[Ready, Set, Love!] — Sad Love
Meski Teza sudah memperingatinya, Karel tetap datang.
Tidak ada gaun mewah, tidak pula riasan berlebihan. Hanya sebuah kebaya putih dan rok batik usang — peninggalan almarhumah ibunya — yang dikenakan Karel. Rambutnya ditata dalam gelungan simpel dengan hiasan seadanya oleh Inara. Asalkan rapi dan pantas untuk difoto.
Teza tak kalah sederhana. Kali ini ia tidak memesan jas secara khusus kepada desainer langganannya. Hanya mengenakan jas hitam yang membalut kemeja putih licin tanpa kerutan dan menempel sempurna di tubuh tegap pria itu.
Setelah datang mengendap-endap pagi buta, berjalan melewati lorong sambil mengenakan tudung layaknya penyihir, akhirnya Teza dan Karel sampai dengan selamat di kamar rawat Ian. Ayahnya masih tertidur waktu Teza bangunkan, memberitahunya pada pukul tujuh pagi nanti, sang penghulu akan datang. Hari menegangkan — dan seharusnya membahagiakan itu sudah tiba. Hari pernikahan Teza dan Karel.
Maka di sinilah muda-mudi itu duduk bersebelahan, dalam kamar rumah sakit yang meski tidak terlalu sempit, namun dikatakan luas juga tidak, di bawah sehelai kain renda putih yang memayungi kepala dua insan tersebut, seakan siap menjadi saksi akan janji sepasang manusia kepada Sang Khalik untuk saling menyayangi dan menjaga seumur hidup mereka. Jelas bukan tanggung jawab yang mudah, apalagi keduanya masih terbilang sangat muda.
Teza menunduk dalam diam selagi menunggu sang penghulu berbicara sebentar dengan Ian Arkana. Matanya melihat jari-jari Karel yang polos tanpa hiasan kuku saling bertaut. Teza menoleh menatap calon istrinya sendu. Kalau saja situasinya tidak begini, Teza ingin proses pernikahan mereka dilakukan dengan benar. Dimulai dengan kejutan lamaran yang romantis — mungkin dengan mengajak Karel candle light dinner atau lamaran langsung di atas panggung usai Teza menyanyikan satu lagu khusus untuk tunangannya. Lalu, pesta pernikahan mereka seharusnya lebih istimewa, lebih mewah, lebih indah, dan seharusnya paling tidak dihadiri oleh seluruh sahabat, kerabat, teman, dan seluruh keluarga besar. Bukan hanya seglintir orang terdekat seperti Dion, Tora, Inara, Dodo, dan juga Mario.
Teza ingin memberikan hadiah pernikahan terbaik karena Karel berhak mendapatkan semua itu. Bukannya acara akad nikah sederhana dan terburu-buru yang lagi, lebih seperti suasana berkabung. Alih-alih wangi bunga sedap malam dan melati, yang tercium justru campuran antara bau obat-obatan, cairan antiseptik, dan juga bau khas rumah sakit yang membuat Teza trauma.
Karel menoleh, melihat Teza sedang memandangnya setengah melamun. Tangannya menyentuh tangan Teza yang sama dinginnya, mungkin grogi. Karel tersenyum tipis, memberikan dukungan. Setelah itu, ia kembali menatap satu per satu Tora, Dion, dan Inara, tepat sebelum prosesi ijab kabul dimulai.
Karel mungkin tidak tahu apa arti sesungguhnya dari sebuah pernikahan. Makanya ia masih bisa tersenyum, seakan kebahagiaan baru sudah menantinya di depan mata. Tak tahu saja, hidup Karel bakal berubah total setelah ini.
Rasa iba itu muncul, tampak jelas di wajah Tora dan Dion yang sesungguhnya masih belum ikhlas menerima pernikahan Karel yang dinilai terlalu tergesa-gesa. Tapi apalah kehendak mereka kalau Karel sendiri justru dengan tangan terbuka menerima ajakan menikah dari Teza — memberikan kuasa hidupnya kepada pria itu, yang ia yakini akan selalu ada menemani di kala senang maupun susah.
