[Ready, Set, Love!] — Pilih yang Mana?

soljaecruise
5 min readOct 20, 2024

--

“WOI JOJO LU JANGAN NGINTIP KARTUNYA KAREL YA!”

Teriakan Mario menggema di seantero ruangan ketika Teza mendorong pintu studio. Matanya menangkap ada tiga sosok manusia duduk di sudut sebelah kiri pintu. Ternyata Karel sudah tiba lebih dulu, tampak asyik bermain uno bersama Mario dan Jojo. Ketiganya duduk di sofa saling berhadapan dengan posisi duduk Karel membelakangi pintu masuk, jadi bocah itu tak menyadari kehadiran Teza. Sebaliknya, Teza juga tak bisa melihat bagaimana ekspresi Karel. Namun ia tebak, Karel pasti sedang menatap teliti satu per satu kartu di tangannya. Terlalu serius memikirkan strategi untuk sebuah permainan santai.

Teza berjalan mendekat. Tapak kakinya mengayun tanpa suara di atas lantai berlapis karpet berbulu. Tanpa aba-aba, Teza memeluk leher Karel dari belakang dan menyandarkan kepalanya di atas kepala gadis itu. Karel terperanjat di posisinya, berusaha mendongak, namun tak bisa.

“Siapa ini?” tanya Karel penasaran. Ia mencium wangi maskulin yang familiar, perpaduan bau sitrus yang lembut seperti aroma musim semi yang cerah. Begitu tangan besar Teza merengkuh kedua tangan Karel yang sedang merentangkan Kartu, Karel tersenyum lebar. Orang yang ditunggunya sudah datang. Teza menjauhkan kepalanya dari Karel agar bisa melihat wajah tunangannya dengan lebih jelas.

“Masih bisa nanya siapa, “ Teza tertawa sinis. “Kalo ada yang berani meluk-meluk lo kayak begini selain gue, kasih tau. Biar rasain sendiri apa akibatnya.” Teza menempatkan kembali kepalanya ke posisi semula, mendapati wajah Mario dan Jojo menatapnya mengernyit — jijik. Teza tak peduli. Kalau hanya sekadar menerima ejekan, Teza tak keberatan memamerkan kemesaraan dengan Karel di depan teman-temannya. Tak berhenti membuat Mario ‘eneg’, Teza kemudian dengan terang-terangan membantu Karel melanjutkan permainan.

“WOI TEZA LU JANGAN CURANG YA NGINTIP-NGINTIP KARTU JOJO!” Omel Mario ketika Teza terus-terusan mencuri kesempatan melirik ke sebelah kanannya. Posisinya yang jauh lebih tinggi membuat Teza dapat dengan mudah melancarkan aksi. Saat Jojo lengah, di situlah kesempatan Teza melihat tiga kartu yang tersisa di tangan Jojo.

Karel cekikikan. Langkahnya menjadi juara terbuka lebar berkat bantuan Teza. Ketika kartu di tangan Karel habis, Mario melempar seluruh kartu di tangannya, menyerah. Permainan tidak lagi seru sejak Teza datang. Belum lagi selebrasi kemenangan ‘menggelikan’ yang ditunjukkan Teza dan Karel. Teza menangkup kedua tangan Karel dan membuat gerakan tepuk tangan heboh sambil menempelkan pipinya pada pipi gadis itu. Rapat, tidak berjarak, seperti direkatkan dengan lem berkekuatan super. Keduanya tersenyum lebar, memamerkan lesung pipit dalam di pipi kanan masing-masing. Mario rasanya benar-benar mau muntah sekarang.

“Oke, waktu main-mainnya habis.”

Teza menarik tubuh Karel bangkit berdiri, mengajaknya masuk ke ruang latihan sambil bergandengan tangan. Sebelum mereka menutup pintu, Karel masih sempat mendengar Mario berteriak, “WOI JANGAN BIKIN MAKSIAT LO YA.”

“Maksiat itu apa sih?” tanya Karel langsung selagi mengekori Teza yang telah lebih dulu duduk di atas piano digital, sibuk mengatur setelan suara. Teza berdecak melihat lapisan debu tipis di atas tuts. Orang terakhir yang menggunakannya pasti lupa menutup piano dengan benar dan Teza benci merasakan butiran-butiran halus itu mengotori jemarinya.

Ia sigap meraih kain lap pembersih yang tergeletak di atas meja sambil menjawab pertanyaan Karel dengan asal.

“Sejenis ikan sarden.” Teza tak mengindahkan kerutan bingung di wajah Karel, malah langsung mengajak Karel fokus latihan setelah yakin tidak ada butiran debu tersisa. “Terakhir kita latihan kayaknya lo ada bagian nada tinggi yang kurang nyaman, kalau di-improve aja gimana?”

