[Ready, Set, Love!] — Teza Ngamuk

soljaecruise
5 min readDec 16, 2024

--

Nihil. Sampai malam pun tak ada hasil. Teza masih belum mendapatkan sedikitpun info mengenai keberadaan Karel, apalagi kabar dari istrinya langsung. Bahu Teza terkulai lesu kala menapaki area depan villa setelah turun dari taksi. Langkahnya gontai.

Teza mengembuskan napas panjang — kesekian kali hari ini. Pihak kepolisian tadi sudah meyakinkan akan segera menghubungi Teza kalau mendapatkan sedikit saja informasi tentang Karel. Tapi itupun masih belum membuat Teza tenang. Ia hampir saja menghubungi pamannya yang merupakan salah seorang pejabat tinggi di kepolisian, tetapi belum sampai hati melakukannya.

Teza kembali melangkah menaiki anak tangga dengan tubuh lunglai. Tak lama, didengarnya suara mobil dengan kecepatan luamayan tinggi mengembuskan angin di balik tubuh Teza. Mobil itu berhenti mendadak tepat di depan gerbang — hingga terdengar suara decitan memekakakkan telinga. Teza hampir saja menyumpah serapah kepada sang pengemudi. Tetapi, ketika dilihatnya seorang gadis bertubuh mungil melompat keluar dari pintu penumpang belakang, Teza mengurungkan niatnya.

Rahangnya hampir jatuh melihat Karel — istrinya — melambai ceria kepada para penumpang di dalam mobil. Teza bisa melihat, ada seorang ibu-ibu duduk di kursi penumpang depan dan seorang gadis berusia sekitaran Karel duduk di kursi belakang. Tangan Karel juga penuh dengan empat kantung berlogo toko kue dan restoran terkenal di Bali.

Begitu mobil yang mengantarnya pergi, Karel menutup gerbang dan masuk ke area villa. Dilihatnya Teza berdiri mematung di tengah-tengah undakan tangga dengan mulut terkatup. Ekspresinya mengerikan, sampai-sampai Karel ikutan berhenti tepat di anak tangga terbawah. Kepalanya menunduk, bersiap dimarahi.

“Dari mana? Jam berapa sekarang?” tanya Teza dingin. Rahangnya berkedut menahan kesal. Di balik mulutnya yang rapat, gigi-gigi Teza beradu menahan rentetan omelan yang meronta minta dikeluarkan.

Karel terkekeh ngeri. “A — Anu, aku… tadi pas beli jajan ketemu temen SMA aku di minimarket. Terus…”

Karel menarik langkah mundur kala dilihatnya Teza mulai menuruni anak tangga, menghampirinya. Kedua tangan suaminya mengepal di kedua sisi tubuh.

“Terus?” tanya Teza menutut penjelasan lebih lanjut.

“Terus… aku lupa nama villa kita apa. Tadi pas pergi jalan-jalan aku sambil main lempar kerikil jadi nggak inget pulangnya ke arah mana…”

“Temen kamu siapa?” Teza berdiri berkacak pinggang. Tangannya meraih kantung-kantung belanjaan di tangan Karel dan menyimpannya di anak tangga terbawah. Teza langsung menyambar lengan Karel ketika dilihatnya sang istri hendak melarikan diri ke dalam villa.

“Ceritain dulu,” tegas Teza. Karel memberengut.

“Di dalam aja ceritanya,” pinta Karel.

“Enggak, di sini. Aku mau denger sekarang.”

Karel mengembuskan napas berat, menyerah. “Itu temen aku, si Lulla. Dulu duduknya di depan bangku aku sama Sasha. Sekarang keluarganya pindah ke Bali. Tadi aku diajak ke rumahnya, soalnya Mamahhnya Farah ngefans sama aku, katanya.”

“Terus kok tiba-tiba bisa inget jalan pulang ke sini? Kenapa baru pulang jam segini?”

“Kayang…” Karel mulai mengeluarkan jurus merengek. Ia sengaja memeluk Teza dengan manja. Namun sayangnya, tidak seperti dugaan Karel, Teza tidak langsung luluh. Pria itu masih saja menatapnya dengan galak.

“Ternyata di rumah Farah lagi ada acara keluarga besarnya. Aku ketahan di sana, diajak foto sambil nyanyi-nyanyi deh. Nih,” Karel mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya. “Tadi aku dapat saweran dari tante-tantenya Farah banyak banget.”

