[Ready, Set, Love!] — Like a Lovely Melody That Everyone Can Sing

soljaecruise
6 min readOct 15, 2024

--

Tidak ada kabar lebih membahagiakan bagi Karel mengetahui Teza sudah kembali ke Jakarta—meski hanya sementara. Tunangannya itu masih punya pekerjaan mengelilingi beberapa kota lagi sebelum kembali ke rumahnya. Tapi setidaknya, hari ini Karel memiliki kesempatan bertemu. Mereka akan latihan menyanyi bersama di studio The Phantom.

Teza, Dodo, dan Samuel sudah menunggu ketika Karel sampai.

“Halo, Tunjanganku,” sapa Karel ceria kepada Teza — keceplosan. Karel buru-buru membekap mulutnya lalu terkekeh. “Ha — Halo, Kak Teza, maksudnya.”

Ketiga pria di hadapannya tertawa, begitu juga Ina yang berdiri di belakang Karel. Tanpa perlu diralat pun, mereka tahu seperti apa hubungan Karel dan Teza.

Teza menggandeng tangan Karel, menariknya ke dalam studio dengan santai. Sebelum diculik, Karel masih sempat melihat Dodo dan Samuel menggaru-garuk tengkuk salah tingkah melihat sikap Teza. Sementara Ina, sibuk dengan ponselnya.

“Siapa kemarin yang nggak mau nurut dibilang jangan deket-deket sama Bara? Liat kan, sekarang gosipnya jadi rame.”

Teza berkacak pinggang menghadap Karel yang terpojok. Tubuhnya membungkuk sehingga Karel harus beranjak mundur menabrak pintu. Jarak wajah Teza hanya sejengkal dari wajah Karel.

“Ka — Kak gak boleh cium di sini!” Karel panik, kesulitan mencari celah kabur. Alis Teza terangkat mendengar balasan Karel yang tidak relevan dengan topik yang ia angkat di awal. Tapi toh, Teza tersenyum juga. Tersenyum geli melihat wajah Karel yang cemas dan ketakutan. Teza bergeser, membiarkan Karel kabur dan duduk di atas kursi piano digital.

“Hari ini fokus latihan!” Karel mulai menekan-nekan tuts, melakukan arpeggio sebagai pemanasan jari-jarinya.

Teza menarik kursi, duduk tepat di sebelah Karel. “Berarti maksudnya kalo bukan di sini, boleh?” lanjut Teza terus menggoda Karel yang wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Pipinya menggembung kesal kepada Teza. Sudah dibilang, Karel ingin fokus latihan!

“Kita mode profesional ya, Kak. Ini kita latihan sebagai penyanyi,” tegas Karel. Jarinya berhenti memainkan nada do-mi-sol berulang dan berurutan.

Teza tertawa. “Siapa tadi yang dateng-dateng bilang ‘Halo, Tunjanganku’” ucap Teza seraya menirukan nada suara centil Karel waktu menyapanya beberapa menit lalu. Kening Karel mengerut tak suka. Wajahnya semakin memerah, kesal. Sebelum Karel sempat mengomel, Teza sudah lebih dulu mencubit pipi Karel yang mengembang berisi angin.

“Iya, Bokemku. Hari ini mau latihan nyanyi apa? Pemanasan dulu. Gantian. Lo yang ngiringin, gue yang nyanyi,” perintah Teza.

“Mau nyanyi lagu apa?”

“Lo mau gue nyanyiin lagu apa?” tanya Teza balik. Karel termenung sedetik sebelum berpikir. Ia menatap wajah Teza lama.

“Aubrey?”

“Aubrey-nya Bread?” tanya Teza memastikan. Karel mengangguk.

“Dulu Papa sering nyanyiin lagu itu sebelum tidur.”

Teza mengangguk setuju. Kalau boleh jujur, ia juga baru mendengarkan lagu itu beberapa waktu belakangan. Waktu Teza mendengar Karel menyenandungkannya pelan selagi mereka makan siang di lokasi syuting kala itu. Lagu itu terngiang-ngiang di kepalanya sampai Teza hafal liriknya sekarang. Karena sejak saat itu, lagu itu juga masuk ke dalam playlist pengantar tidur Teza.

“Lo mau di kunci apa?”

“Di G aja. Kayaknya pas.”

Karel mulai menarikan jari-jarinya, memainkan rangkaian nada pembuka yang indah sebelum suara Teza menyempurnakan melodi lagu. Mata Teza terpejam ketika bernyanyi. Jikapun terbuka, yang dilihatnya hanya satu titik, wajah Karel yang fokus bermain piano. Gadis itu bermain seakan ia hidup dalam dunianya sendiri.

And Aubrey was her name. We tripped the light and danced together, to the moon.

But where was June? No, it never came around. If it did, it never made a sound.

Maybe I was absent or was listening too fast?

Catching all the words but then the meaning going past.

But God, I miss the girl.

And I’d go a thousand times around the world, just to be closer to her, than to me.

Mata Karel berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk. Senang, sedih, dan rindu. Ingat ketika Karel berlari sambil memeluk Tedi, melompat ke kasurnya dan ayahnya mengekori di belakang. Memang tidak setiap malam Karel bisa mendengarkan lagu itu. Makanya momen ini selalu Karel tunggu, di saat ayahnya menepati janji untuk pulang cepat dan menyanyikan lagu sampai Karel tertidur.