Karel mengangguk setuju. Keduanya mulai melakukan pemanasan sebelum berlatih lagu utama, menyanyikan bagian masing-masing sebagaimana kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Teza sangat tahu kalau Karel adalah seorang penyanyi berbakat. Setiap mendengar Karel bernyanyi — memberikan vibra yang pas dengan sentuhan improvisasi unik, Teza merasa tersihir. Dan betapa beruntungnya ia, bisa mendengarkan nyanyian itu sesering yang Teza inginkan tanpa harus menunggu penampilan Karel di atas panggung.

Sudut bibir Teza tertarik lebar begitu lagu berakhir ditutup dengan tepuk tangan Karel. “Good job,” pujinya tulus.

Karel kembali duduk di kursi, tepat di sebelah Teza. Kedua tangannya terentang rapat ke bawah, menekan kursi bagian depan sehingga posisi tubuh Karel membungkuk. Senyumnya tak kalah lebar dari senyum milik Teza.

“Gue suka banget pas lo ngambil nada rendah, Kak. Suara bass lo… dalem banget,” ujar Karel dengan binar mata memancar, membuat hati Teza berbunga-bunga. Jarang-jarang ia mendengar Karel memujinya dengan sungguh-sungguh, seperti melihat Komet Halley dari muka bumi setiap 76 tahun sekali.

Teza berdeham, mencoba mengembalikan irama jantungnya agar kembali normal. Semoga Mario nggak tiba-tiba menerobos masuk seperti kali terakhir, karena Teza masih mau menikmati waktu berdua dengan Karel yang jarang bisa terjadi belakangan ini sejak keduanya makin sibuk.

“Bokem,” panggil Teza, membuyarkan kesibukan Karel menekan-nekan tuts piano asal. “Hm…?”

Teza menelan ludah, menimbang-nimbang apakah idenya akan terlalu gila untuk diungkapkan sambil menakar reaksi apa yang akan diberikan Karel. Syukur-syukur wajah tampannya selamat dari lemparan lap bekas membersihkan piano.

“Lo pilih mana? Dipingit… atau dikawinin…?”

Wajah Karel mendadak mengerut. Bibirnya manyun. Bola matanya bergerak-gerak gelisah seolah sedang memikirkan perkara seserius mengentaskan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Padahal, boro-boro, arti perbuatan maksiat pun bocah itu tak paham.

“Gitu aja lama banget mikirnya,” sergah Teza tak sabar, karena jelas ia tidak akan memilih opsi dipingit. Tetapi memilih menikah di usia semuda ini juga bukan pilihan yang bijak.

Terakhir, sebelum memberikan jawaban, Teza melihat Karel menghitung dengan buku-buku jarinya sendiri, seperti menentukan jawaban melalui undian.

“Dipingit aja deh,” balas Karel, akhirnya.

“KENAPA??” Teza seketika berseru, tak terima. Tubuhnya hampir melompat berdiri dari kursi, hendak mengguncangkan tubuh Karel seakan hal itu akan memberi gadis itu kesadaran bahwa pilihannya itu tidak tepat.

“Emang kakak mau kawin?” tanya Karel polos. Ia tak lagi menaruh perhatiannya pada Teza, malah keasyikan memutar-mutar tubuhnya sendiri di atas kursi seperti gasing.

Teza menggeram gemas. Dengan tetes nadir kesabaran terakhir, tangan Teza mencengekeram ujung kursi Karel. Tubuh Karel nyaris terhuyung ke belakang ketika kursi berhenti berputar mendadak. Kepalanya sedikit pusing.

“Karel, coba serius dulu sebentar. Ini penting,” tegur Teza. Mata Karel mengerjap-ngerjap, berusaha memfokuskan pandangannya kembali pada Teza.

“Ya… kan masih bisa chat, telepon, video call?”

“Nggak bisa. Bisa pingsan gue,” gumam Teza lebih kepada dirinya sendiri. Ia mencoba memikirkan solusi lain selain pilihan yang diatawarkan Ian.

Go public aja, gimana?”

Karel menggeleng. “Nggak mau. Itu sama aja milih mati muda.”

“Kenapa??” Teza terheran-heran melihat sikap resistensi Karel dengan melipat tangannya di depan dada. Kepalanya mendongak dengan mata terpejam, yakin dengan apa yang gadis itu yakini.

“Udah gue bilang, fans lo itu titisan tarzan kota, Kak.”

“Terus gimana…?” pekik Teza.

Perdebatan terus berlangsung alot, dengan Karel yang tak bisa diajak serius berpikir, sementara Teza nyaris frustrasi dibuatnya, dan berakhir… Teza harus menelan rasa mangkelnya sendiri melihat Karel langsung kabur keluar ruang latihan saat Samuel mengumumkan makan siang mereka sudah datang.

tbc.

--

--

No responses yet