[Ready, Set, Love!] — Pipaw Mimaw
Karel benci pergi ke kampus hari ini. Ia tidak mau meninggalkan Teza sendirian di apartemen, terlebih setelah mengetahui suhu tubuh suaminya sedikit lebih tinggi tadi pagi. Mungkin kelelahan karena kemarin mereka baru pulang pada tengah malam, setelah menghadiri undangan pesta ulang tahun teman kuliah Karel, Gaby, yang dari namanya saja sudah bikin Teza senewen. Tahu kalau itulah nama gadis yang diceritakan Karel pernah melakukan adegan tidak senonoh di pesta Halloween temannya tahun lalu. Jelas Teza tidak akan membiarkan Karel datang sendiri ke sana hanya untuk mengobrol dengan sembarang orang, memainkan truth or dare tanpa pengawasan, apalagi menari sendiri tanpa pasangan. Setelah menjadi bodyguard istrinya semalam, alhasil tubuh Teza pagi ini sedikit demam.
Karel nyaris saja memutuskan untuk bolos, tetapi Teza memaksanya pergi untuk latihan resital. Ia tidak ingin Karel melewatkan waktu-waktu penting karena dirinya. Toh, setelah makan siang, seharusnya Karel sudah kembali. Dan benar saja, waktu Karel sampai di apartemen, ia menemukan Teza sedang tertidur tenang di kamar. Karel berjingkat menuju kasur, mencoba memeriksa suhu tubuh Teza. Untungnya, tadi pagi Karel sempat memberikan obat penurun demam setelah memaksa Teza sarapan sedikit roti panggang yang ia siapkan. Karel menarik napas lega merasakan suhu tubuh Teza sepertinya sudah kembali normal, sama seperti suhu tubuhnya. Karel mendaratkan kecupan singkat di pipi Teza sebelum beranjak mengganti pakaiannya dengan kaus rumahan. Ia lalu beranjak ke dapur, menyiapkan makan siang untuk suaminya yang datang sedikit terlambat.
Setelah menyiapkan ayam goreng cepat saji yang sempat dibelinya di jalan pulang dari kampus tadi, Karel kembali ke kamar. Dilihatnya Teza masih dalam posisi yang sama saat ia tinggalkan ke dapur lima belas menit lalu. Karel berkacak pinggang di ujung bagian bawah kasur. Ragu ingin membangunkan Teza, tetapi perut suaminya tetap harus diisi agar lekas pulih.
Karel akhirnya mengambil langkah. Ia merayap ke balik selimut yang dikenakan Teza, mulai dari bagian kakinya, lalu diam-diam menyelinap masuk ke balik sweater pria itu. Karel memaksakan kepalanya keluar dari bagian kerahnya yang lentur, meskipun akhirnya menyebabkan bagian pakaian suaminya tersebut jadi melar. Perlahan Teza menggeliat, merasakan ada sesuatu di balik pakaiannya. Ketika matanya pelan-pelan mengerjap, pemandangan yang didapatinya adalah kepala Karel yang berada persis di bawah dagungnya sedang menengadah dengan pandangan berbinar.
“Kayang….” Di balik sweater, tangan Karel memeluk tubuh Teza erat. Kakinya juga melingkari pinggang pria tersebut seperti bayi koala yang mendekap induknya.
Teza terkekeh pelan dengan bibir pucat. “Kamu ngapain, Bokemku…?”
Karel cengengesan. Sudah lama Karel tidak mendengar panggilan tersebut dari Teza. Rasanya seperti kembali ke momen pertemuan mereka, di mana Karel tidak pernah menyangka, hubungannya akan berkembang sampai ke titik ini. Kepala Karel masuk ke ceruk leher Teza dan menghirup aroma tubuh suaminya dalam-dalam.
“Mau ngajak makan, tapi Kayang bobonya pules banget….”
“Kamu pulang dari jam berapa? Kok aku nggak tau?” Suara Teza sedikit serak.
“Baru aja setengah jam lalu.” Karel merapatkan tubuhnya kembali pada tubuh Teza. Tiba-tiba perasaannya kembali murung. “Kayang kan sakit, berarti nggak boleh pulang….”
Teza mengecup kening Karel sebelum memeluk gadis itu erat. Tadi sebelum tidur kepalanya sudah pening memikirkan dua hari lagi ia harus kembali ke Jakarta. Kebetulan, Karel mengangkat topik itu lagi. Teza jadi kembali teringat dengan keresahannya beberapa jam lalu. Tangan Teza bergerak mengelus kepala Karel. Sebenarnya, lebih seperti menenangkan dirinya sendiri yang sedih harus meninggalkan istrinya lagi.
