[Ready, Set, Love!] — Tunangan Siaga
TINNN TINNNN
“HUEKKK…”
Karel tahu sejak awal, usulan Teza untuk mengendarai kendaraan pribadi sendiri ke Puncak bukanlah ide yang bagus. Teza punya cara menyetir yang buruk. Emosian dan tak sabaran menghadapi kemacetan mengular di sepanjang jalan raya menuju Puncak, Bogor.
Karel sudah bosan menghitung berapa kali Teza membunyikan klakson dengan kencang, membuat kupingnya pengang. Selain itu, sekarang Karel juga mual. Perutnya serasa diaduk setiap kali Teza menekan pedal gas dan beberapa detik kemudian langsung menginjak pedal rem dalam-dalam. Tubuh Karel lemas, ia hanya bisa bersandar pada kursi mobil sambil berusaha kuat menahan hasrat ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya yang baru diisi makanan dua jam lalu.
“HUEKKK….” Teza menoleh panik, melihat Karel terkapar lesu dengan wajah pucat.
“Eeh…! Jangan muntah sembarangan.”
Karel mendelik. “Lo sih nyetir udah kayak apaan tau, Kak! Gue ini orang ya, bukan paket kargo!” Telapak tangan Karel terangkat kembali menutup mulut dan hidungnya, menghindari serangan rasa mual yang datang kembali. Tubuh Karel melengkung, membelakangi Teza.
“Tau gitu, gue berangkat sama Bang Tora, Bang Dion, sama Bunda Ina aja.” Karel masih bersungut-sungut meski suaranya terdengar semakin lemah.
Teza yang tak terima langsung protes. “Kenapa sih lo nggak seneng banget pergi sama gue?”
“Ya lagian lo — HUEKK….”
Teza otomatis menyambar kantung belanjaan berisi makanan ringan di belakang, menuangkan isinya asalan-asalan hingga berceceran di bawah kursi, dan dengan cepat menyerahkannya kepada Karel. Karel segera mengeluarkan isi perutnya dalam kantung plastik tersebut. Teza, yang sejatinya merasa jijik dan ikutan mual hanya bisa menahan napas dengan sabar. Ia tak bisa membuka kaca jendela. Bisa geger dunia selebriti Indonesia kalau sampai ada yang memergokinya berada satu mobil dengan Karel berdua saja. Karena tak punya pilihan, melihat kondisi Karel yang semakin lemas, ia memilih untuk menepi di salah satu minimarket untuk membeli obat.
“Lo tunggu sini ya, jangan lupa kunci pintunya. Gue beli obat sebentar.” Teza menekan tombol pelepas sabuk pengaman lalu meraih kantung belanjaan di tangan Karel dengan jijik. Ia mengikatnya sebelum keluar mobil dan melemparnya dengan kasar ke tempat sampah.
Di mobil, Karel bisa melihat gerak-gerik celingak-celinguk Teza yang mengenakan masker, topi, juga kacamata serba hitam. Ia semakin merasa hidup sebagai selebriti ternyata tidak semenyenangkan yang orang-orang pikir. Membayangkan setiap hari Teza harus keluar dengan penampilan serba tertutup membuat Karel capek duluan. Tak sanggup membayangkan kalau dirinya juga harus terus seperti itu.
Lima belas menit kemudian, ketika Karel nyaris terlelap, ia mendengar Teza mengetuk kaca jendela. Dengan cepat Karel menekan tombol kunci pintu otomatis agar Teza bisa masuk. Pria itu langsung melepas masker, kaca mata, berikut topinya begitu berada di dalam mobil. Teza mengeluarkan seluruh benda yang dibelinya dari minimarket. Ada obat pereda mual, minuman jamu herbal penghangat perut, dan juga minyak kayu putih.
Karel menatap gerak-gerik Teza dengan pandangan lemah. Ia mengantuk. Tangan Teza dengan cekatan menaburkan minyak kayu putih di sekitar pelipis dan tengkuk Karel sambil memijatnya pelan. Teza ingat, dulu itu yang sering ibunya lakukan kalau Teza merasa kurang enak badan.
“Udah enakan belum?” wajah Teza tampak cemas melihat Karel yang biasanya enerjik mendadak lesu. Karel mengangguk pelan.
“Pijit tangannya sekalian boleh, nggak?”
Teza mengernyit. “Kok ngelunjak?” Namun begitu, Teza tetap menuruti permintaan Karel. Tangannya memijat pelan lengan Karel hingga gadis itu tertidur. Sementara itu, Teza hanya bisa memandangi wajah Karel yang tampak damai. Tatapannya jatuh pada cincin bermata biru yang tergantung pada kalung di leher Karel.
Pelan-pelan, Teza melepas kalung tersebut, berusaha sehati-hati mungkin agar Karel tidak terbangun. Ia kemudian memasangkan cincin tersebut di jari manis Karel sambil tersenyum puas.
Tunangan gue, batin Teza sambil merapikan anak-anak rambut Karel yang menutupi wajahnya.
Setelah beristirahat sebentar, Teza kembali melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda. Karena kemacetan luar biasa dan kondisi Karel yang kurang sehat, mobil Teza melaju seperti siput. Pelan, sehingga akhirnya mereka baru sampai di villa persis jam makan malam tiba.
— tbc.