[Ready, Set, Love!] — Rencana Tunangan Tora
Can we just sit down, have a little conversation?
Yeah, I wanna talk it out ’cause I’m all up in my feelings
Teza terperangah kala melangkahkan kaki ke dalam kafe Tora. Topi yang ia kenakan ia lepaskan seketika, begitu juga dengan maskernya. Namun, tidak ada pengunjung kafe yang meliriknya. Semua mata fokus ke panggung, tertuju pada perempuan cantik berbalut sweater abu-abu dengan rambut tergerai sepunggung, sedang menghayati lantunan suara merdunya sendiri. Sudut-sudut bibir Teza tertarik, ingatannya seketika melayang pada momen indah di masa lampau, momen ketika ia dan Karel untuk kali pertama menyanyi berdua di muka umum. Hari itu masih terasa berkesan, bahkan sekarang pun Teza masih bisa merasakan debaran jantungnya sendiri saat dunia seakan menghilang dan tidak ada hal lain yang bisa ia ingat selain Karel.
Teza seketika berjalan cepat menuju panggung, meningterupsi penampilan Karel yang baru berlangsung sekitar dua menit. Musik berhenti mengalun sesaat Teza berdiri tepat di sebelah istrinya, memaksa Karel terlempar kembali ke realita setelah sempat terhanyut dalam kenangannya sendiri saat membawakan lagu yang sama bersama sang tunangan — kala itu. Karel termenung saat menemukan sosok dalam bayangannya berdiri, menyorot gadis itu lurus-lurus sambil tersenyum lebar. Tangan Teza terjulur, seperti meminta Karel berdiri.
“Kay — ” Sebelum melanjutkan kata-katanya, Karel sontak menoleh kepada para pengunjung. Sebagian besar dari mereka terkesiap melihat sosok Teza mendominasi panggung.
“Kak Teza kenapa di sini?”
Teza tidak menjawab, malah berdiri di depan standing mic di sebelah Karel dan melanjutkan lagu yang sempat terhenti. Ia memberikan kode dengan jentikan tangan agar para pemain musik di belakang mereka kembali mengalunkan irama lagu.
Staring at the clock, how’d I get so damn impatient?
I know you just left, but I’m missing you like crazy
I usually don’t get this far, always cut ’em off before
My heart gets in too deep, I’ma let you in too deep
Now tell me, how’s that for a little motivation?
Teza melirik Karel, mengisyaratkan gadis itu untuk mengambil bagian lagu selanjutnya. Begitu mengerti bahwa Teza ingin mereka menyanyikan kembali lagu tersebut berdua, mala mini, di depan para pengunjung kafe Tora, Karel tersenyum. Ia ikut berdiri di sebelah Teza dan mengacungkan mikrofon ke depan bibirnnya. Suara keduanya melebur menjadi nyanyian indah, mengantarkan rasa hangat dan kebahagiaan kepada para pendengarnya. Kali ini mereka tak perlu sembunyi-sembunyi lagi melemparkan tatapan saling kagum dan jatuh cinta. Semua orang tahu, hanya dengan sekali pandang saja, aura kasmaran terpancar kuat dari sang muda-mudi yang hanyut dalam senandung cinta mereka sendiri.
Di penghujung penampilan duet Karel dan Teza pun, Dion sempat berkomentar kepada Tora. “Adik kecil kita udah gede ya, Bang?” katanya.
Tora — masih terkesima dengan penampilan di panggung — mengangguk. “Nggak nyangka dia beneran jatuh cinta sama Teza. Gue kira Teza bukan tipenya.”
“Bukan tipenya gimana,” sela Dion. “Jelas-jelas bocah kayak Karel ini butuh pawing yang galak.”
Tora tak menanggapi lagi, hanya menggeleng-geleng seraya tertawa dan melanjutkan kesibukannya makan kacang kulit.
Usai mengkahiri penampilan duet dengan spektakuler — bergandengan di depan panggung — Karel dan Teza menghampiri meja Tora dan Dion yang letaknya sedikit tersembunyi di sudut kafe. Keduanya tak lagi sungkan memamerkan kemesraan. Sambil duduk di hadapan Tora dan Dion, Teza tetap menggandeng tangan Karel sementara perempuan itu sendiri duduk di sebelahnya sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Teza.
“Sering-sering lah kalian nyanyi di sini biar kafe gue rame terus,” ujar Tora sambil menaik-naikkan kedua alis menatap Karel dan Teza bergantian.
“Kalo nggak, kalian nyanyi bareng aja pas acara tunangan Tora!” Dion menimpali.
Karel dan Teza sendiri saling pandang, mempertimbangkan usulan Dion.
“Kayang bisa dateng?”
“Diusahain,” jawab Teza, membuat raut gembira di wajah Karel semakin menjadi-jadi. Karel memeluk lengan Teza semakin erat, lalu kembali melemparkan tatapan kepada Dion dan Tora yang kini balas menatapnya prihatin. Sebucin ini… pasti udah nggak polos lagi, batin Dion.
Pria itu kemudian menepuk-nepuk lengan Teza dengan rasa kagum.