“Nggak bisa, Sayang. Aku udah harus mulai kerja… Nanti aku ke sini lagi, ya?”
Karel menggeleng, tapi tak bersuara, malah makin mengencangkan kaitannya pada tubuh Teza. Ia merasakan tubuh Teza bergerak menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Sebenarnya, Karel bisa saja ikut pulang bersama Teza. Toh, Jury Day — hari pertunjukan untuk ujian akhir semesternya — sudah selesai pekan lalu, dua hari sebelum ulang tahun Karel. Karel sudah resmi memasuki masa liburnya. Satu-satunya yang menahan Karel adalah keikutsertaannya pada resital semester ini — yang konon bakal ditonton oleh para alumni kondang. Memikirkan alasan tersebut, Karel jadi bimbang. Latihan resitalnya sudah sejauh ini, mana mungkin ia tiba-tiba mengundurkan diri? Profesor Ellijah pasti bakal kecewa berat dan mempertimbangkan kembali keikutsertaan Karel pada proyek-proyek resital berikutnya.
“Ayo, makan,” ajak Teza, “biar hari ini fit lagi, besok kita kencan seharian penuh sebelum jemput Bunda Ina di bandara.”
Karel aslinya sudah mau menangis. Bukannya tak senang dengan kedatangan Inara, tetapi kalau manajernya sudah kembali, artinya kepulangan Teza memang sudah di depan mata. Berbeda dengan Teza yang nampaknya sudah bisa menerima bahwa ia harus pulang sendiri tanpa membawa sang istri, sekarang Karel justru yang dilanda kegalauan hebat. Tidak seperti kemarin-kemarin, ketika ia masih semangat-semangatnya mengikuti latihan resital, hari ini Karel hanya ingin latihan cepat selesai dan cepat kembali ke pelukan suaminya. Kalau bisa, Karel mau diam saja dalam posisi seperti ini sampai besok. Tapi ia tahu, Teza perlu makan. Perutnya sudah keroncongan.
Teza terkekeh malu. Dengan tenaga yang sudah berangsur pulih, ia mengangkat tubuh Karel dengan kedua tangan, menggendong istrinya keluar kamar seperti membopong bayi, masih dengan posisi Karel yang menyelip di balik baju Teza. Sepanjang hari itu, keduanya sepakat untuk beristirahat saja karena untuk besok, Karel sudah menyiapkan daftar tempat kencan yang akan mereka kunjungi sebelum Bunda Ina mendarat di bandara pada pukul sebelas malam.
Waktu Karel bilang dia mau piknik, Teza sudah bisa menebak kalau ia akan diajak ke Central Park. Sepanjang waktu berada di New York, Teza sejujurnya malah belum sempat mampir ke sini. Padahal Ian berpesan berkali-kali, jangan lupa foto di Central Park. Konon, itu adalah tempat syuting salah satu film Bollywood favorit ayahnya, Kal Ho Na Ho, yang pernah populer pada tahun 2003.
Teza cuma menganggut-anggut saja waktu itu, karena jujur, pikirannya sudah terbang ke New York lebih dulu meninggalkan raganya yang masih sibuk mengepak baju ke koper. Ia tidak sabar menantikan pertemuannya dengan Karel yang sempat tertunda selama nyaris dua tahun. Waktu itu juga, Teza kalang kabut. Bagaimana seandainya Karel menolak bertemu dengannya?
Beruntung sejak hari pertama Teza datang pun sambutan Karel sangat jauh dari penolakan. Mereka bahkan hampir…
“Kayang sini!”
Lamunan Teza tentang hari pertamanya datang ke New York buyar. Rasanya baru kemarin, tapi siapa sangka besok malah dia sudah harus balik lagi ke tanah air? Teza mengembuskan napas — entah keberapa kali, lalu menyusul Karel. Istrinya bertepuk tangan kegirangan melihat langit cerah di atas Sheep Meadow. Orang-orang menggelar tikar di atas rumut dengan gembira, menikmati sinar matahari yang tak terlalu menyengat. Udaranya cukup nyaman dengan semilir angin yang berembus lirih.
