[Ready, Set, Love!] — Panggilan Malam
Pukul Sepuluh lewat tiga puluh menit. Bermodalkan izin dari Inara, Karel menemui Teza. Manajernya itu sengaja menjemput Karel dengan mobil di pintu masuk sebelum parkir tepat di sebelah van hitam milik Teza. Karel mengendap-endap masuk. Benar-benar seperti sedang melakukan misi rahasia ala Jamet Bond.
“Happy Birthday!”
Karel terlonjak begitu menghadap Teza. Tubuhnya menabrak pintu. Dilihatnya Teza tersenyum lebar sambil mengangkat tinggi-tinggi sebuket bunga dan sebungkus kado. Karel mengerjap memandang barang-barang di tangan tunangannya tersebut sebelum kembali menatap Teza.
“Buat gue, Kak?” tanya Karel bingung.
Teza menyerahkan dengan paksa hadiah Karel ke tangan sang pemilik. “Iyalah. Kan lo yang ulang tahun.” Karel — meski sedikit kerpotan karena harus memeluk buket bunga besar dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam erat bingkisan kado — menerima hadiah pemberian Teza.
“Lo dateng ke sini malem-malem… buat ngasih kado? Kan tadi udah?” Karel memastikan.
Teza mengangguk sekali lagi. “Yang tadi nggak proper.” Ia melirik jam di pergelangan tangannya. “Masih ada satu setengah jam lah kalo lo mau ngerayain.”
“Emang lo nggak capek apa baru pulang dari Bandung langsung ke sini?” Karel menatap buket bunga di tangannya berkaca-kaca. Wangi. Tanpa perlu Karel mengendusnya, aroma dari sang mawar merah jambu menguar membelai indra penciuman Karel.
Kemudian ia merasakan sentuhan tangan Teza di puncak kepalanya. Karel menengadah selagi Teza menepuk-nepuk lalu mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.
“Jadwal gue ke depan bakal lebih padat lagi. Lo juga sibuk latihan teater musikal. Selagi bisa disempetin, kenapa nggak? Ini kan hari spesial lo.”
Hari spesial lo. Senyum Karel makin lebar. Rasanya sudah lama sekali hari ulang tahun menjadi hari yang spesial untuk Karel. Hari ulang tahun biasanya sama saja seperti hari-hari lainnya semenjak Karel tinggal sendiri. Bedanya, di hari itu, orang-orang mengucapkan selamat. Tidak ada yang meluangkan waktu untuk menemani Karel, kecuali Tora dan Dion sedang tidak sibuk. Tapi Teza mematahkan segala alasan tersebut. Kesibukan tidak menghalangi Teza membuat Karel merasa spesial di hari ulang tahunnya.
Karel menyimpan buket bunga dan kadonya di kursi penumpang belakang. Ia lalu mengalungkan kedua tangannya di leher Teza, memeluk pria itu secara tiba-tiba, membuat Teza tersentak.
“Tunjanganku terbaik,” puji Karel yang terdengar seperti bisikan kencang saking dekatnya sumber suara itu dari telinga kanan Teza. Tangan Karel lalu menepuk-nepuk pundak Teza sebelum melepaskan pelukannya.
“Makasih ya, Kak.”
Dodo yang menyaksikan dari kaca spion ternganga. Iya buru-buru membalik kaca spion tengah begitu mendapatkan lirikan tajam dari Teza.
Teza berdeham. “Gitu doang makasihnya?”
Karel menatap bingung. Adab yang ia tahu setelah mendapatkan hadiah memang mengucapkan terima kasih — dan membalasnya di kesempatan yang sama kalau memungkinkan. Karel mengangguk-angguk, mengerti maksud Teza.
“Tenang aja, nanti gue kirimin kado juga pas ulang tahun lo.” Karel menepuk-nepuk pundak Teza seakan mereka adalah teman akrab. “Mau lo syuting di ujung dunia juga gue samperin deh, Kak.” ucap Karel tanpa pikir panjang.
“Oke, janji itu gak bisa ditarik lagi.” Teza menaik-naikkan kedua alisanya seraya menggeleng. “Tapi ada cara yang lebih bagus buat bilang makasih,” lanjutnya.
“Gimana?” tanya Karel. Ekspresinya mulai panik waktu melihat wajah Teza mendekat.
Panas. Rasanya sulit menarik napas. Jantung Karel seperti dilempar di atas trampolin lagi, melompat ke atas, lalu terjun, sebelum kembali memantul. Begitu terus hingga Karel memejamkan mata tepat ketika bibir Teza mendarat di pipi kanannya.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini bukan hanya sekadar kecupan kilat, tetapi kecupan lembut yang menggelitik isi perut Karel. Lagi-lagi, Karel hanya bisa mematung sementara rasa hangat mulai menjalar dari area pipi, ke seluruh wajah, lalu turun ke hatinya. Apa ini termasuk kado ulang tahun? pikir Karel tak jelas di tengah jalan pikirannya yang tersumbat. Otaknya habis ini pasti bakal benar-benar korslet.
Waktu Teza melepaskan ciumannya di pipi Karel, wajah pria itu tak langsung menjauh. Ia melihat Karel dari jarak dekat. Mata gadis itu terbuka lebar, balas menatapnya seperti korban hipnotis.
“Gu-gue boleh pingsan aja nggak sekarang?” Karel tergagap.
Teza bukannya menaruh simpati, malah terkekeh pelan. Di tengah pencahayaan mobilnya yang minim, ia bisa melihat raut wajah Karel yang bersemu. Teza mengusap pipi Karel yang lain sebelum menegakkan kembali tubuh jangkungnya.
“Udah 19 tahun di-sun pipi aja masih kaget. Cemen.”
Wajah Karel mengerut dalam-dalam — tak suka mendengar ledekan Teza— sebelum memukul pundak pria itu.
“Minimal kasih aba-aba dulu. Satu, dua, tiga… baru cium. Apa suit dulu, kalo menang baru cium! Main nyosor aja bikin jantungan!”
Teza terbahak mendengar omelan Karel. Mana ada orang mau nyium harus suit dulu? Isi kepalanya kebanyakan Tom and Jerry nih anak!
— tbc.