[Ready, Set, Love!] — Momen Terakhir

soljaecruise
5 min readOct 28, 2024

--

“Papa Ian… nanti kalo udah sembuh kita teleponan ya. Nggak tau sih di sana berapa biaya teleponnya mahal apa nggak, tapi minta aja Kak Teza bayarin. Kan dia masih harus nafkahin istrinya,” cerocos Karel di sebelah Ian. Tangannya mengusap-usap tangan Ian yang terkulai di samping tubuh renta pria itu.

Di belakang Karel, di celah pintu yang sedikit terbuka, Teza menyimak diam-diam. Niat awalnya mau langsung merangsek masuk, ingin mengonfrontasi Karel dengan agenda serbaungunya itu. Saat di rumah, setelah membersihkan diri secepat kilat, Teza memutuskan untuk segera menyusul Karel ke rumah sakit. Memang sejak awal niatnya pulang ke rumah ingin mengobrol dengan istrinya tersebut, tetapi waktu sampai, Teza malah langsung ditinggal pergi. Jadilah Teza buru-buru menyusul ke sini.

Tapi waktu mendengar Karel sedang “curhat” kepada Ian yang masih belum sadarkan diri, Teza urung memberondong masuk. Tangannya bertahan pada kenop pintu, memberikan sedikit ruang agar ia masih bisa mendengar cerita Karel tanpa ketahuan, menguping lebih tepatnya.

Tak berapa lama, Teza mulai mendengar isakan-isakan kecil dari Karel. Hatinya yang tadi berapi-api kini seperti disiram air dingin, hangus dan mengeluarkan asap tebal.

“Karel… sedih Papa Ian. Kalo Karel… kangen Papa Ian gimana? Susah pulangnya, harus naik pesawat lagi. Kalo Karel… hiks….” Suara Karel terputus. Teza mengintip, melihat Karel menelungkupkan wajahnya di kasur Ian.

“Kalo Karel… kangen Kak Teza gimana? Karel benci sama Kak Teza, tapi dia keluarga Karel juga Papa Ian… hiks….”

Hati Teza kembali bergetar. Tak tahan ingin masuk dan memeluk istrinya. Tubuhnya lemas melihat pundak Karel naik-turun menahan tangis. Tapi sebisa mungkin, Teza tetap bertahan sampai Karel selesai bercerita.

“Papa Ian jangan sedih juga ya. Nanti kalo Papa Ian udah sehat Papa Ian jengukin Karel ke sana, ya? Tapi janji harus sembuh, ya? Kalau Papa Ian sembuh, Karel janji mau belajar yang bener walaupun kayaknya susah, tapi nanti Karel coba dulu ya, Papa Ian.”

Karel mengusap sisa air mata di wajahnya. Ia bangkit, lalu mengecup kening Ian singkat sebelum pamit pulang. “Dadah, Papa Ian… Sampai ketemu lagi, um… nggak tau kapan,” ucap Karel muram lalu berbalik keluar menuju pintu. Betapa terkejutnya ia melihat Teza berdiri di sana.

Karel nyaris berseru, ingin mengomel, tapi Teza lebih dulu memberi isyarat menaruh telunjuk di depan bibirnya, melarang Karel bersuara keras-keras.

Mulut Karel mengatup kembali, melengkung ke bawah seperti bulan sabit terbalik. Ia melangkah cepat-cepat keluar kamar rawat Ian. Kepalanya celingukan mencari sosok Inara yang tiba-tiba menghilang.

“Bunda Ina ada urusan sama produser lo. Lo pulang sama gue, ya.” Teza melepas topinya, memakaikannya di kepala Karel. Ia juga meraih masker di tangan Karel dan memasangkannya untuk menutupi wajah cantik gadis itu. Sesaat Karel hanya bisa memandang Teza, matanya masih sedikit merah dan sembap. Meski masih marah, harus Karel akui, ia merindukan sosk Teza yang lembut dan perhatian seperti ini. Sejak hari pernikahan mereka, mungkin ini kali pertama Karel merasa mendapat perhatian lagi dari pria itu.

Usai memasang maskernya sendiri dan memasang kaca mata hitam, Teza meraih tangan Karel. Mereka mengendap-endap ke parkiran basement, tempat di mana mobil Ian Arkana — yang sering digunakan Teza belakangan ini — terparkir.

Teza dan Karel selamat sampai parkiran — tentu berkat bantuan Dodo juga yang sejak Teza datang sibuk mengalihkan perhatian media di depan rumah sakit. Ketika mobil Teza keluar dari basement, langit mulai berubah jingga, siap menyambut malam gelap. Teza senang, setelah sekian lama, ia bisa duduk berdua bersama Karel di mobil. Diam-diam matanya melirik tangan Karel yang polos. Keningnya mengernyit ketika ia tak menemukan cincin kawin mereka di sana.

