[Ready, Set, Love!] — Save Her

soljaecruise
6 min readOct 27, 2024

--

Sesorean ini Karel sibuk sekali. Menata rumah, merecoki Mbak Ayu memasak — minta dibuatkan minimal lima jenis lauk, menyiapkan playlist Tom and Jerry untuk ditonton, hingga mengganti seprai kamar orang tuanya, hanya demi menyambut kedatangan Teza. Barangkali suaminya ingin menginap.

Karel bahkan menyemprotkan lebih banyak parfum malamnya, sehabis mandi. Padahal biasanya ia jarang memakai wewangian di rumah, kecuali ketika Karel baru saja membeli parfum baru. Biasanya selalu ia bawa sepanjang tidur, agar terbiasa dengan wanginya.

Tapi hari ini jelas Karel tidak mengenakan parfum baru. Ia menyemprotkan parfum lama favoritnya yang hampir habis. Parfum yang sering ia kenakan ketika ia bertemu Teza — saat syuting, saat menonton konser The Phantom, atau saat mereka menyanyi bersama di atas panggung. Karel diam-diam tersenyum sambil bersandar pada sofa ruang keluarganya mengingat masa-masa itu, masa di mana Teza menjadi tempat terhangat yang selalu membuat Karel merasa aman dan nyaman.

Karel duduk menunggu dengan perasaan berdebar, gembira. Remote di genggaman tangannya dalam posisi siaga, siap memutar video Tom and Jerry. Hanya tinggal menunggu Teza tiba, Karel akan segera menyetel tontonan favorit mereka. Nyatanya, meski janji akan datang pada waktu makan malam, Teza datang empat puluh lima menit lebih lambat dari janjinya. Namun Karel tidak kecewa, Karel mencoba memahami kalau jalanan Jakarta yang macetnya tak masuk akal atau kesibukan Teza mungkin membuat pria itu tak bisa datang tepat waktu.

Karel melempar Tedi yang sedari tadi berada dalam pelukannya ke sofa dan melompat berdiri waktu mendengar pintu depan rumahnya terbuka. Perlahan, Teza melangkah tenang ke area dalam rumahnya. Pria itu datang dengan wajah kusut tanpa buah tangan apapun.

“HUSBANDO!” teriak Karel heboh, lalu menghambur memeluk Teza. Lengan Karel mengikat tubuh Teza kencang sehingga telinganya bisa menempel pada dada pria itu dan mendengar ritme jantungnya yang teratur.

Teza mengusap kepala Karel pelan. “Maaf ya terlambat. Tadi harus nungguin dokter dulu,” jelas Teza. “Udah makan?”

Karel menggeleng. “Nungguin Kak Teza.” Karel menjauhkan kepalanya, mencoba mendongak menatap wajah suaminya. Lingkaran hitam tampak makin jelas di bagian bawah mata pria itu. Karel tak bisa membayangkan, betapa lelahnya Teza harus berkelit dari kejaran media setiap kali ia datang ke rumah sakit untuk mengurus Ian.

Teza menunduk, balas melihat wajah Karel yang seperti biasanya, selalu cantik di mata Teza, bahkan ketika tanpa riasan sedikitpun. Kalau boleh jujur, menurut Teza, Karel terlihat paling cantik di hari pernikahan mereka beberapa hari yang lalu. Sayang waktu itu, rasa prihatin dan miris membuat lidah Teza kelu, tak sanggup berbicara.

“Sebelum makan… boleh ngomong dulu, sebentar?” Raut wajah Teza tampak serius, membuat Karel bingung campur penasaran. Kerutan di kening Karel terlihat jelas, nyaris menyatukan kedua alisnya.

“Ngomongin apa?”

Teza tak menjawab, malah melepaskan pelukan Karel dan menariknya duduk di sofa. Karel hanya menuruti.