Pandangan Teza sempat tertaut pada istrinya seorang yang hari ini tampak jutaan kali lebih bersinar dan mempesona dalam balutan gaun kuning pendek tanpa lengan bermotif bunga aster putih. Karel memutar-mutar tubuh sambil merentangkan tangan, menikmati pancuran cahaya matahari yang membuat tubuhnya tampak berkilau seperti peri. Teza mendekat, memeluk Karel dari belakang sambil ikut memutar-mutar tubuh Karel sampai gadis itu berseru dan tertawa heboh.
Setelah itu, Karel membantu Teza menggelar tikar kotak-kotak biru-kuning mereka. Keduanya memilih tempat yang sedikit teduh, di bawah pohon crabapple yang sedang mekar-mekarnya. Ia langsung menyusul Teza yang sudah duduk lebih dulu sambil meluruskan kaki, menikmati pemandangan gedung-gedung tinggi di Midtown Manhattan. Karel dengan santainya merebahkan kepalanya di atas paha sang suami dan berbaring menghadap pria itu. Tangannya meraih sepotong pastry yang sempat mereka beli di salah satu toko kue dan mencuilnya kecil-kecil sambil memasukannya bergantian ke mulut Teza dan mulutnya sendiri. Teza tersenyum setiap kali Karel menyuapkan potongan besar roti ke mulutnya.
“Kamu yang harusnya makan lebih banyak. Badan kamu kecil gitu, nanti aku dikira nikah sama anak SMP,” ledek Teza.
Karel hanya terkekeh. “Ya emang bukan anak SMP, tapi anak baru lulus SMA,” kenangnya pada hari pernikahan mereka. Melihat betapa mesranya mereka sekarang, hari itu tak lagi terasa begitu suram buat Karel. Dia mensyukuri pilihannya tetap datang, meski harus melewati masa sulit setelahnya.
Tangan Teza bergerak mengelus kepala Karel. Matanya memandang jauh, kepada orang-orang yang merayakan hari indah dengan obrolan seru dan senda gurau. Mata Teza terpaku pada beberapa orang tua yang tengah menuntun bayi mereka berjalan di atas rumput. Kaki-kaki mungil itu melangkah ringan disertai tawa riang. Teza tak pernah tertarik dengan anak kecil sebelumnya, tapi kali ini ia betah melihat seorang bocah lelaki berusia sekitar dua tahun berlarian, membuat jengah orang tuanya. Sang ibu berkacak pinggang, tak sanggup mengejar sang bocah yang kini berlari serabutan dan berakhir tersungkur menabrak tubuh Teza. Karel pun ikutan terkejut, sampai-sampai ia bangkit terduduk. Kepalanya secepat kilat mendapati pemandangan Teza tengah menggendong si bocah yang kini menepuk-nepuk pipi suaminya dengan semangat.
“Daddy! Daddy!” pekiknya.
Kelopak mata Teza melebar seketika. Wajahnya bersemu, malu.
Karel sendiri malah ikutan terkikik sambil merebut salah satu lengan Teza. “Ini bukan Papa kamu, ini suami aku. Calon Pipaw anak-anak aku,” ucapnya posesif dan tak mau kalah.
Kening Teza otomatis mengernyit mendengar perkataan sang istri. “Pipaw apa, Sayang?”
“Panggilan anak-anak kita nanti, buat kamu.” Karel tak memberikan kesempatan lagi kepada Teza untuk melanjutkan pertanyaan. Ia malah bangkit berdiri, menggendong bayi itu, dan mengembalikan kepada orang tuanya.
Jujur saja, selama menikah dengan Karel, sama sekali tak terbersit di kepala Teza bayangan bagaimana seandainya ia dan Karel memiliki keluarga kecil. Buatnya, Karel saja sudah cukup. Dan lagi, istrinya masih sangat muda, karirnya masih panjang. Namun setelah kejadian barusan, rasanya baru kali ini Teza merasa… ide untuk menjadi Papa-Mama muda tidak buruk juga.
Teza mengerjapkan mata seraya menggeleng, berusaha menghapus bayangan Karel yang sedang menggendong bayi mereka sambil membacakan komik Shin-chan saat Teza baru saja pulang syuting. Teza menertawakan pikirannya sendiri. Anak sekecil itu… masa punya bayi?
Begitu Karel kembali, ia langsung duduk di pangkuan suaminya sambil memeluk Teza.
“Kayang nggak boleh ada yang rebut. Punya aku, Mimaw, sama punya anak-anak.”