“Cincinnya mana?”

Karel yang sedang melamun, membayangkan siluet-siluet wajah di awan tak mau menoleh.

“Ada,” jawabnya singkat. “Males dipake. Kak Teza juga nggak make.”

“Ada,” balas Teza serupa. “Cincinnya gue kalungin.”

Barulah kali ini Karel mau menoleh. Ia melihat Teza mengeluarkan rantai perak dari balik kausnya. Di sana cincin kawin pria itu tergantung. Karel sesaat hanya menatap sebelum melirik Teza dan kembali memalingkan wajah menatap langit. Kepalanya memandangi sebuah pesawat yang melintas dengan tenang. Kelap-kelip lampunya melayangkan pikiran Karel pada jadwal penerbanganya lusa.

“Gimana persiapan berangkatnya?” Teza kembali memecah keheningan. Ia melirik Karel, gadis itu masih memunggunginya dan enggan bersuara. Teza menarik napas, bersabar. “Gue nggak bisa ikut nganter. Di bandara terlalu rame, terlalu riskan.”

Meski hanya diam, Teza tau Karel diam-diam menyimak. Jadi, ia melanjutkan wejangannya. “Nanti kan di sana nggak langsung kuliah. Masih banyak waktu untuk persiapan, untuk main-main dulu. Kalau mau ketemu Sasha juga bisa. Masih banyak waktu untuk adaptasi.”

Di belakang Teza, bibir Karel menirukan kata-kata Teza dengan nyinyir. Tak tahu saja, bayangannya mantul di kaca sehingga Teza bisa melihatnya. Pria itu menahan tawa dengan satu tangannya.

“Nanti ke sana jangan bawa baju-baju warna ungu, ya,” pesan Teza.

“Ngatur amat,” sahut Karel sewot. “Suka-suka gue lah mau bawa baju warna biru kek, ungu kek, ombre, polkadot.”

“Lo benci banget sama gue, ya?”

Karel mengangguk berkali-kali. “Udah tau nanya.”

Kemudian, tiba-tiba saja, Teza menepikan mobilnya di lajur darurat jalan tol, di bawah jembatan penyeberangan. Karel otomatis memutar tubuhnya, melihat Teza melepaskan seatbelt dan berbalik menghadapnya. Satu tangan lelaki itu bersandar pada kemudi.

Karel mengerutkan kening tak suka. “Ngapain lo berhenti di sini, nanti ditilang lagi.”

Teza menarik napas. Tangannya yang lainnya bergerak mengusap kepala Karel dengan lembut, penuh rasa sayang. Tahu, setelah ini mungkin tidak ada lagi momen baginya untuk bisa berdua saja dengan istrinya sendiri. Dan lagi, Teza pasti bakal kangen berat dengan Bokemnya yang sering berbicara tanpa pikir panjang. Teza sungguh menyesali keputusannya mengirim Karel pergi.

“Gue minta lo pergi bukan karena gue benci atau gak mau nikah sama lo. Lo tetep gue anggap sebagai istri gue, sama sekali bukan beban. Gue pengen lo pergi karena gue nggak mau lo terkurung di sini. Di sana lo bisa bebas, bisa seneng-seneng. Jadi, plis stop pakai baju ungu lagi. Gue nggak mau jadi duda.”

Tangan Teza turun mengusap pipi Karel, menghapus bulir air mata Karel yang terjun bebas dari matanya yang berkaca-kaca. Bibir Karel mengerucut, berusaha menahan tangis. Karel memalingkan wajah dari tatapan Teza, ia menunduk menatap jarinya yang polos dengan sendu, menyesal meninggalkan cincin kawinnya di rumah.

“Nggak ada bedanya, Kak. Lo tetep nyuruh gue pergi.” Karel menyingkirkan tangan Teza dari pipinya. Ia mengusap air mata dengan jari-jarinya sendiri. “Nggak apa-apa. Gue nggak bakal nungguin lo lusa di bandara. Gue bakal pergi dengan tenang dan lo bisa hidup damai setelah ini. Nggak bakal ada yang ngerecokin lagi.”

Teza menelan ludah berat. Mulutnya hendak terbuka, memberi penjelasan lebih jauh, tetapi pintu kaca mobil keburu diketuk berkali-kali dengan heboh. Teza menoleh cepat lalu menyumpah dalam hati ketika melihat mobil Patroli Jalan Raya Tol dengan sirene biru menyilaukan mata berhenti tepat di depan mobilnya. Di sebelah Teza, Pak Polisi sudah merunduk, menanti kaca mobil dibuka. Teza mengembuskan napas kesal seraya membuka kaca jendela mobil.

“Selamat malam, Pak,” sapa sang polisi yang disambut senyum masam di wajah Teza.

tbc.

--

--

No responses yet