedetik kemudian, Karel terkesiap. Matanya mengerjap-ngerjap bingung. Seingatnya, tadi ia sedang menggambar. Pensilnya pun masih dalam genggaman. Terakhir, ia baru saja hendak menggambar Carmen, tetapi ke mana perginya coretan-coretan gambar kucing dan tikus tersebut? Karel menatap meja belajarnya kelabakan sebelum menyadari apa yang membuatnya terbangun. Karel menoleh cepat, menyadari ada sosok besar yang berdiri menjulang di sebelahnya, mengamati dengan senyum jail.

“Nyari apa?” tanya Teza pura-pura tidak tahu.

Mulut Karel terbuka lebar. Tubuh mungilnya otomatis melompat ke arah Teza dan tak mau turun dari gendongan pria tersebut. Karel menghujani wajah Teza dengan ciuman bertubi-tubi sampai Teza terkekeh kegelian. Teza sengaja menjatuhkan diri di kasur sehingga tubuh Karel kini terbaring menimpanya.

“Kayang pasti capek. Kayang belum tidur ya?” Karel mengusap bayangan hitam di bawah kelopak mata Teza dengan lembut sebelum mendaratkan kecupan di sana.

Teza mengangguk pelan. “Baru tidur dua jam. Nggak sabar mau ketemu kamu. Kangen.”

Karel tersenyum lebar. Ia lalu mendaratkan kecupan sekali lagi di bibir Teza sebelum melompat turun dari kasur. Dengan tenaga ekstra, ia berusaha membetulkan posisi kaki Teza yang masih menggelayut di tepian ranjang.

Dicopotnya kaus kaki yang Teza kenakan, lalu Karel merentangkan selimut lebar-lebar hingga seluruh tubuh Teza tertutupi hingga sebatas dada. Gerakannya sangat cepat dan cekatan, sampai Teza keteteran mengikuti gerak lincah sang istri. Baru beberapa detik lalu berada di ujung kakinya, Kini Karel sudah berlutut di samping kasur, persis di sebelah Teza.

“Kayang bobo aja dulu, ya. Aku bantu Bunda Ina siapin makan malam. Bang Dodo di mana?”

Mata Teza mulai redup. “Lagi rebahan di sofa. Habis makan malam nanti mejanya bisa digeser supaya bisa dijadiin sofa bed buat Dodo.”

Karel mengangguk setuju. Ia lalu meninggalkan kamar begitu Teza sudah setengah sadar, siap bertualang ke alam mimpi.

Makan malam hari itu berlangsung lebih meriah dari biasanya. Kalau dulu hanya ada Teza, sekarang ketambahan Dodo. Meski sudah ditawarkan untuk menginap di hotel saja, Dodo menolak. Ini pengalaman pertamanya ke luar negeri yang jauh. Dodo belum berani jalan-jalan sendiri, meski kemampuan bahasa Inggrisnya “little-little I can lah”. Tetap saja, Dodo lebih rela menghabiskan lima hari empat malam itu tidur di sofa ruang keluarga apartemen Karel yang sudah terhitung lumayan tua, namun masih tetap nyaman digunakan.

Sepanjang makan malam, Teza sibuk mengomeli Karel yang makannya hanya secuil. Nyaris tidak menaruh apapun di atas piring, alasannya diet supaya gaun pengantinnya muat. Teza jelas-jelas murka mendengarnya. Ia langsung menaruh seperempat ayam panggang utuh dan tumpukan spaghetti di piring istrinya.

“Kamu mau diet apa lagi??” Teza menatap Karel yang cemberut terheran-heran. “Badan kamu udah kecil begitu, yang ada gaunnya malah melorot, bukan kesempitan. Makan,” perintah Teza tegas. “Bunda Ina udah susah-susah masak. Apa mau disuapin?”

Karel bersungut-sungut, tetapi pada akhirnya menurut juga. Ia mulai menyendok makanan ke mulut, lamat-lamat kian lahap. Perlahan, sudut bibir Teza tertarik melihat Karel nyaris menghabiskan seluruh makanan di piringnya.

“Nah, gitu dong.” Teza tersenyum puas lalu mengusap kepala Karel dengan sayang dan menghabiskan makanannya sendiri.

