[Ready, Set, Love!] — Never Too Busy for You

soljaecruise
5 min readOct 15, 2024

--

Sabtu siang yang santai. Karel melangkah ringan memasuki rumah Ian Arkana. Sang calon ayah mertua kali ini tidak sedang berkutat di dapur, tetapi menonton televisi, tahu Karel akan datang. Teza belum kelihatan, masih memiliki jadwal latihan dengan The Phantom. Karel sengaja disuruh datang lebih dulu untuk menemani Ian yang kesepian sendiri. Inara yang ikut mengantar langsung meminta izin mengungsi ke gazebo belakang untuk merapikan agenda Karel yang kesusupan jadwal latihan bernyanyi dengan Teza.

Karel duduk di sofa, di sebelah Ian sambil memeluk bantal. Tatapannya menatap bosan layar televisi yang menampilkan drama kolosal. Karel menguap. Sekali. Dua kali.

“Papa Ian mau nonton Tom and Jerry aja, nggak? Seru loh,” ucap Karel sambil menguap ketiga kalinya.

“Kamu mau nonton? Nonton aja. Papa Ian mau goreng pempek abis ini.” Ian menyerahkan remote televisi kepada Karel.

“Pempek Tedi buntal aku masih ada nggak?” tanya Karel seraya meraih remote dari tangan Ian. Calon ayah mertuanya beranjak dari sofa seraya meregangkan tangan.

“Nggak ada, sayang. Udah dihabisin Teza.”

“IH! Kok Kak Teza nggak izin dulu, sih?” protes Karel tak terima. Bibirnya manyun lima sentimeter, persis seperti bibir pempek Tedi ikan buntal.

Ian Arkana hanya terkekeh. “Nanti kita bikin lagi, ya?” ucapnya tepat di saat karel menguap, keempat kalinya. “Kamu kalo ngantuk, tidur aja dulu di kamar Teza. Teza pulangnya masih sore, katanya.”

Karel mengangguk, menuruti perkataan Ian. Niat menonton Tom and Jerry-nya pun ia urungkan. Karel menaiki tangga rumah Ian Arkana menuju sudut lantai dua, tempat di mana kamar Teza berada.

Wangi maskulin segar menyapa hidung Karel ketika ia membuka pintu kamar Teza. Ruangan itu tampak rapi dan estetik dengan tema biru gelap dan abu-abu terang. Beberapa poster album dan band legendaris terpajang di dinding — cukup untuk menghias, namun tidak membuat tampilan yang berlebihan. Selain itu, ada sebuah gitar akustik berdiri kokoh di sudut ruangan. Karel tidak terlalu mengerti soal gitar, tapi Karel yakin benda itu — gitar milik Teza — harganya tidak murah.

Karel suka. Ia bisa dengan cepat jatuh cinta pada desain kamar Teza yang minimalis dan nyaman. Membuat rasa kantuk yang sedari di mobil mneyerangnya kini semakin menjadi. Karel melangkah masuk. Tepat di sebelah kasur, Karel melihat koper Teza yang terbuka berisikan beberapa baju. Karel menatap benda itu sambil berpikir. Ah ya, ia baru ingat. Teza masih memiliki jadwal tur setelah ini. Jakarta hanyalah kota persinggahannya sekarang.

Karel melangkahi koper Teza, naik ke kasur. Tubuhnya direntangkan dengan nyaman sebelum ia meraih guling Teza, mencium aromanya dalam-dalam hingga terbius. Wangi parfum Teza menempel di sana. Kemungkinan, semalam Teza memang menginap di sini. Karel tersenyum senang, tubuhnya rileks dan ringan. Tak lama, ia tertidur.

Teza tahu Karel sudah sampai. Ayahnya bilang waktu Teza sedang menaruh beberapa makanan yang sengaja dibeli untuk menyambut kedatangan Karel di meja makan. Ada donat, martabak, sate, hingga ayam goreng. Sampai-sampai Ian bingung, siapa yang akan menghabiskan makanan sebanyak itu?

Karel masih terlelap waktu Teza temukan di kamarnya. Tubuhnya terbaring melengkung, seperti udang, sambil memeluk guling Teza. Perlahan sudut-sudut bibit Teza tertarik ke atas. Ia membiarkan pintu kamarnya terbuka sebelum melangkah mendekati Karel.

