[Ready, Set, Love!] — Princess Aubrey

soljaecruise
4 min readOct 1, 2024

--

Karel memutar kenop pintu kamar mandi dengan satu tangan, tangan lainnya mendrong tiang infus. Sudah karel bilang kepada dokter pribadinya — yang kebetulan adalah adik bungsu dari ayah Karel — bahwa ia tidak suka diinfus. Namun tidak suka bukan berarti Karel memiliki kuasa untuk menentang apa kata pamannya. Karel hanya bisa pasrah waktu pamannya bilang tubuh Karel dehindrasi karena kelelahan.

Semalam, pukul sepuluh, Karel jatuh pingsan ketika mencari cincin tunangannya. Mulai pukul tiga sore sampai dengan jam operasional kafe berakhir, pukul sepuluh malam, baik Karel maupun Inara — dibantu beberapa pegawai kafe — nyaris tidak beristirahat mencari sang “cincin mawar biru” — sebutan Karel.

Karel takut. Ia tak berani bilang kepada Teza tentang kenyataan kalau cincin warisan keluarga Arkana hilang. Teza pasti bakal murka berat. Membayangkannya saja Karel tak berani. Maka kemarin, setelah memohon-mohon bantuan kepada Bunda Ina, Karel berusaha keras mencari. Sayang sekali, cincin itu tetap tidak ketemu. Malah Karel jatuh pingsan!

Seakan nasibnya masih bisa lebih buruk lagi, ketika Karel keluar dari kamar mandi, betapa terkejutnya ia mendapati sosok tinggi dan besar Teza tiba-tiba muncul, mendominasi kamarnya. Pria itu berdiri tepat di sebelah kasur Karel, sedang melihat-lihat album foto yang terbuka di atas sana. Karena terlalu bosan tadi, sebelum terinterupsi oleh rasa mual di perutnya, Karel sempat melihat-lihat album foto lamanya. Album itu berisi kenangan masa kecil Karel bersama orang tuanya.

Teza menoleh waktu Karel menutup pintu kamar mandi. “Gimana kondisi lo, Princess Aubrey?” Karel benci nada ejekan dalam suara Teza. Tidak ada yang boleh memanggilnya seperti itu selain ayahnya! Dengan langkah sedikit terseok-seok mendorong tiang infus, Karel mendekati Teza. Tangannya menutup album foto dengan keras dan menyembunyikannya ke dalam laci kecil di sebelah tempat tidur.

“Jangan manggil gue pake nama itu.”

“Kenapa?” Teza memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana denim biru yang ia kenakan. Pandangannya jatuh pada leher Karel yang polos. Benar seperti kabar yang diterima Teza, kalung dan cincin itu tidak ada. Teza berusaha menahan rasa kesal dalam dirinya sendiri.

“Cuma bokap gue yang boleh manggil gue pake nama itu.” Karel duduk di kasur sebelum kembali menengadah menatap wajah Teza yang tampak sangat jauh dengan posisi mereka sekarang.

Sebelum Karel mempersilakan, Teza dengan lancang duduk di sebelah Karel. Pria itu memosisikan diri tepat di atas wajah Shinchan yang tercetak di atas seprai merah jambu.

“Lo mau jujur sesuatu gak sama gue?”

Jantung Karel mulai berdegup cepat. “Apa?” Karel pura-pura polos.

Teza menatap Karel lurus-lurus, mencoba sedikit bersabar. “Pengakuan dosa.”

Karel pura-pura berpikir. “Hm… gue belum BAB seharian karena makan gue sedikit?”

Teza mengembuskan napas keras. Tangannya meremas seprai di kasur sehingga bagian tubuh Shinchan di atasnya tampak kusut.

“Yang lain?”

Karel berusaha berpikir keras lagi. Kali ini agar lebih meyakinkan, Karel juga menyipitkan pandangannya, menatap pintu kamarnya sebelum kembali menatap Teza. Tangannya kemudian menunjuk sofa tepat di sebrang kasur.

“Hari ini Tedi terusir tidur di sofa karena takut ketularan sakit?”