Setelah suasana sedikit tegang itu, Dodo baru berani kembali menimbrung pada pembicaraan tentang keseharian Bunda Ina dan Karel di sini. Ada tetangganya yang baru pindah, orang Indonesia juga, teman kampusnya Sasha. Dapat rekomendasi apartemen pun dari Karel juga, melalui Sasha. Karel sempat ketemu beberapa hari lalu, waktu mengantar kue bolu selamat datang dari Bunda Ina. Karel kira temannya Sasha itu hanya sendiri, ternyata yang tinggal di sana sepasang suami istri. Keduanya sedang menempuh pendidikan master bersama.

Sampai acara makan malam selesai pun cerita tentang betapa irinya Karel terhadap temannya Sasha itu tak kunjung habis. Saat Teza merapikan isi kopernya ke lemari, menambah tumpukan dalamannya di lemari Karel, istrinya masih saja telungkup di kasur sambil mencerocos.

“Seru banget deh kayaknya. Aku sering liat mereka ke mana-mana bareng. Ke mini market beli sikat gigi aja bareng…. Kayang, ih. Nggak dengerin aku cerita.”

Karel menopang kepalanya dengan kedua tangan. Wajahnya cemburut, sementara matanya tak henti mengikuti gerak tubuh Teza memindahkan satu per satu baju dari koper ke lemari. Tiga perempat isi koper pertama sudah rampung. Teza siap membuka koper kedua — koper yang awalnya Karel kira milik Dodo.

“Dengerin, sayang… lanjutin aja ceritanya. Aku sambil rapiin koper.”

Alis Karel bertaut waktu Teza beralih ke koper kedua. “Kayang bawa barang banyak banget?”

“Hm?” sahut Teza sambil tetap fokus menaruh beberapa baju ke atas kasur — di sebelah Karel — sebelum meraih tumpukan baju lain dan menyimpannya ke lemari. “Emang nggak boleh?”

“Kayak mau tinggal lama di sini aja,” sewot Karel. Ia beranjak turun dari kasur, akhirnya — setelah sempat dilarang tadi — memilih membantu membetulkan lipatan-lipatan pakaian Teza yang kusut. Karel berdecak. Baju-baju ini jelas perlu disetrika ulang. Mana mau Teza mengenakan baju lecek begini? Karel pun sama.

“Emang mau tinggal di sini,” timpal Teza enteng.

“Maksudnya?” Karel berhenti melipat maju. Ia kembali menatap sang suami yang kini berkacak pinggang menatapnya sambil tersenyum misterius.

“Aku mau tinggal lama di sini, habis resepsi. Mau nemenin kau sampai lulus.”

Karel terkesiap. Mulutnya menganga lebar dengan ekspresi terkejut luar biasa. Tangan Karel sampai bergetar mendengar Teza mengatakan kalimatnya barusan. Beberapa detik kemudian, setelah Karel mulai bisa menguasai diri, air matanya tak mampu lagi terbendung. Tangis Karel pecah, ia lalu memeluk Teza, melupakan kaus polo putih milik suaminya yang tadi sedang dilipat kini teronggok di lantai.

“HUEEENGGG…. KAYANG NGGAK BOHONG, KAN???”

“Enggak, Kyutipaw….”

“Terus kerjaan Kayang gimana?”

Teza mendudukkan kembali Karel ke kasur agar lebih leluasa menjelaskan.

“Aku udah teken kontrak. Ada proyek film baru yang syutingnya — bagianku — full di sini. Nanti, mulainya habis acara resepsi kita. Selain itu, aku juga cuma nerima kerjaan yang lokasinya di sini. Pemotretan, atau syuting iklan, atau apapun itu… yang penting di sini. Sama kamu.”

Karel sekali lagi bergelayut manja di leher Teza ketika pria itu menunduk. Ia mencium Teza tanpa ampun sebagai hadiah.

Pantas saja banyak sekali yang Teza bawa. Ternyata yang disiapkannya memang banyak. Sebanyak itu sampai Karel sendiri kaget, namun juga senang. Kalau begini, mau Teza bawa lima koper sekalipun Karel nggak masalah. Yang penting Teza di sini, bersamanya, menemani Karel sampai masa pendidikannya selesai.