Teza sengaja duduk di tepian kasur perlahan dan hati-hati agar Karel tidak terbangun. Tangannya menyingkarkan rambut Karel yang menutupi sebagian wajahnya. Tak sadar, Teza tertawa. Tersihir oleh pancaran pesona wajah Karel yang kini tampak damai, jauh dari ekspresi dan cengiran usil seperti biasanya.

“Karel,” panggil Teza pelan. Hanya mengecek, apakah Karel tertidur pulas atau masih separuh sadar.

Yang dipanggil menggeliat sambil bergumam, lalu meracau tak jelas. “Om Tedi ikan buntal hehe….” Karel mengubah posisi tubuhnya, membelakangi Teza.

Teza tertawa mendengar igauan Karel barusan. Lucu. Dalam tidur pun, Karel masih menyebut namanya. Diam-diam Teza merasa senang karena artinya, saat tak sadar pun, pria itu masih ada dalam pikiran Karel. Tak tahu saja, yang sebenarnya terjadi, Karel sedang bermimpi memakan pempek.

Teza melirik ke pintu kamarnya. Diam-diam tanduk tak kasatmatanya keluar dari kepala seiring wajahnya mendekati wajah Karel yang pulas. Selagi Karel masih tertidur, Teza mendaratkan satu kecupan lembuat di pipi tunangannya, membuat Karel menggeliat. Tangannya meraba-raba kasur, berusaha mencari bantal guling yang sudah tertendang dan mendarat di lantai.

Teza terkikik. Namun, tawanya hilang saat lengan Karel melingkari tengkuknya, menariknya, hingga Teza jatuh terbaring dalam posisi miring. Kaki Karel melingkari pinggang Teza — menjadikannya pengganti bantal guling. Tak lama, Karel kembali mengigau.

“Hehe… Om Tedi… muah….” Bibir Karel manyun, tampak seperti hendak mencium sesuatu.

Satu-dua detik, Teza mencoba bertahan di posisinya sambil sekuat tenaga menahan tawa. Tapi sia-sia, wajah Karel dengan bibir monyongnya terlalu menggemaskan. Tawa Teza meledak seketika, membuat Karel terperanjat. Gadis itu terbangun dalam keadaan mata terbelalak. Baru sadar kalau ternyata ia tidur sambil MEMELUK TEZA!

Karel refleks mendorong tubuh Teza menjauh. “IH OM TEDI!” Kepalanya terasa pening, pandangannya berkunang-kunang. Tapi dari tempatnya, Karel bisa melihat jelas Teza tergelak sampai terguling jatuh dari kasur.

“Lo mimpi apa sih, Bokem? Sampe monyong-monyong gitu,” ledek Teza, sengaja menggoda Karel. Sementara, Karel memojokkan tubuhnya ke ujung kasur, sejauh mungkin dari Teza. Wajahnya masih kesal. Jelas Karel nggak akan mau menjawab pertanyaan Teza barusan.

Teza merangkak kembali ke atas kasur, mendekati Karel. “Udah jangan ngambek. Cepet cuci muka terus latihan.”

Bibir Karel masih cemberut, tapi alih-alih melanjutkan aksi ngambeknya, Karel sadar waktunya bersama Teza jauh lebih berharga. Tunangannya itu mungkin akan segera pergi lagi dari Jakarta.

“Kak.”

“Hm?” Teza menoleh kembali ke arah Karel setelah membetulkan jam beker di atas nakas.

“Besok lo konser kan?” Suara Karel terdengar ikhlas-tak ikhlas.

“Iya.”

“Terus abis itu berangkat ke mana lagi?”

Teza menaruh kembali jam bekernya dan fokus kepada Karel. “Senin. Berangkat ke Palembang.” Dilihatnya Karel mengangguk-angguk, tapi ekspresinya sedih. “Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Itu pas hari kelulusan.”

Teza mengerjap. “Lo wisuda SMA hari Senin?”

Karel mengangguk, namun pada akhirnya tersenyum. “Nggak apa-apa. Lagian lo juga nggak mungkin dateng. Yang ada kita bisa digosipin sealam semesta.”

Teza menarik napas. Meski Karel tersenyum, Teza tahu ada rasa kecewa terselip di dalamnya. Tapi benar yang dikatakan bocah itu, Teza nggak bisa melakukan apa yang diinginkannya sesuka hati. Seperti kata Karel waktu itu, andai saja mereka bukan seorang artis, pasti Karel dan Teza tidak akan serepot ini hanya untuk berkencan.

tbc.

--

--

Responses (1)