Pertama-tama yang menarik perhatian gadis itu adalan cincin kawin Teza. Benda tersebut hilang dari jari manis pria itu. Agaknya Karel kecewa, tetapi tetap mencoba mengerti kalau Teza pasti tak bisa memakai benda tersebut di depan umum. Sebenarnya Karel mau bertanya, di mana Teza menaruhnya, tapi ia urungkan melihat raut murung suaminya. Diam-diam, Karel memutar-mutar cincin kawin di jari manisnya sendiri.

“Papa Ian gimana, Kak?”

Teza yang sempat terhanyut dalam lamunannya sendiri sedikit tersentak. “Papa Ian…,” hening menjeda sejenak, Teza menguatkan hati sebelum menyampaikan berita yang membuat Teza tidak tidur sama sekali semalam. “Papa Ian kritis, masuk ICU. Kemarin habis transfusi darah, kondisinya… malah drop.” Tangan Karel mengepal mendengarnya, hatinya menciut, sedih.

Teza kemudian perlahan mangangsurkan selembar kertas kepada Karel. Awalnya kedua alis Karel terangkat bingung, namun ia lekas membaca dengan patuh dan teliti seluruh informasi yang ada dalam lembaran penuh warna dan terlihat elegan tersebut. Karel memindai lambat-lambat, mencoba memproses sesempurna mungkin bahan bacaan di tangannya.

“Sekolah musik?” tanya Karel setelah berpikir panjang sambil mengangkat lembaran kertas di tangannya.

Teza berdeham, lalu mengangguk sekali. “Lo pergi kuliah, ya. Lo masih muda, punya banyak bakat yang bisa dikembangin. Dengan kondisi kita kaya begini, sayang kalau lo cuma bisa diem aja di rumah. Situasi sekarang… nggak bagus buat karir lo.”

Karel tanpa sadar meremas kertas di tangannya. Tubuhnya bergetar sementara matanya masih menatap mata Teza yang menghindari tatapan Karel.

“Kak… lo nyuruh gue… kuliah musik ke luar negeri? Kenapa, Kak? Gue emang nggak pinter, tapi gue tau Amerika itu jauh. Sasha pernah cerita, dia tiga puluh jam naik pesawat.” Bibir Karel bergetar hebat ketika mengatakannya dengan seluruh keberanian yang ia punya. Matanya berkaca-kaca dan tangannya mulai memukul-mukuli dada Teza dengan kesal. Lalu, Karel mulai terisak.

“Kenapa, Kak…?” tanya Karel parau. Sayup-sayup suara musik latar Tom and Jerry yang riang kontras meramaikan situasi sarat emosi dan kesedihan antara Karel dan Teza.

“Lo tahu kondisi Papa Ian sekarang gimana. Seluruh waktu gue tersita ke sana. Gue nggak bisa jagain lo, di sini nggak aman.”

“Kalau lo… hmpp hiks… kalau lo cuma merasa terbebani karena gue, karena harus nikah, lo nggak perlu ngusir gue jauh-jauh, Kak. Gue janji nggak bakal ganggu. Gue nggak mau kuliah, Kak. Gue takut naik pesawat jauh-jauh….” Tubuh Karel semakin bergetar hebat.

“Lo harus berangkat. Tiketnya udah dibeli. Pendaftaran kuliahnya juga udah diproses. Bunda Ina udah nyiapin semuanya,” lanjut Teza. Hatinya terasa disayat-sayat melihat wajah Karel yang memerah penuh amarah. Suaranya sengau.

Isakan-isakan kecil Karel berubah jadi ledakan tangisan. Hatinya hancur. Bagaimana mungkin, Teza, orang yang dirasanya akan selalu ada dan melindungi, satu-satunya anggota keluarga yang ia punya sekarang, justru mencoba mendorongnya menjauh. Karel benci, benci sekali mendengar Teza memintanya pergi jauh-jauh untuk melakukan hal yang tidak ia suka. Lebih dari itu, Karel benci, Teza membuatnya harus menghadapi rasa takut terbesarnya; bepergian jauh naik pesawat. Kelebatan berita kecelakaan pesawat yang dialami orang tuanya menghantui benak Karel seketika. Rasa trauma itu datang lagi, mengoyak-ngoyak benteng keteguhan dan ketabahan yang menguatkan Karel melanjutkan hidupnya selama ini.

