[Ready, Set, Love!] — Papa Ian Marah

soljaecruise
4 min readOct 17, 2024

--

Bakpia, gudeg kemasan, jenang, keripik belut, keripik paru, hingga lanting. Semua Karel tumpahkan ke atas meja makan. Ian Arkana menatap takjub semua oleh-oleh pemberian Karel.

“Kamu belum pulang ke rumah? Langsung ke sini buat ngasih oleh-oleh?”

Karel mengangguk lambat-lambat sambil tersenyum. Kedua alisnya terangkat tinggi.

“Kak Teza mana Papa Ian? Katanya dia di sini?”

Ian Arkana yang sedang mencicipi Bakpia tersenyum meledek Karel. “Oh, kamu ke sini karena kangen sama Teza, ya? Pakai alasan mau ngasih oleh-oleh segala. Ada tuh, orangnya lagi tidur siang di kamar.”

Tanpa ba-bi-bu lagi, Karel langsung izin pamit kepada Ian. Ia berlari menaiki tangga lalu mendorong pintu kamar Teza yang sedikit terbuka. Karel bahkan tak mau repot-repot mengintip karena suara dengkuran keras Teza terdengar dari luar.

Karel terkikik waktu melihat Teza tertidur dengan mulut separuh mangap. Ide usil langsung muncul di kepalanya. Kali ini bukan dengan meniban tubuh Teza, tetapi menyumpal mulut Teza dengan bakpia yang dibawanya dari bawah tadi. Niat awalnya ingin Karel makan, tetapi sekarang tidak jadi.

Tubuh Karel membungkuk, separuh tubuh atasnya terbaring telungkup di atas kasur Teza, sementara kakinya berlutut di lantai. Tangan Karel mulai bergerak memasukan cuilan-cuilan kecil kue ke mulut Teza sehingga tidurnya tak tenang. Mulut Teza bergerak mengunyah makanan. Tawa Karel nyaris lepas. Ia melihat tangan Teza bergerak menggaruk-garuk kepalanya sebelum berganti posisi dari telungkup menjadi telentang ke bagian ujung kasur.

Karel mulai merangkak naik ke kasur, mendekati Teza. Ia duduk tepat di sebelah tunangannya yang masih tampak terbaring damai. Mulutnya tak lagi terbuka. Tangan Teza terlipat di atas dada. Karel mendekatkan kepalanya ke telinga Teza, hendak berbisik.

Hash-slinging slasher… The sash-ringing, the trash-singing, mash-flinging…,” Karel merapalkan mantra hantu yang didengarnya dari kartun Spongebob Squarepants. Teza menggaruk telinganya karena kegelian, wajahnya memberengut kesal.

“Siapa sih ah!” omel Teza.

Karel terbahak, tak kuasa lagi menahan tawa. Di saat yang bersamaan, Teza membuka separuh matanya. Meski tak jelas, ia bisa melihat Karel sedang duduk di atas kasur, di sebelahnya. Karena masih mengantuk — campur kesal, Teza menarik tubuh Karel hingga gadis itu jatuh terbaring, lalu menjadikannya guling.

“Kaakkk!!” Karel memukul-mukul dada Teza, sementara Teza tersenyum.

“Kok lo nggak ngabarin gue kalo udah nyampe?” sahut Teza serak. Kepalanya menunduk, melihat Karel yang sesak napas dalam kurungan tubuh Teza. Karel berhenti meronta. Tangannya bergerak menghapus sisa remah-remah bakpia di sudut bibir pria itu.

Karel terkekeh. “Hehe… Kangen banget sama Om Tedi.”

Teza menjitak kepala Karel pelan. “Udah dibilang, jangan manggil Om, apalagi Tedi!” Karel tetap saja cengengesan. “Mana oleh-oleh buat gue?”

“Itu, udah dimakan,” balas Karel seraya memasukan sisa bakpia utuh-utuh ke mulut Teza. Tunangannya kembali mengomel mendapati sikap sikap usil Karel.

“Karel! Kasurnya jadi kotor!”

Karel hanya tertawa cekikikan sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari dekapan erat Teza. Tetapi Teza tak membiarkannya. Ia memelototi Karel selagi menghabiskan bakpia yang membuat tenggorokannya seret.

“Serius? Ini oleh-oleh rahasianya?” tanya Teza, keningnya mengerut. Karel menggeleng. “Terus?”

Sejurus kemudian, Teza melihat mata Karel menyipit. Bibirnya tersenyum licik. Sebelum sempat Teza menerka apa yang akan dilakukan Karel, gadis itu sudah mencuri satu kecupan di bibir Teza.

“Adegan Tom and Jerry,” ucap Karel sambil terkekeh. Teza mengerjap, tak terima dengan oleh-oleh rahasia Karel yang supersingkat itu. Seperti mendapat lampu hijau, kepala Teza pun bergerak maju, meminta oleh-olehnya lebih lama. Enak aja lo ninggalin gue liburan empat hari, oleh-olehnya cuma sedetik! Omel Teza dalam hati.

Namun, baru sedetik bibir Teza menempel pada bibir tunangannya, teriakan Ian Arkana mengagetkan dua muda-mudi yang sedang memadu kasih tersebut. Ian Arkana dengan satu gebrakan tangan membuka pintu kamar Teza lebar-labar, membuat Karel dan Teza terlonjak.

“ASTAGA TEZA, KAREL! KALIAN INI MENDING CEPET-CEPET PAPA KAWININ AJA LAH! TEZA! KAMU INI APA NGGAK BISA NAHAN DIRI? KAREL! KAMU JUGA JANGAN MAU MAIN DITERKAM SAMA SI TEZA! KALO KAMU KENAPA-KENAPA GIMANA??”

Siang itu juga, Ian Arkana melakukan sidang dadakan di ruang keluarga rumahnya. Teza dan Karel duduk berlutut sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi— menerima hukuman.

“Udah, nikah aja,” ucap Ian tegas, tak ingin dibantah.

“Pa…,” Teza berusaha membela diri. ‘Tadi itu… Teza cuma… cuma… bantuin Karel soalnya matanya kelilipan.”

“Papa nggak buta ya, Za. Itu yang kelilipan mata Karel apa mulutnya sampe kamu nyium-nyium gitu??” ucap Ian Arkana berang.

“Papa Ian… itu tadi nggak sengaja. Itu ketempelan — ” ucap Karel memelas.

“Ketempelan apa, Nak? Kamu ini jangan mudah diperalat sama si Teza. Udah, nggak bisa kaya gini. Kalian milih. Kalau nggak mau cepet kawin, dipingit aja!”

“YAH KOK GITU PAH??” Teza tak terima. Namun amarahnya menciut begitu melihat Ian Arkana melotot.

“Nggak ada lagi-lagi nyamper-nyamperin ke kamar. Kalo mau pacaran di sini, di ruang keluarga! Nggak boleh berduaan, harus ditemenin!” ujar Ian telak, tak terbantahkan lagi.

Akhirnya, Teza dan Karel hanya bisa menerima dengan pasrah.

tbc.

--

--

Responses (3)