[Ready, Set, Love!] — Menapak Tanah

soljaecruise
2 min readOct 4, 2024

--

Karel melangkah grasak-grusuk ke depan pintu kamar Teza. Tangannya terangkat tinggi-tinggi, hampir menggedor, tetapi ia urungkan. Takut Teza ternyata sudah terlelap. Karel menempelkan satu telinganya ke daun pintu, hendak menguping suara di dalam. Namun, ia tak mendengar dengkuran atau apapun. Mungkin memang Teza sudah tertidur, pikirnya.

Sebelum sempat Karel menarik diri, ia samar-samar mulai medengar sesuatu. Dimulai tawa Teza yang rendah, lalu obrolan-obrolan seakan Teza sedang berbicara dengan seseorang.

“Kapan pulang? Gue kangen banget.” Sejenak tidak ada suara sebelum Teza kembali berbicara.

“Pacar apa, sih? Gue nggak punya pacar.” Teza tertawa kembali. Saat itu Karel Sadar, sepertinya Teza sedang berbicara di telepon. Karel tanpa sadar melanjutkan menguping.

“Yaa… nanti gue cerita kalau lo pulang ke sini…. Miss you too, Kak Jelita.”

Napas Karel terhenti sejenak mengetahui Teza sedang berbicara dengan seorang perempuan yang namanya sama sekali asing bagi Karel. Cara bicaranya juga bukan hanya terdengar akrab, tapi juga lumayan mesra dengan nada lembut. Jauh berbeda kalau Teza sedang berbicara dengan Karel. Pria itu seringnya ketus.

Di dalam tidak terdengar apa-apa lagi. Atau mungkin posisi Teza yang menjauh? Karel semakin merapatkan tubuhnya pada daun pintu, mencoba mendengar lebih jelas. Namun tidak ada yang ia dapati selain daun pintu yang mendadak terbuka lebar.

Karel limbung, jatuh ke pelukan Teza. Pria itu terkejut mendapati Karel terperosok ke arahnya. Teza menangkap tubuh Karel cekatan.

“Ngapain lo?” Karel menengadah, melihat Teza dengan tatapan gelagapan.

“Gu — gue Mau beli jagung bakar hehe…”

Kening Teza mengerut. “Tengah malem gini?”

Karel berusaha melepaskan pelukannya dari Teza. Susah payah ia bangkit berdiri dengan harga diri yang tersisa. Karel menunduk malu, tak berani menatap Teza yang kini menunduk berusaha melihat wajah Karel yang merah padam.

“Sama Bang Dion dan Bang Tora. Si-siapa tau lo mau nitip. Tadi gue udah nge-chat lo tapi nggak dibales.”

“Gue lagi teleponan tadi,” jawab Teza. “Gue anter aja, ayo.” Teza berbalik, hendak meraih kunci mobil di meja kecil sebelah kasurnya. Namun, Karel menahannya.

“Ng-nggak… Nggak usah! Gue pengen pergi bertiga aja, sama sepupu-sepupu gue.”

Tangan Karel melambai-lambai cepat, mencegah Teza pergi bersamanya. Ia tidak bisa bersama pria itu. Selain merasa malu karena kejadian barusan, hati Karel entah mengapa juga merasa sedikit kecewa.

Sejujurnya, ketika sampai di villa tadi, Karel sempat merasa senang, mengetahui kemungkinan Teza yang memindahkan cincin tunangannya ke jari manis Karel. Menurutnya, sikap Teza tersebut sangat manis. Sepanjang acara makan malam dan perayaan ulang tahun Papa Ian, Karel juga jadi terus-terusan memandangi Teza.

Gawat, pikirnya.

Sepertinya Karel mulai terpesona oleh tunangannya sendiri. Karel tak bisa berhenti tersenyum waktu Teza merekam dirinya menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk sang ayah mertua. Malam itu, Karel baru tahu, kalau senyuman bisa menular. Ia juga baru paham, kenapa para penggemar Teza sangat menyukai senyuman pria itu.

Karena Karel juga menyukainya.

Karel melihat perubahan mendadak di raut wajah Teza. Pria itu tampak sedikit tegang.

“Oh, yaudah,” ucap Teza dingin sebelum menutup pintu kamar.

Karel memandangi pintu di depannya dengan tatapan kosong. Stupid, Karel!

tbc.

--

--

No responses yet