Bukannya merasa bangga seperti harapan Karel, Teza malah makin melotot melihat lembaran-lembaran uang lecek dalam genggaman tangan sang istri.

“Emang kamu kekurangan uang aku tanya? Kurang yang aku kasih?” tanya Teza murka. Teza bukannya tak tahu Karel juga memiliki banyak uang tanpa perlu nafkah yang ia berikan. Tetapi, Teza sama sekali tak bisa menerima bagaimana Karel diperlakukan dengan “saweran” tersebut.

Karel menggeleng cepat dan takut-takut. Wajahnya menatap ngeri ekspresi Teza yang kini sepertinya siap melahap siapapun orang-orang yang memberikan uang-uang recehan tersebut kepada Karel. Saking takutnya, Karel mulai terisak sungguhan.

“Maafin… tadi aku mau nelepon Kayang, tapi aku nggak inget nomornya. Terus aku cerita ke sepupunya Lulla, aku nginep di villa yang deket pantai. Ada tukang jualan nasi Bali yang laris banget di deket sini, tapi aku nggak tau apa namanya. Terus aku dianterin keluarga Lulla muter-muter nyari villa ini….” Tubuh Karel bergetar hebat.

Teza yang tak tega akhirnya memalingkan pandangannya sejenak, membuang napas dengan kasar sambil mengendalikan emosi dalam dirinya sendiri. Ia benar-benar kalut hari ini. Pikirannya kacau balau. Ia tak bisa membayangkan kalau sampai hal buruk terjadi pada istrinya. Bagaimana kalau Karel benar-benar diculik? Atau lebih buruk lagi, dimanfaatkan oleh pria-pria bejat tak bermoral untuk sekadar memuaskan hawa nafsu mereka?

Teza bergidik membayangkannya. Ia lantas segera merengkuh Karel ke dalam pelukannya.

“Maafin aku ya, Sayang. Aku panik dan sedih banget waktu kamu tiba-tiba hilang. Lain kali jangan gitu. Kalau laper kan bisa bangunin aku, kita cari sarapan keluar bareng.” Tangan Teza tak berhenti mengusap kepala Karel dengan lembut sementara sang istri masih terisak di dadanya.

“HUHUHU HUENGG KANGEN KAYANG, TAPI KAYANG GALAK BANGET KAYAK BARONGSAI….”

“Ya siapa yang nggak marah kalau punya istri bandel banget kayak kamu?”

Teza mengecup puncak kepala Karel berkali-kali sebelum membawa sang istri, berikut tentengan-tentangan makanan yang dibawanya ke dalam villa.

Malam kedua bulan madu Teza dan Karel jauh berbeda dengan malam sebelumnya. Tidak ada adegan ranjang yang panas. Hanya ada kecupan-kecupan kecil sebagai permintaan maaf baik dari Teza maupun Karel sendiri. Keduanya terus berpelukan sepanjang malam sambil menonton Tom and Jerry.

Teza sama sekali tak membiarkan Karel — yang matanya sembap karena keterusan menangis — beranjak dari sisinya. Jangankan keluar kamar, ke kamar mandi yang jaraknya hanya beberapa langkah dari kasur pun, Teza tetap mengekori Karel. Ia benar-benar takut Karel akan hilang lagi.

Ia tak bisa membayangkan, bagaimana hidupnya tanpa Karel. Teza takut, takut sekali membayangkannya.

Sampai Karel sudah terlelap karena kelelahan pun, Teza masih saja menciumi wajah sang istri dalam pelukannya.

“Aku ada di sebelah kamu aja kamu bisa hilang. Gimana kalo aku jauh dari kamu? Untung aku ikut pindah ke New York.”

Setelah menyampaikan keluh-kesahnya — meski Karel tak mendengar, tak lama Teza mendengar istrinya mengigau.

“Kayang,… heheh… Ular, Kayang, ular….” Lalu dilihatnya Karel menjlati bibirnya sendiri sebelum terkekeh. Sang istri lalu bergelung, memeluk tubuh Teza lebih erat, meninggalkan Teza terdiam mematung keheranan.

Apa sebenarnya yang sedang dimimpikan Karel sampai-sampai wajahnya masih tersenyum dan air liurnya hampir menetes?

Teza lalu bersungut-sungut sebelum menciumi wajah Karel kembali. Awas ya, besok pagi. Terima hukumanmu, bokemku!

— tbc

--

--

No responses yet