[Ready, Set, Love!] — Waiting for The Baby
Teza melirik jam tangannya dengan panik sambil berlari tegopoh-gopoh, napasnya menderu. Setelah terjebak kemacetan yang mengular sepanjang lima ratus meter di lampu merah akibat sebuah kecelakaan, ia memutuskan untuk turun dari mobil dan berlari, meniggalkan Dodo sendiri di balik kemudi van dengan mulut menganga lebar. Sebuah keputusan yang luar biasa berbahaya, mengingat Teza bahkan lupa memasang masker dan topi.
Teza sudah kadung gelisah. Ia nyaris terlambat dari janjinya: menemani Karel di kelas senam hari ini. Kelas Karel seharusnya sudah dimulai sejak Teza menapaki kakinya ke dalam bangunan ruko lima lantai tersebut. Sialnya lagi, karena lift yang beroperasi hanya satu, Teza terpaksa mendaki tangga sampai ke lantai lima. Di sana, ia masih harus berlari-lari sepanjang koridor sambil mengintip ke dalam tiap kelas untuk mengecek apakah istrinya berada di dalam. Begitu menemukan kelas yang ia cari, Teza langsung menerobos masuk.
Para peserta terdiam ketika tubuh besar Teza tiba-tiba saja muncul di sana, menginterupsi suasana kelas yang tenang. Para ibu hamil lain — berikut suami masing-masing — seperti sedang bersiap melakukan latihan jalan bebek. Teza menemukan istrinya sedang duduk bersila, memandang para peserta lain dengan bahu terkulai. Tinggal Karel sendiri yang tak punya pasangan. Suaminya belum datang.
Atau baru saja datang.
Karel tersenyum semringah ketika Teza menghampiri dengan napas ngos-ngosan. Sambil mengatur napas, Teza berusaha meminta maaf dan membantu Karel untuk jongkok, seperti para ibu hamil lain.
“Hhh… Maaf ya, sayang. Ada kecelakaan di jalan. Aku lari ke sini…” Teza mencium pipi Karel sekilas sebelum memeluknya, menjaga tubuh Karel tetap seimbang selagi mengubah posisi.
Karel tersenyum seraya menggeleng. Ia lalu meraih handuk kecil yang ia bawa dan menghapus bulir keringat di pelipis Teza.
“Makasih ya, Kayang udah mau dateng padahal baru selesai syuting.”
Mendengar ucapan sang istri, hati Teza langsung terenyuh. Karel tetaplah Karel, yang selalu merasa bersyukur memiliki orang-orang yang mau mendampinginya dan tak lagi membuatnya merasa sendiri. Padahal kalaupun Karel mau mengomel, Teza sudah siap menerimanya. Teza memang salah. Ia terlambat dari janjinya. Namun, Karel tidak protes sama sekali.
Saat posisi seluruh peserta sudah siap, sang instruktur senam memberikan aba-aba bahwa latihan segera dimulai. Teza bangkit berdiri — dengan posisi sedikit membungkuk karena tubuhnya terlalu tinggi — sambil tangannya terjulur memegangi tangan Karel. Pelan-pelan, Teza menuntun Karel berjalan jongkok sejauh satu meter, terus berulang selama sekitar sepuluh menit.
Meskipun jelas tampak ngos-ngosan karena kondisi perutnya yang besar, Karel tetap semangat. Di antara peserta yang lain, Karel adalah peserta termuda, gerakannya juga paling lincah. Namun tetap saja, kalau tidak ingat ini adalah kelas senam untuk ibu hamil, Teza pasti sudah menggendong Karel karena tak tega melihat wajah istrinya merah padam — kelelahan. Hati Teza mendadak kelu. Tak bisa membayangkan bagaimana Karel harus berjuang saat melahirkan nanti.
Dengan usaha sekuat tenaga menahan perasaan campur aduknya, Teza tiba-tiba saja memeluk Karel sebelum istrinya menyelesaikan repitisi terakhir. Sang instruktur senam pun sampai bingung, dikiranya Karel tidak kuat dan jatuh terduduk.
“Kayang kenapa?” tanya Karel bingung melihat Teza hanya diam, memeluknya, dan tak bersuara. “Kayang capek?”
Teza menggeleng, ingin tertawa rasanya. Pertanyaan itu lebih tepat Karel ajukan untuk dirinya sendiri, tetapi perempuan itu malah mengkhawatirkan suaminya. Teza melepaskan pelukannya di tubuh Karel lalu megecup perut sang istri, berusaha mengajak berbicara Carmen — putri mereka — di dalam perut.
“Jangan nyusahin Mimaw ya, Nak. Kasian, badannya kecil tapi harus gendong-gendong kamu yang badannya sebesar Pipaw.”