Teza tertegun dan menelan ludah berat. Perasaannya mendadak sehangat sinar matahari pagi ini. Begitu Karel mengeratkan dekapannya, bayangan bocah kecil yang sering bikin masalah sedang berkejaran dengan Karel — ibunya — mendadak kembali berkelebat kembali di kepala Teza. Kali ini, ia tidak mengelak, hanya tersenyum seraya mengusap-usap punggung Karel sambil menganggut-anggut.
“Punya Mimaw, dan anak-anak.”
Setelah mendayung sampan di The Lake, sambil mendengarkan Karel berceloteh tentang asal-usul panggilan Pipaw dan Mimaw — yang ternyata diserap dari panggilan sayang Teza kepadanya “Kyutipaw”, lalu berfoto bersama di Bethesda Fountain sesuai permintaan Ian, menyambangi Brooklyn Bridge — bermain ala turis demi mendapatkan banyak foto untuk oleh-oleh sang ayah mertua, menjelang petang, Karel dan Teza kembali ke Manhattan.
Keduanya berjalan hati-hati membelah lautan manusia di salah satu area paling padat di New York. Teza berjalan di belakang Karel, sementara kedua tangannya berpegangan erat pada pundak sang istri, seperti sedang bermain ular naga. Saking ramainya malam itu, niat Teza dan Karel untuk menonton teater Harry Potter di Broadway batal. Tidak sanggup dengan keramaian yang menyesakkan. Keduanya bahkan tertahan tepat di depan TSX Entertainment, titik pusat keramaian malam itu.
Pantas saja riuh sekali. Ternyata orang-orang datang menantikan penampilan beberapa band dan penyanyi terkenal yang akan memeriahkan Times Square malam ini. Teza dan Karel akhirnya pasrah terjebak di sana. Keduanya berdiri berhimpitan dengan tubuh Teza memeluk tubuh Karel sepenuhnya, melindunginya dari desakan manusia di sekitar mereka.
Ketika asap mulai mengepul, tanda pertunjukkan hendak dimulai, Karel membalik tubuhnya. Alih-alih menonton The Weekend yang tengah memutar intro lagu In Your Eyes, Karel justru menatapi Teza. Suaminya menunduk, melihat Karel menatapnya dengan pandangan yang sulit Teza artikan — memuja? Kagum? Terkesima?
Teza tersenyum lebar melihat Karel. “Kenapa malah nontonin aku?” tanyanya bingung.
Karel balas tersenyum sama manisnya. Ia meminta Teza menunduk, agar ia bisa berbisik.
“Aku tau susah banget buat tampil di sana. Tapi semoga suatu hari, aku bisa liat Kayang — The Phantom atau aku sendiri tampil di atas panggung itu. Atau minimal… muka kita bisa mejeng di Times Square.”
Teza terkekeh pelan, tapi ikutan mengamini harapan Karel. Dengan mimpi setinggi itu, Teza tahu panggilan Mimaw dan Pipaw masih sangat jauh bagi mereka. Namun, Teza tidak keberatan. Dia siap mendukung apapun impian Karel.
Teza membalikkan tubuh Karel kembali, menikmati penampilan para penyanyi di depan mereka sambil ikut melantunkan lagu seperti penonton-penonton lain. Keduanya tenggelam dalam mimpi di tengah sorak-sorai ramai riuh di sekitarnya, sambil bertanya-tanya…
Akankah kesempatan itu datang suatu hari…?
Namun segala pertanyaan itu harus disimpan rapat-rapat, hanya menjadi pemantik semangat dari ambisi yang menggebu-gebu sesaat.
Keinginan Teza sesungguhnya tak muluk-muluk. Ia hanya ingin hidup bahagia bersama Karel, mendukung apapun yang perempuan itu ingin lakukan, menjadi penggemar nomor satunya, dan yang paling penting… mendapat restu dari penggemar kedua belah pihak, serta dijauhkan dari omongan jelek para warganet ketika mereka akhirnya mengumumkan pernikahan ke depan publik.
Teza dan Karel bertepuk tangan ketika Penyanyi kelima malam itu selesai tampil. Teza melirik jam di pergelangan tangannya sebelum menarik tubuh Karel menjauhi keramaian.
“Ayo, kita jemput Bunda Ina.”
Mendengar perkataan Teza, Karel langsung tertarik kembali pada kenyataan bahwa kurang dari 24 jam lagi, ia harus rela gantian mengantarkan Teza pergi ke bandara.
— tbc.