“Karel,” panggil Teza lembut, mencoba menenangkan, tetapi Karel lebih dulu menepis tangan Teza. Tubuhnya membungkuk hingga punggungnya melengkung. Tangisannya berubah menjadi raungan yang tak terkendali.

“Lo jahat banget, Kak. Jahat banget… Gue benci sama lo. Mending lo nggak usah dateng ke sini.”

Makin lama, suara Karel makin mengecil, tenggelam bersama tangisannya. Teza akhirnya berhenti mencoba menyentuh gadis itu. Karel seperti landak yang meringkuk menjadi bola dan menegakkan duri, mencoba melindungi diri dari serangan. Dalam hal ini, Teza lah ancaman bagi Karel.

Teza menatap seisi rumah Karel yang jauh lebih rapi hari ini, lebih bersih dan wangi, seluruh perabotan tampak mengilat. Vas-vas bunga segar juga menghias cantik di setiap sudut ruangan. Namun yang paling membuat Teza kaget, ada foto pernikahannya dengan Karel — yang meski tampak suram dengan latar kamar rawat rumah sakit, tetapi menjadi satu-satunya kenangan manis yang bisa ia ingat pada hari itu. Foto berukuran cukup besar itu terpajang apik di tembok, tepat di sebelah foto Karel kecil bersama kedua orang tuanya. Hati Teza mencelus.

Ia adalah seorang bajingan, Teza harus mengakui itu. Suami mana yang tega mendiamkan istrinya berhari-hari dan datang hanya untuk mengusirnya pergi dari tempat teraman dan ternyamannya? Teza mempertanyakan empati dan rasa manusiawi dalam dirinya sendiri. Namun tetap saja, sisi rasionalitasnya merongrong untuk dibenarkan. Ini adalah keputusan terbaik untuk Karel, mungkin bukan untuk sekarang, tapi untuk masa depan gadis itu.

Teza mencoba menyentuh kepala Karel perlahan. Gadis itu diam, tak merespons. Mungkin terlalu lelah menangis. Teza kemudian mengenggam kedua pundak Karel, berusaha menegakkan tubuh gadis itu kembali meski sulit. Tubuh Karel terkulai nyaris seperti tak memiliki tulang. Gadis itu juga hanya bisa menunduk sambil tetap terisak. Wajahnya merah, basah, hidungnya berair. Teza mengambil beberapa lembar tisu dan menyeka wajah Karel dengan lembut.

“Nggak apa-apa lo benci gue sekarang. Yang penting lo aman di sana. Maafin, gue mungkin bukan suami yang baik buat lo. Tapi gue akan selalu berusaha buat ngasih yang terbaik buat lo, istri gue.”

Karel bergeming, nyaris seperti mayat hidup kecuali napasnya yang masih menderu meski sedikit terputus-putus karena hidungnya tersumbat.

“Terbaik buat siapa, Kak? Menurut siapa? Lo nggak pernah nanya apa gue mau, apa gue seneng pergi ke sana. Lo jahat banget, Kak,” Karel semakin meracau tak jelas. Tangannya meremas dadanya sendiri yang terasa sesak. Tangisnya pecah lagi.

Teza hanya bisa diam, menunggu sampai Karel bisa sedikit menenangkan diri. Ketika emosi Karel tampak sedikit lebih stabil, gadis itu menghapus sisa air matanya dan mencoba menegakkan tubuh.

“Gue nggak mau ngeliat lo lagi,” kata Karel dingin dan tajam, seperti bilah pisau baru diasah yang menghunus tepat di jantung Teza. Tangan Karel mengepal kuat hingga buku-buku jarinya semerah wajahnya. “Lo nggak perlu repot-repot ngurusin gue. Anggap aja… gue nggak ada, Kak.”

Setelah itu, Karel meninggalkan Teza, pergi ke kamarnya sendiri dan mengunci diri selama berhari-hari di sana.

(Kat Stratford — 10 Things I Hate about You)

tbc.

--

--

No responses yet