Teza memutar tubuhnya ke belakang, melihat boneka beruang coklat yang belakangan ini sering mondar-mandir dalam layar ponselnya teronggok di sana. Posisinya terbaring di atas sofa, seakan Karel benar-benar sengaja menidurkan Tedi di sana. Teza memutar tubuhnya kembali melihat Karel dengan tatapan malas. Rasa sabarnya sudah hampir habis.

“Lo masih mau bercanda? Gue nggak minat.” Nada usara Teza terdengar dingin. Bulu kuduk Karel mendadak meremang mendengarnya. Tubuhnya tegang, namun Karel tetap berusaha melanjutkan aktingnya. Ia sengaja menyandarkan tubuh pada dipan kasur.

“Kenapa sih, Kaakk…? Gue udah lemes gini abis bolak-balik ke kamar mandi enam kali, lo masih bisa marah-marah. Gak penting banget sumpah.”

Mendadak wajah Teza berubah murka. Ia jelas tahu Karel sedang pura-pura. Bukannya mengakui kesalahannya, bocah itu masih bisa bermain-main dengan kesabaran Teza yang hanya setipis tisu.

“Jadi menurut lo, cincin tunangan kita, warisan keluarga gue, nggak penting? Makanya hilang juga lo nggak peduli?”

Karel terdiam. Sandiwaranya sudah terbongkar, jadi tak penting lagi ia berpura-pura sekarang. Teza sepertinya sudah mengetahui aib besar yang Karel simpan sejak dua hari lalu. Memang benar kata pepatah, sepandai apapun bangkai disembunyikan, baunya pasti tercium juga. Dan lagi, Karel lupa, dia ini masih aktris pendatang baru. Aktingnya tadi pasti sangat tidak natural di mata Teza yang jauh lebih berpengalaman.

“Kenapa? Mau bilang omongan gue yang barusan nggak penting juga? Gue tau lo masih muda, tapi umur 18 tahun itu sewajarnya orang udah harus mulai bisa belajar megang tanggung jawab.”

“Gue kan nggak ngilangin itu dengan sengaja,” bela Karel, mulai tidak suka dengan kata-kata Teza yang memojokannya.

“Ya tapi lo nggak bilang ke gue, kan? Cincin itu punya keluarga gue. Punya almarhumah nyokap gue. Lo tuh harusnya sadar kalo itu dititipin ke lo!”

Karel menelan ludah berat mendengar ucapan Teza. Setiap kalimat yang dilemparkan pria itu terasa tajam, seperti duri yang bertubi-tubi menusuk tubuh Karel. Melihat wajah Teza yang merah padam, bibir Karel bergetar karena amarah. Jahat. Hanya itu kata yang bisa menggambarkan sosok Teza saat ini bagi Karel.

“Kak, gue emang salah. Tapi lo liat…,” Karel menunjuk tiang infusan yang berdiri persis di sebelahnya. “Liat tiang infusan sialan ini. Gue nggak bakal begini kalo bukan karena nyariin cincin itu.” Karel menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Matanya meski terasa panas, tetap menatap Teza berani.

“Pertunangan kita emang nggak penting, tapi gue tau betapa pentingnya cincin itu buat keluarga lo. Sori, kalo lo ngerasa NITIPIN cincin itu ke orang yang salah. Kata-kata lo tadi keterlaluan.”

Keduanya masih beradu pandang sebelum akhirnya Karel mengatakan kalimat telaknya. “Sori, gue udah nggak mood. Lo boleh pulang.”

Karel menunjuk pintu di belakang Teza dengan dagunya, menunjukkan gestur pengusiran yang jelas — sama seperti yang Teza lakukan kepadanya di hari pertunangan mereka. Karel tak peduli setelahnya Teza masih memberikan tatapan tajam kepada perempuan itu. Ia bisa melihat dada Teza naik-turun, jelas sama emosinya dengan Karel.

Tak lama, sosok Teza bangkit dari kasur, melesat cepat keluar dari kamar, menyisakan ruang hampa yang menyesaki dada Karel. Malam itu, Karel — setelah sekian lama — kembali tertidur sambil menangis.

tbc.

--

--

No responses yet