[Ready, Set, Love!] — Tekanan

soljaecruise
4 min readOct 26, 2024

--

“Dua penampilan konser The Phantom dibatalin karena kejadian ini.”

Benjamin melipat tangannya di dada, memperhatikan satu per satu tamu yang duduk di sofa ruang kerjanya — Mario, Jo, Tian, Samuel, Teza, dan juga Dodo. Keempatnya tertunduk, saling lirik dalam keresahan. Rambut Benjamin yang biasanya klimis hari ini berantakan, tandanya sang bos besar sedang pusing. Buntut kerumitan hubungan Teza dan Karel mulai menyebabkan kerugian finansial bagi perusahaan. Belum lagi panggilan telepon dari media yang nyaris tiada henti, membuat tim humas DWEnt. menuntut dibayar lembur.

“Gimana menurut kamu, Teza?”

Yang ditanya masih merunduk, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lusa akad nikahnya akan berlangsung, tetapi sampai detik ini Teza belum sampai hati melihat wajah Karel. Rasa bersalahnya terus menggunung. Kalau saja… kalau saja tidak menikah, Teza yakin suatu saat ia akan melihat Karel berdiri di atas panggung konsernya sendiri, menyanyikan kompilasi lagu dari setidaknya lima album yang telah dikeluarkan.

Teza mendesah, lalu mendongak, mendapati semua mata tertuju padanya. Mata Benjamin menyorot paling tajam, lurus tepat di seberang Teza.

Teza berdeham sebelum menjawab. “Supaya kalian tau…,” Ia lalu menarik napas sebelum melanjutkan, “gue dan Karel bakal nikah lusa. Bokap gue sakit, minta untuk segera nikah.” Seluruh rekan Teza terkesiap, kecuali Dodo dan Benjamin yang memang sudah mengetahui informasi itu lebih dulu. Mario yang duduk di sebelah Teza bahkan hampir mengguncang tubuh sahabatnya itu saking tak percaya. Nggak menyangka celetukan-celetukan asal Teza yang sering dibacanya di media sosial sahabatnya itu, jadi kenyataan.

“Jadi, kalau memang The Phantom perlu… nyari vokalis baru, gue nggak keberatan,” kata Teza lambat-lambat. Berat, bahkan menelan ludahnya sendiri pun sulit. The Phantom baginya sudah seperti jiwanya, bagian dari hidupnya yang tak terpisahkan. Teza merintis band itu sejak SMA bersama Mario. Dalam perjalanan berpindah dari satu kafe ke kafe lain, mereka menemukan Jojo dan Tian. The Phantom adalah gambaran masa remaja Teza yang indah, setelah mengalami masa suram karena kondisi ibunya.

Mario menggebrak meja, membuat seluruh hadirin terlonjak, tak terkecuali Teza sendiri. “Nggak bisa gitu! The Phantom ini ada karena lo! Enak aja lo main ninggalin kita!” protes Mario berapi-api. Napasnya bahkan sampai menderu saking banyaknya emosi meluap bak air mendidih yang luber dari ketel. Mendadak suasana ruangan terasa hening dan jauh lebih dingin.

Samuel segera menarik lengan Mario yang kini melotot menatap Teza, memintanya duduk kembali.

“Emang nggak ada solusi lain, Om?” tanya Tian lebih bijaksana. Di antara yang lain, sosok Tian memang dikenal paling tenang dan antihuru-hara, meskipun hobinya menggebuk drum.

“Kalian mau hiatus? Di saat album baru kalian mau diluncurin?” Raut wajah Benjamin jelas tidak senang. Gurat-gurat halus yang menggambarkan bagaimana pria itu telah bekerja keras selama bertahun-tahun membesarkan nama The Phantom tampak semakin jelas hari ini.

“Produksi album itu ada biayanya, ada orang-orang yang juga upahnya tergantung dari penjualan album kalian,” lanjut Benjamin. Posisi duduknya semakin maju, Benjamin menatap Teza cukup lama sebelum mendesah. “Tapi Om juga nggak mau Teza keluar dari The Phantom.”

Teza mendongak, terpekur melihat Benjamin. Tak mengerti ke mana arah pembicaraan ini akan menentukan nasibnya. Teza sekali lagi melirik rekan-rekannya satu per satu. Rasa bersalah yang kian menghinggapinya semakin berat. Teza tahu, tahun ini Jojo harus membiayai kuliah adiknya, Tian juga baru saja mencicil rumah baru, Mario… meski keuangannya lebih stabil, tetap harus menanggung biaya hidup kedua orang tuanya sebagai anak tertua.

“Teza, habis ini kita bicara berdua,” ucap Benjamin sebelum Teza sempat membuka mulut.

Benjamin memberi isyarat kepada anggota The Phantom dan Samuel untuk keluar ruangan. Begitu dalam ruangan hanya tersisa Teza dan Dodo, Benjamin tak membuang waktu untuk membahas jalan keluar dari permasalahan pelik yang sudah seminggu ini menjadi obrolan panas di media juga di kantor DWEnt. sendiri.

“Om nggak ngelarang kamu menikah.” Kalimat pertama Benjamin langsung menarik perhatian Teza yang hari ini jauh lebih sabar dan pendiam. “Tapi di situasi begini, nggak mungkin kamu dan Karel bisa mengumumkan hubungan kalian ke publik. Demi kebaikan kalian… dan Om juga yakin, kamu pasti mikirin karir Karel. Menurut Om… sebaiknya kalian jaga jarak dulu. Jangan tinggal bersama.”

Teza tak merespons, tetapi kalimat it uterus terngiang-ngiang di kepalanya bahkan setelah pembicaraannya dengan Benjamin selesai dan ia diizinkan kembali ke rumah sakit, menjenguk Ian. Kesimpulan dari pembicaraan hari itu hanya satu, Teza harus menunggu sampai keriuhan tentnag hubunganya dengan Karel mereda sebelum menata kembali, bukan hanya karirnya, tetapi juga masa depan The Phantom. Semua bergantung pada keputusannya dan Benjamin sudah memohon di atas lututnya tadi, agar Teza tidak egois kali ini. Banyak nasib yang dipertaruhkan dalam genggaman tangan Teza. Termasuk juga, nasib Karel.

Tidak ada yang tahu, dalam benak Teza Arkana — selagi pria itu menatapi jalanan kota Jakarta melalui kaca jendela mobilnya dalam pandangan kosong, sesungguhnya,

ia sudah memiliki rencana.

— tbc.

--

--

No responses yet