Karel meremas rok batiknya seraya mengangguk mantap ketika ditanya penghulu, “Nak Karel sudah yakin ya mau menikah? Bukan karena terpaksa? Benar ini calon suaminya?”
Dengan begitu, dimulailah prosesi ijab kabul yang sudah dinanti-nanti. Ian Arkana dalam keadaan terduduk di atas kasur, menyaksikan penuh haru.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau saudara Teza Arkana bin Rahardian Arkana dengan Karelia Aubrey Agni binti Damar Ario Mirza dengan maskawin emas seberat dua puluh lima gram dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Karelia Aubrey Agni binti Damar Ario Mirza dengan maskawin tersebut tunai.”
Meneteslah air mata bahagia Ian setelah penghulu menyatakan Teza dan Karel kini resmi pasangan suami-istri yang tercatat oleh negara. Rasanya Ian ingin segera memeluk putranya ketika ia melihat Teza membacakan sighat taklik dengan nada suara sedikit bergetar.
“Saya, Teza Arkana bin Rahardian Arkana berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya Karelia Aubrey Agni binti Damar Ario Mirza dengan baik.” Teza menelan ludah, sejenak mengambil napas. Matanya masih tertunduk membaca selembar kertas yang diberikan penghulu tepat setelah ijab kabul selesai.
“Selanjutnya saya membacakan sighat taklik atas istri saya sebagai berikut. Sewaktu-waktu saya meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut, atau saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, atau saya membiarkan istri saya selama enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak rida dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima, dan istri saya membayar uang sebesar seribu rupiah sebagai pengganti kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya…”
Air mata Inara mentes deras mendengar janji yang dibacakan Teza. Apapun yang ingin ia lakukan untuk Karel kini harus melalui persetujuan suaminya. Karel bukan lagi putri kecilnya yang harus selalu ia kawal dan jaga kemanapun. Karel kini sepenuhnya adalah tanggung jawab Teza. Dan Inara hanya bisa berdoa, semoga kehidupan rumah tangga mereka bahagia meski ia tahu, jalannya tidak mudah.
Tangan Karel bergetar hebat kala Teza memasangkan cincin kawin di jari manisnya. Pria itu hanya sempat memandangnya sedetik sebelum kembali menunduk, seakan lantai rumah sakit yang polos tampak lebih menarik. Tapi Karel tidak sedih, namun dikatakan sangat bahagia juga tidak. Ia hanya merasa lega, karena sekarang ia resmi memiliki anggota keluarga baru. Ketika tangannya berhasil memasukan cincin kawin ke jari manis Teza, Karel tersenyum lebar kepada suaminya. Matanya sedikit berkaca-kaca.
Kak Teza, makasih udah mau jadi anggota keluarga Karel! Ucap gadis itu meski hanya dalam hati, semoga juga tersampaikan melalui senyuman yang ia berikan kepada Teza.
Sayangnya, usai acara akad nikah, bahkan hingga Karel harus segera meninggalkan rumah sakit, suaminya itu tidak mengajaknya berbicara sama sekali. Setelah berfoto-foto sebentar, Teza sibuk berbicara dengan Inara dan Ian, sementara Karel sibuk memamerkan cincin kawinnya kepada Tora dan Dion.
“Cie… udah nikah. Selamat, ya….” Dion memeluk tubuh Karel erat sementara Tora mengusap-usap kepala gadis itu.
“Makasih abang-abang… Semoga kalian juga cepet nyusul biar kita bisa foto pake cincin kawin bareng-bareng?”
“Ide kamu aneh banget,” aku Tora jujur. Karel mencebik. Ketiganya terus bercanda sampai waktu makan siang.
Karel mencoba mendekati Teza, tetapi setiap kali ingin menemui suaminya, pria itu selalu seperti sibuk sendiri. Entah menelepon, berbicara dengan Mario dan Dodo, atau mengurus keperluan Ian. Karel mencoba mengerti. Meski hatinya sedikit kecewa, Karel tetap mencoba tersenyum dan girang di hari pernikahannya.
Bagaimanapun… ini hari yang berat… untuk semua orang. Ia tidak boleh cengeng.
— tbc.