Karel terkikik mendengar ucapan Teza. “Jangan gitu, Pipaw. Nanti Carmen sedih. Mimaw oke-oke aja. Nggak keberatan sama sekali.”
Telunjuk Karel lalu bergerak menarik sudut-sudut bibir Teza, memaksa suaminya untuk tersenyum. “Kayang jangan sedih dong, kan sebentar lagi Carmen lahir. Rumah kita bakal makin rame hehehe….”
Teza ikutan terkekeh. Ia lalu meraih botol milik Karel, membukanya, dan membantu sang istri minum sebelum melanjutkan latihan.
Sore menjelang petang, usai senam, Karel duduk di sofa sebelah piano rumah Teza. Selama hamil, Karel dan Teza memang memutuskan untuk tinggal di rumah Ian agar Karel ada yang menemani. Dan setiap hari — kalau Teza ada di rumah — Karel akan merebahkan tubuh di sofa sambil memperhatikan Teza duduk di kursi piano, memainkan lagu-lagu prenatal — kadang juga menyanyi — untuknya.
Setiap kali mendengarkan Teza bermain piano, Karel bisa merasakan Carmen yang biasanya selalu lincah, aktif mendang-nendang perutnya, mendadak anteng. Mungkin ikut terbuai dengan alunan nada lembut yang dimainkan sang ayah. Jelas anak itu tidak tidur, karena setiap kali Teza menyelesaikan satu lagu dan berhenti sebelum memainkan lagu lain, Carmen akan menendang-nendang perut ibunya kembali, seakan protes kehilangan hiburannya.
Sore ini, seperti sore-sore sebelumnya, Teza memainkan lagu wajibnya — My Bonnie dan Do Re Mi. Karel sayup-sayup mendengarkan selagi terlena oleh rasa kantuk yang tiba-tiba saja menyerang. Mungkin ia kelelahan setelah senam, atau mungkin memang permainan piano Teza amat indah sampai Karel terbawa ke dunia mimpi.
Selagi memainkan lagu Canon — sesuai rikues sang ibu hamil — Teza melihat Karel tertidur. Sinar mentari sore yang menyorot wajah Karel — membuatnya tampak berkilau keemasan — sama sekali tak tampak membuat Karel terganggu. Karel berbaring pulas dengan posisi menyamping menghadap Teza. Samar, Teza bisa mendengar suara dengkuran halus keluar dari bibir sang istri.
Ketika sinar matahari mulai redup, Teza menyelesaikan permainannya. Ia menghampiri Karel yang terlelap dan berjongkok di sebelah sofa. Tangan Teza mengusap perut Karel pelan lalu mengecupnya beberapa kali.
Rasanya masih seperti mimpi. Teza ingat kejadian beberapa tahun lalu, di ruangan ini, ia memarahi Karel karena berani mencoba menyentuh pianonya. Momen itu menjadi titik balik bagi hidup Teza. Ia tak pernah menyangka, anak bandel yang dulu sering membuatnya emosi tersebut akan menjadi bagian penting yang tak bisa Teza pisahkan dari hidup dan dirinya sekarang, menjadi ibu dari anak-anaknya.
Teza mengecup bibir Karel singkat, membuat Karel menggeliat. Perlahan, kelopak matanya terbuka.
“Aku keboboan, ya?” tanya Karel sambil mengusap mata.
Teza mengangguk pelan. “Capek ya habis senam?”
Karel menguap sebelum balas mengangguk. “Terus sekarang laper hehehe…”
“Carmen apa Mimaw yang lapar?” tanya Teza sambil menggenggam tangan Karel erat di atas perut sang istri.
“Dua-duanya.”
Teza terkekeh. Persis sebelum ia berusaha membantu istrinya bangkit berdiri, Ian Arkana muncul — masih dengan celemek menempel di tubuhnya — dari balik tembok yang membatasi ruang keluarga dan ruang piano Teza. Wajahnya yang kini sedikit lebih tirus belepotan tepung.
“Makanannya udah siap. Ayo, Karel cantik. Papa Ian udah buatin pempek spesial buat kamu. Teza, cepat gendong istri kamu, Karel harus makan yang banyak biar cucu Papa lahir dalam keadaan sehat,” ucap Ian cerewet sambil berjalan kembali ke arah dapur.
Teza dan Karel sama-sama tertawa melihat betapa ceriwisnya Ian kian hari — tak sabar menantikan kehadiran sang cucu pertama. Ayo cepat keluar, Nak. Semua orang udah nungguin kamu, batin Karel sambil mengusap perutnya sendiri.