“Ini baru, sepupu ipar terbaik. Mau meluangkan waktu di sela-sela kesibukan.”
Melihat tangan Dion menyentuh lengan Teza di atas meja, Karel buru-buru menepisnya dengan galak. Teza sendiri sampai terperangan heran dengan gerakan refleks sang istri.
“Jangan megang-megang Kayang Husbando aku sembarangan, ya. Dia ini artis papan atas. Kalau luka gimana?”
Dion spontan mencibir balik tindakan impulsive Karel yang dirasanya berlebihan.
“Yee… lebay banget bocil!”
Teza terkekeh melihat pertengakaran kecil antara Karel dan Dion yang sebenarnya sudah luayan sering ia lihat. Namun baru kali ini dialah yang menjadi penyebabnya.
“Gue usahain datang ke acara tunangan lo, Bang. Biar Karel juga nggak datang sendirian,” ucap Teza kepada Tora, sekaligus menengahi pertikaian antara istrinya dengan Dion. Karel kembali gelayutan manja di lengan suaminya setelah mendengar ucapan Teza.
“Hehehe… Kayang terbaik….”
Dion nyaris muntah melihat tingkah Karel. Ia langsung meraih segenggang smapah kulit kacang bekas Tora dan melemparnya kepada adik sepupunya tersebut.
“Dasar bucin!”
Merasa tak terima, Karel melempar balik kulit kacang kepada Dion di depannya. Jadilah perang kulit kacang tersebut berlangsung selama sekitar lima menit, sebelum Teza akhirnya mengajak Karel pulang ke rumah.
Baru kali ini rasanya Karel dan Teza bisa menikmati perjalanan pulang mereka dengan santai. Meski tetap, ada rasa was-was takut ditilang polisi lagi. Dalam menempuh waktu pulang selama empat puluh menit itu, Teza banyak bertanya apa yang dilakukan Karel hari ini. Apa yang istrinya lakukan bersama teman-teman band-nya, yang dijawab Karel dengan beragam kegiatan; bermain uno bersama, merecoki “kakak-kakak Pantomim” latihan, sampai menggantikan peran Teza sebagai vokalis. Teza mendengarkannya dengan saksama. Ia senang melihat Karel menikmati waktu liburannya, meskipun dengan berat hati, Teza jarang menemani. Setidaknya, ia akan tetap mencoba meluangkan wakut lebih banyak selagi istrinya ada di sini.
Begitu sampai di rumah, Karel berjalan masuk mendahului Teza. Ia melangkah ringan menuju tangga ke lantai dua, hendak ke kamarnya. Namun sebelum itu, ia berhenti tepat di depan pintu kamar orang tuanya, memberikan salam ucapan selamat tidur untuk sang suami yang kini berdiri di belakangnya, menatap Karel dengan pandangan bingung.
“Babay, Kayang. Aku ke kamar duluan, ya.”
Kening Teza otomatis mengerut, tak suka mendengar perkataan Karel. Teza berkacak pinggang seraya mendekat selangkah kepada sang istri.
“Kamu pikir aku bakal tidur di mana?”
Mendadak, raut wajah Karel berubah serba salah. Perempuan itu menyeringai lebar dan canggung. “Hehe… Itu… aku mau me time sama Tedi.”
“Nggak ada ya,” sambar Teza cepat. “Tedi aja yang tidur di kamar ini,” tegasnya lalu dengan tergesa-gesa, Teza menarik tangan Karel, menuntun istrinya menaiki tangga, menuju kamar yang telah ditinggali Karel sejak ia masih berusia tiga tahun.
“Tt — Tapi….” Karel berusaha menghentikan langkah Teza. Usahanya berhasil. Pria itu berbalik — masih dengan wajah kesal — menunggu kelanjutan kalimat Karel. “Anu… itu….”
“Itu apa?” tanya Teza tak sabar.
Karel menuduk, menatap lantai dengan gelisah. “Aa — aku malu pakai gaun tidur warna merah yang Kayang kasih. Kayak… nggak pakai baju?”
Teza yang semula dilingkupi emosi kini justru nyaris menyemburkan tawa mendengar pengakuan polos istrinya. Ia mengulum senyum, membayangkan sepanik apa Karel waktu melihat gaun tidur pemberiannya yang jumlahnya bahkan lebih dari sepuluh. Sebagian memang Teza sendiri yang memilih, tapi sebagian lagi merupakan hadiah dari desainer langganannya.
Teza akhirnya tersenyum, tangannya bergerak mengelus kepala Karel, berusaha menenangkan.
“Nggak apa-apa, nggak usah dipakai sekarag. Yang penting aku cuma mau ngobrol sambil pelukan sepanjang malam sama istri sendiri, masa nggak boleh?”
Setelah mendengar penjelasan Teza, Karel merasa jauh lebih lega, wajahnya juga ikutan tersipu mendengar ucapan manis dari mulut sang suami.
Tak ingin memperpanjang perdebatan konyol tersebut, Teza dan Karel akhirnya sepakat, hari itu dan hari-hari seterusnya, tak peduli pakai gaun tidur atau tidak, mereka harus melewati setiap malamnya bersama.
— tbc.