Lima hari berlalu tanpa terasa. Keseharian Teza, Karel, dan Bunda Ina lebih banyak digunakan untuk menemani Dodo jalan-jalan. Hitung-hitung hadiah liburan dari Teza atas kesabaran, kerja keras, dan dedikasi Dodo yang luar biasa selama ini.

Hari pertama masih banyak digunakan untuk istirahat — karena jet lag — sambil membeli beberapa barang-barang yang Teza perlukan di apartemen Karel.

Di hari kedua, mereka sempat mampir melihat pohon natal raksasa di Rockefeller Center. Sambil memandang takjub lampu warna-warni berkilauan menghiasi pohon cemara besar tersebut, Karel tak sengaja berceletuk, “Tiap tahun aku ke sini, tetap aja kagum liat pohon natal setinggi Kayang ini.”

Teza otomatis menoleh sambil memiringkan kepala. “Aku nggak setinggi itu.”

“Iya, tapi Kayang tinggi banget,” ucap Karel tanpa memalingkan wajah dari pertunjukkan lampu yang sedang berlangsung.

Setelah puas melihat pohon natal — yang disesaki manusia, mereka membeli pretzel dan coklat hangat di Bryant Park sebelum mencoba bermain seluncur es layaknya orang-orang. Keempatnya meluncur bersamaan seperti sedang bermain ular naga dengan urutan: Teza di paling depan, diikuti Karel, Bunda Ina, dan Dodo di paling belakang — yang ketakutan karena tak memiliki pengalaman sama sekali. Ia terus-terusan merapatkan dan menekuk kaki sambil tak berhenti berteriak setiap kali dikiranya akan menabrak seseorang.

“BANG TEZA UDAH BANG,” Seru Dodo yang tak Teza hiraukan. Kaki panjang Teza berseluncur dengan bebas, memimpin kereta naga tersebut dengan lincah.

Akhirnya, Dodo dan Bunda Ina pun menyerah. Mereka memilih menepi, meninggalkan Teza dan Karel yang masih bermain kejar-kejaran, lalu berpelukan sambil berputar-putar. Benar-benar menjadikan arena ice skating tersebut seperti taman bermain pribadi mereka.

“Kadang masih nggak nyangka mereka udah nikah ya, Bang Dodo,” ucap Bunda Ina separuh melamun melihat Karel mencium Teza tanpa malu-malu di depan banyak orang.

Dodo menaruh perhatian pada titik yang sama. Ia lalu mengangguk. “Ternyata banyak banget ujian yang udah kita lewatin, Bunda Ina. Saya salut sama Bunda Ina — ”

“Bang Dodo nggak lagi godain saya, kan?” Bunda Ina terkekeh seraya melirik Dodo. Tawa keduanya lalu pecah. “Bercanda, Bang Dodo. Saya juga salut sama kerja keras Bang Dodo yang sabar banget sama sikap temperamental Teza.”

Hari itu, tak hanya untuk Teza dan Karel, juga menjadi hari yang paling berkesan untuk Dodo. Melihat wajah bahagia Teza, ia jadi menyadari betapa kerasnya ia bekerja selama ini. Meski banyak mengeluh, sering mendapat tekanan besar, dan tak jarang ingin mengajukan surat pemberhentian — yang sampai sekarang pun tak pernah terealisasi itu — Dodo menyadari, hubungannya dengan Teza bukan hanya sekadar artis dan manajer lagi, tetapi sudah seperti adik dan kakak. Dodo ikut bahagia melihat Teza kini bisa memiliki karir yang stabil meski setelah ia dan Karel mengumumkan hubungan mereka ke publik. Bahkan, sebentar lagi akan menikah (walau hanya seremonial).

Bagi Dodo ini adalah sebuah pencapaian karir tersendiri. Dan kali ini, di sini, di New York, dia akan menikmati seluruh hasil kerja kerasnya. Biar semua biaya Teza yang tanggung. Toh, Dodo tahu, betapa kayanya artis yang ia kelola itu.

Bandara, lagi dan lagi. Bedanya, kali ini tidak sesuram sebelum-sebelumnya. Karel bisa berjalan dengan lebih santai, mengantre di belakang Dodo dan Bunda Ina yang sedang melakukan pemeriksaan tiket dengan lebih tenang karena ada Teza yang mendampingi. Karel tahu, mulai sekarang ia tidak perlu menghadapi rasa takutnya sendiri. Setelah Teza bilang akan menemaninya di New York sampai selesai kuliah, Bandara tidak lagi jadi tempat yang menyedihkan bagi Karel.