Hari ini Karel tidak menyangka akan mendengarnya lagi, versi Teza. Suara Teza memang jauh lebih merdu, tetapi ingatan Karel akan suara ayahnya tak bisa terbendung. Jari Karel berhenti bermain piano. Tiba-tiba saja, dadanya terasa sesak dan sedetik kemudian, Karel sudah sesenggukan. Air matanya menetes deras membasahi pipi Karel.

Teza seketika menghentikan nyanyiannya, panik melihat Karel menangis. “Loh, kok nangis?”

Teza meraih Karel ke dalam pelukannya. Tangannya bergerak mengusap-usap kepala gadis itu yang kini menempel di dadanya, menumpahkan segala perasaannya di sana.

“Ka — Kangen Papa, Kak…,” ucap Karel di tengah isakannya. Teza mencoba menepuk-nepuk punggung Karel dengan lebih lembut, penuh kasih sayang.

“Jangan sedih ya… gue temenin. Gue di sini….”

Karel memeluk pinggang Teza erat. Tangisannya semakin kencang sampai-sampai Bunda Ina pun merangsek masuk ke studio dengan panik. Ia kira, Teza dan Karel bertengkar. Tak tahunya malah sedang berpelukan. Ina memalingkah wajah dengan malu.

“Iya, iya, lanjutin aja,” ucap Inara seraya menutup pintu sebelum Teza sempat menjelaskan apa yang terjadi. Mulut Teza masih terbuka, tetapi yang dilihatnya kini hanya daun pintu yang tertutup. Tangan Teza kembali mengusap kepala Karel yang kini telah menjauh dari tubuh Teza.

“Kak… hiks… sori.”

“Sori kenapa?” tanya Teza lembut. Tangannya tak berhenti mengusap kepala Karel, seakan itu adalah benda paling rapuh yang ada di bumi.

“Karel menunjuk sedikit bagian baju Teza yang basah. “Itu baju lo basah kena—”

“Nggak apa-apa. Itu kan cuma air mata — ”

“Bukan, Kak. Itu ingus sama iler gue.”

Teza terdiam. Karel juga terdiam sambil mendongak menatap Teza. Tak lama, bocah itu cengengesan. “Hehe… sori.”

“BOKEM!” Teza cepat-cepat meraih tisu dan mengelap pakaiannya sementara Karel menertawakan Teza.

“Lo, ya. Udah gue baik-baikin masih aja ngerjain gue!” Teza meraih beberapa lembar tisu lagi dan menyerahkanya kepada Karel. “Lap dulu nih muka lo.”

Karel menerima tisu pemberian Teza dengan sisa tawa dan air mata di wajahnya. “Kenapa? Muka gue jelek banget ya pasti? Hehehe….”

“Enggak,” balas Teza cepat. “Lo cantik.”

Karel memandang skpetis. “Lo pasti mau menghibur gue aja kan, Kak?”

“Enggak. Beneran lo cantik,” ulang Teza enteng, yakin. “Cuma banyak tingkah aja.”

Karel mencibir. Ia menghapus air mata, berikut ingus dan liur yang tersisa di wajahnya. Lalu, Karel membetulkan rambut dan berpose centil, membuat Teza bergidik — gemas.

“Oke lah. Karena lo udah berbaik hati, gue juga mau nyanyiin satu lagu buat lo, Kak,” ucap Karel bersemangat, jauh berbeda dengan suasana hatinya beberapa menit yang lalu. Teza terheran-heran sendiri melihat sebegitu cepat Karel bisa bangkit dari rasa sedihnya—atau pura-pura tidak merasa sedih lagi.

“Nyanyi lagu apa?”

Sebelum Teza bertanya, Karel sudah melarikan jari-jarinya di atas tuts piano kembali.

Doe, a deer, you are my dear….

Wajah Teza seketika bersemu mendengar lantunan lagu dari bibir Karel. Ia kembali duduk anteng di sebelah Karel, mendengarkan suara Karel — yang masih sedikit serak — bernyanyi ceria. Tubuh Teza terasa menciut, kembali seperti bocah berusia lima tahun. Lagu sesederhana itu mampu meluluhlantakkan egonya, rasa gengsi mengakui kalau Teza sangat ingin mendengar Karel menyanyikan lagu itu untuknya.

Tiba-tiba saja, tangan Teza menangkap tangan Karel, membuat Karel terkejut dan berhenti bernyanyi.

“Karel. Lo nggak perlu maksain diri buat selalu keliatan ceria. Kalau lo mau nangis, nangis aja. Gue ikhlas baju gue basah, karena ingus atau iler lo juga. Tapi jangan ditahan.” Mata Teza menatap Karel sungguh-sungguh.

Tapi yang ditatap justru menggeleng sambil tersenyum. “Perasaan gue jauh lebih baik sekarang, Kak. Soalnya gue tau… gue punya lo hehe…. Makasih ya, Kak.”

Karel bangkit berdiri lalu memeluk tubuh Teza erat tepat ketika para personel The Phantom menyeruak masuk melalui pintu studio, menangkap basah Teza dan Karel dalam posisi berpelukan.

“WOI TEJA! MALAH BIKIN MAKSIAT LUH!” Teriak Mario kencang.

Karel melompat ke samping Teza, melepaskan pelukannya. Sementara, Teza mengumpat pelan dalam hati. Mario babi.

tbc.

--

--

Responses (1)