Setelah itu dengan bantuan Teza, Karel berjalan tertatih-tatih menyusul Ian yang sudah duduk manis di meja makan sambil menyiapkan makanan untuk sang cucu menantu.
Karel memandang piring makannya sendiri dengan mata berbinar.
“Banyak banget! Papa Ian keren! Tau aja aku laper hehehe….”
“Ayo, makan yang banyak. Ini Papa Ian udah bikinin Pempek Tedi Arwana, Tedi ikan buntal, Tedi ikan cucut juga ada.”
Teza yang sejak tadi hanya jadi pemerhati interaksi sang istri dengan ayahnya hanya geleng-geleng kepala sambil menyendok makanan ke piringnya sendiri. Meskipun tidak lagi mendapat perlakuan spesial dari Ian, Teza tidak protes. Ia ikhlas-ikhlas saja kalau ayahnya kini lebih memprioritaskan Karel, karena Teza juga akan melakukan hal yang sama kalau jadi Ian.
Pokoknya, apapun yang terbaik, rela Teza lakukan untuk Karel.
“Iya, iya, ini aku udah di jalan. Bawel banget sih, Bang Dion! Bang Tora, mana ponakan aku si Topan yang lagi berulang tahun itu?”
Teza yang sedang fokus mengemudikan mobil melirik istrinya. Ia melihat tangan Karel menggenggam ponsel, matanya fokus ke layar. Sejak lima menit lalu, Karel sibuk melakukan panggilan video bersama para kakak sepupunya yang sudah berkumpul di rumah Tora untuk merayakan ulang tahun kedua putra pertamanya, Taufan. Acara itu juga yang menjadi tujuan Teza dan Karel sore ini.
“Taufan, Karel,” ralat Tora.
Karel sengaja memiringkan sedikit ponselnya agar sosok Teza bisa ikut masuk ke layarnya. Teza melirik sekilas sambil melambaikan tangan kala layar ponsel Karel menampilkan tiga orang lelaki di dalamnya; Tora, Dion, dan juga Taufan.
“Halo, Taufan. Om Teza sama Tante Karel bawa kado gede loh….”
“Coba tebak apa?” Karel menimpali omongan Teza dengan semangat menggoda Taufan.
“Apah?” tanya Taufan. Wajahnya belepotan nasi yang disuapi oleh Dion.
“Rahasia! Tunggu ya, sebentar lagi Tante Karel sama Om Teza nyampe!”
“Acik…” Taufan bertepuk tangan girang. Ia lalu berlari ke arah Adel yang datang sambil membawa kue ulang tahun berbentuk Ben 10 dengan lilin angka dua di atasnya. Layar ponsel Karel kembali dipenuhi hanya oleh wajah Dion dan Tora.
“Jangan ngebut-ngebut, Za. Santai aja. Acaranya belum mau mulai kok,” pesan Tora kepada Teza yang kini fokus menatap rambu-rambu lalu lintas di depannya.
“Aman, Bang Tor,” sahut Teza. “Ini Karel katanya nggak sabar mau makan bingkisan ulang tahun Taufan.”
“Bang Dion jangan rebut jatah aku!” seru Karel sambil melotot kepada Dion yang kini menjulurkan lidah, sengaja meledeknya.
“Makanya buruan nyampe sini.”
“Iya, iya. Ini kan aku bilang udah di jalan — ADUH!”
Suasana hening seketika. Karel mencengkram ponselnya. Tangannya yang lain meraba bagian perutnya yang mendadak terasa keras dan mengencang. Tak berapa lama, Karel merasakan perutnya seperti diaduk-aduk — tidak, lebih parah dari itu, perutnya seperti diremas kuat-kuat. Karel hampir menangis merasakan sakit menjalar ke seluruh bagian perut hingga punggungnya. Seakan tubuhnya remuk, Karel tidak bisa menemukan posisi nyaman sama sekali.
Ponsel Karel lolos dari genggamannya. Sayup-sayup, suara panik Dion masih sempat terdengar. “Karel, kamu kenapa?”
Melihat istrinya merengek kesakitan, air muka Teza berubah panik. Ia bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana permukaan perut Karel bergolak. Anaknya bergerak gelisah ke kanan-kiri, seperti meronta kesempitan di perut sang ibu.
“Kk — Kak… Carmen… kayaknya minta keluar dari perut,” ucap Karel dengan napas sedikit ngos-ngosan.
Teza sigap memutar kemudi, berbalik arah. “Iya, sayang. Sabar, ya. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Jantung Teza berdebar kencang. Ia menekan pedal gas dalam-dalam.
Hari yang dinanti-nantikan ternyata datang lebih cepat.
— tbc.