Meski begitu, tidak berarti seluruh rasa takutnya hilang. Karel tetap gelisah ketika ia sudah duduk di kursi penerbangannya sendiri, persis di sebelah Teza. Tangannya gemetaran ketika Teza menggenggamnya usai memasangkan sabuk pengaman untuk Karel. Ia melemparkan pandangan ke luar jendela pesawat. Perlahan, burung besi itu mulai berjalan mundur, meninggalkan apron. Karel meremas tangan Teza.

“Mau minum obat aja?” tanya Teza cemas, melihat wajah Karel pucat. Ia baru tahu ketakutan Karel selama ini dengan matanya sendiri. Bibir Karel ikut bergetar seiring pesawat mendekati landasan pacu.

Karel menggeleng. Ia tidak ingin tidur sekarang. Ia mau mengobrol dengan Teza, menonton film berdua setelahnya, lalu tertidur sambil berbagi earphone mendengarkan playlist lagu mereka berdua. Namun, ia tidak bisa menampik debar jantungnya yang kian cepat.

Karel sekali lagi menatap ke luar jendela. Derum mesin pesawat mengencangkan getaran di bawah kakinya. Debar jantung Karel semakin bertalu, remasan pada tangan sang suami berubah menjadi sebuah cengkraman kuat. Suhu dingin di dalam kabin pesawat terasa menusuk-nusuk kulit Karel. Pandangannya mulai sedikit kabur begitu napasnya terasa sesak.

Teza otomatis mengusap-usap punggung tangan Karel di atas tangannya, berusaha menenangkan.

“Merem aja kalau takut,” ucap Teza pelan. Karel menurut. Ia memejamkan mata dan merasakan rangkulan erat Teza memberi sedikit kehangatan.

Ketika pesawat melaju kencang di atas landasan pacu kemudian menanjak di udara dengan kecepatan tinggi, Karel hampir terisak. Ia merasakan turbulensi-turbulensi kecil membuat jantungnya berkali-kali kehilangan ritme. Kalau bukan karena usapan lembut Teza di punggungnya, Karel pasti sudah menangis kencang karena panik.

Dada Teza terasa dihantam truk tronton waktu menyadari betapa besar ketakutan Karel untuk terbang dengan pesawat. Salahnya. Salahya mengirim Karel pergi jauh-jauh. Teza benar-benar menyesal dan hampir ikut menangis mengingat betapa besar dosa yang telah ia perbuat kepada Karel selama ini; membuat Karel muram di hari pernikahan, menyuruhnya pergi jauh untuk kuliah, dan memaksa Karel menghadapi rasa takutnya sendirian berkali-kali.

Teza meremas pundak Karel pelan. Rahangnya mengencang, kesal pada dirinya sendiri. Setelah Karel jauh lebih tenang saat pesawat mulai terbang dengan stabil, Teza berbisik pelan.

“Mulai sekarang, aku temenin kamu naik pesawat, ke manapun. Jangan pergi tanpa aku,” ucap Teza dengan tekad kuat sambil memeluk istrinya erat, berusaha menyerap seluruh ketakutan Karel. Biar ia saja yang menanggung bebannya.

Setelah itu, Teza mensyukuri keputusannya untuk menemani Karel sampai lulus kuliah meski harus menempuh perdebatan alot dan penuh ketegangan dengan BJ, sampai rela berkerja nyaris tanpa istirahat sama sekali. Dodo pun sempat khawatir karena Teza seringnya tetap memaksakan bekerja meski tahu kondisi tubuhnya tidak baik-baik saja. Dodo sempat mau melapor kepada Ian, tetapi urung karena permohonan Teza.

“Tolong, Do. Gue pengen nemenin istri gue. Nggak apa-apa gue kesiksa enam bulan ini. Yang penting nanti bisa nemenin Karel yang lama.”

Dodo hanya bisa menghela napas panjang mendengarnya.

Mungkin itu semua memang harga yang harus Teza bayar, untuk menebus kesalahan-kesalahannya kepada Karel selama ini.

— tbc.

--

--

No responses yet