[Ready, Set, Love!] — Perkenalan

soljaecruise
3 min readSep 25, 2024

--

Siapapun yang menentukan restoran tempat Karel dan Bunda Ina akan bertemu dengan Teza dan Rahardian—Ian—Arkana, ayah Teza, pasti sengaja ingin membuat pertemuan ini sebagai simulasi ring tinju untuk sang muda-mudi yang dijodohkan.

Bagaimana tidak? Pertemuan itu dilaksanakan di sebuah restoran Jepang pada waktu makan siang. Dalam ruangan yang tak terlalu luas itu, Teza dan Karel duduk berhadapan. Kaki Teza yang kelewat panjang beradu dengan kaki Karel di bawah chabudai yang tampak seperti meja makan mainan jika disandingkan dengan Teza.

Karel berjengit setiap kali kaki Teza menendangnya. Meski pelan, tetapi selalu berhasil mengundang cibiran Karel. Salah sendiri Karel memilih duduk di seberangnya, pikir Teza. Padahal ia juga tahu betul, Karel sendiri tak punya pilihan. Keduanya dipaksa duduk berhadapan agar dapat mengamati satu sama lain dengan lebih jelas. Jelas-jelas muak.

Saat Teza dan Karel kembali melancarkan aksi gulat kaki di bawah meja, Ian mulai membuka percakapan inti yang sejak tadi ditunggu agar acara makan siang bisa segera selesai.

“Jadi kalian kan sekarang udah ketemu dan kenal. Ini Om ceritain dulu ya Karel, gimana bisa ada kesepakatan perjodohan ini.” Ian melirik Teza yang memilih diam sambil menikmati maguro sashimi dengan tatapan tak bersemangat.

“Jadi, mamihnya Karel, Lola, dan mamanya Teza, tante Maura dulu bersahabat dari SMP. Teman les musik bareng. Mamihnya Karel les vokal, sementara mamanya Teza ini les piano. Kalau ketemu itu saling ngajarin, makanya mamanya Teza ini sedikit-sedikit bisa nyanyi juga… hehehe… maaf ya, ini intronya kepanjangan.”

Ian kembali melirik Teza, ingin mengetahui tanggapan putranya. Namun sikap Teza tetap seperti patung. Wajahnya muram. Karel sebaliknya, tampak bersemangat mengetahui masa lalu orang tuanya. Inara—Bunda Ina –di sebelah Karel ikut tersenyum melihat perubahan ekspresi gadis itu.

Ian kembali melanjutkan ceritanya. “Ya karena sudah saking dekatnya, akhirnya buat janji kalo mereka punya anak, mau dijodohkan. Kebetulan, Teza ini anak laki-laki tunggal, Karel juga putri semata wayang tante Lola.”

Karel sempat melihat Teza waktu tangan Ian menyentuh pundak lelaki itu. Teza bergeming, namun sekilas sempat membalas tatapan Karel. Keduanya otomatis membuang pandangan masing-masing.

“Jadi sebenarnya memang sudah dijodohkan sejak lama sekali, sebelum kalian lahir. Kemudian ketika orang tua Karel meninggal, disampaikanlah surat wasiat kepada tante Maura yang memang saat itu juga kondisi tubuhnya sudah kurang baik karena lama mengidap penyakit diabetes. Surat wasiatnya adalah permintaan untuk melaksanakan perjodohan ini.”

Karel menatap iba Ian yang menunduk mencoba menghapus air matanya sebelum kembali bercerita. Meski banyak yang bilang Karel jauh dari kata dewasa, namun ia juga paham, bagaimana rasanya kehilangan orang yang paling disayangi. Rasa sakit itu membekas dalam ingatan Karel hingga saat ini. Hanya saja, seiring beranjak dewasa, Karel mulai pandai menutupi.

“Sebelum mamanya Teza meninggal, dalam kondisi kritis…,” ucapan Ian terjeda sejenak ketika pria itu mencoba menarik napas, berusaha menghilangkan sumbatan cairan dalam lubang pernapasannya. “Beliau juga berpesan agar wasiat ini dijalankan. Om cuma bisa berharap… kalian juga bisa menerima perjodohan ini dengan ikhlas.”

Tangan Ian kembali menyentuh lengan kekar Teza, “Gimana? Diterima, ya? Bisa ya habis ini kita lanjut tunangan resmi?”

Satu detik. Dua detik. Napas Karel tertahan mendapatkan tembakan pertanyaan dari Ian. Ia melirik Teza yang kini juga balas meliriknya. Otaknya macet, tak bisa berpikir. Meski sehari-hari juga memang jarang digunakan untuk berpikir. Karel seringnya bertindak impulsif sesuai keinginan hatinya.

Karel sudah mengira, Teza—yang jelas-jelas merasa jijik dengan perjodohan ini —pasti akan menolak. Jadi, karel pun berusaha menyiapkan penolakan halus yang sama. Namun entah siapa yang baru saja menumbuk kepala Teza Arkana sehingga ia sepertinya menjawab pertanyaan ayahnya dengan setengah sadar.

“Iya, Pa. Dicoba dulu.”

Karel menoleh cepat. Mulutnya terbuka lebar. Di saat yang bersamaan, Teza mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh melihat reaksi Karel, ia lalu melanjutkan acara makannya seperti orang kelaparan.

“Karel gimana?” tanya Bunda Ina, meneruskan rasa penasaran Ian menanti jawaban Karel.

Karel terdiam sejenak, meski tidak benar-benar berpikir. “Um… yaudah. Mau gimana lagi.”

Entah kenapa otak Teza mendadak mendidih mendengar jawaban Karel. YAUDAH MAU GIMANA LAGI?? HARUSNYA GUE YANG MIKIR BEGITU, BUKAN LU BOKEM!

Ian tersenyum bahagia. Janjinya kepada mendiang istrinya lunas sudah. Kini Ian bisa tidur lebih tenang.

Siang itu, baik pihak Teza maupun pihak Karel sepakat, pertunangan mereka secara resmi akan digelar akhir pekan depan secara privat, hanya mengundang keluarga inti sebagai saksi.

— tbc

--

--

No responses yet