[Ready, Set, Love!] — With a Great Big Hug and Kiss from Me to You, Won’t You Say You Love Me Too?
Eyes closed. Don’t look.
It’s coming to you, haunting.
Oh, can’t you smell it? It’s your fear.
Fear of losing.
Karel mengerjap, terkesima. Percikan kembang api menyala dari panggung. Lampu-lampu sorot bergerak cepat memutar, seakan mencari para pengecut yang tak berani bersuara menyambut kehadiran sang idola. Cahaya panggung yang redup perlahan terang. Asap-asap mengepul menyambut kehadiran para personel The Phantom.
Ketika tabuhan drum mengentak cepat beradu dengan melodi gitar yang bising, Karel melihat Teza melompat dari kepulan asap. Kakinya melangkah lebar-lebar, berlari separuh membungkuk dari satu sisi panggung ke sisi lainnya. Tangannya memegang mic mantap, memastikan benda itu berada pada posisi yang pas, sehingga para penggemar The Phantom bisa mendengar suara bass khas Teza menghantui, menyusup ke dalam pikiran mereka — tak terkecuali Karel yang malam ini akhirnya menyatakan diri sebagai penggemar The Phantom.
Atau haruskah Karel juga mengakui kalau ia sedang mempertimbangkan untuk bergabung menjadi The FantasTEZ? Karena demi apapun yang hidup di bumi, tidak ada satupun makhluk yang memiliki daya tarik sekuat Teza Arkana. Pria itu seperti magnet yang menyerap seluruh perhatian orang-orang tanpa peringatan “Hati-hati, kau mungkin tersesat”.
Itu yang dirasakan Karel sekarang. Matanya tersesat dalam setiap gerak-gerik Teza. Bagaimana pria itu mengerling, menyodorkan mic kepada penonton — mengajak bernyanyi, dan berteriak, Karel nyaris gila. Dia siap menandatangani formulir pendaftaran sebagai penggemar Teza Arkana sekarang!
Bara yang duduk di sebelah Karel pun bisa melihat itu — bagaimana Karel terpesona dengan penampilan The Phantom. Atau mungkin Bara hanya menolak mengakui kalau Karel memang sedang memberikan tatapan memuja kepada sang vokalis. Sampai-sampai, ketika Bara mencoba mengajak Karel berbicara, perempuan itu tak menanggapi, bahkan sepertinya tidak sadar kalau ia tidak menonton sendirian. Bara harus mencolek lengan Karel untuk mendapatkan perhatian gadis itu.
“Lo penggemar The Phantom?” tanya Bara separuh berteriak. Karel mengangguk sambil curi-curi melirik ke panggung. “Sejak kapan?” lanjut Bara. Kepalanya mendekat ke telinga Karel.
Karel tak menjawab. Sibuk menggoyangkan sedikit tubuh mengikuti irama lagu yang mengentak-entak. Bara tak menyerah. Ia bertanya sekali lagi. “Sejak kapan?”
Karel menoleh, wajahnya tampak bingung. Ia sama sekali tidak menyimak obrolan Bara barusan.
“Bara, jangan ngomong terus. Gue nggak fokus dengerin konsernya,” protes Karel, membuat Bara menciut di tempat.
Pria itu merasa bosan karena The Phantom bukan selera musiknya. Ia kira ia terselamatkan ketika Maya mengambil alih jatah kursi miliknya sehingga Bara harus duduk di sebelah Karel — di kursi yang seharusnya ditempati Maya. Bara tidak mengira, di antara para pemain film yang lain, Karel justru yang paling girang dan bersemangat menonton konser.
Bara menghentikan usahanya mengajak Karel berbicara. Selain karena tak mendapat tanggapan, Bara merasa teriakan Teza menyanyikan lagu juga makin keras. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi kalau Teza yang sedari tadi berlarian mengelilingi panggung mendadak diam di satu tempat — tepat di hadapan kursinya dan Karel — Bara boleh kan menaruh curiga? Cara Teza melihatnya membuat Bara merasa seperti mendapat peringatan.
Irama musik berlari makin cepat. Kaki Karel mengetuk-ngetuk lantai mengikuti irama, tangannya ikut diayunkan di atas kepala, sama seperti penonton yang lain. Ketika Teza mengakhiri lagu pembuka, tepuk tangan riuh menyambut. Dan dia senang, di antara para penonton itu, ada Karel yang bertepuk tangan untuknya. Bokemnya.
***
Teza menenggak habis botol air mineral kesekiannya malam ini. Konser telah selesai. Para penonton berbondong-bondong keluar, menanti The Phantom di depan pintu gerbang untuk memberi salam. Tetapi Teza ingin mengulur waktu lebih lama. Ia ingin menemui tunangannya — itu yang paling utama, menemui pemain film Me vs Boyfriend yang lain hanyalah pelengkap. Namun betapa kecewanya Teza begitu ia bergabung dengan personel The Phantom yang lain, menyapa teman-teman sesama aktrisnya di backstage, Karel justru berdiri di sebelah Bara. Mereka sibuk mengobrol berdua sementara para pemain lain mengobrol dengan para anggota The Phantom yang lain.
Teza geram, tangannya mengepal di kedua sisi. Perlahan ia menyelinap di antara orang-orang, sambil masih mengobrol ceria. Awalnya ia mengambil posisi tepat di sebelah Karel. Lalu, tangannya sigap menarik ujung pakaian gadis itu.
Teza dengan lihai — sambil masih mengobrol dan tersenyum ramah kepada Elsa dan Maya — menggeser tubuh Karel. Perlahan namun pasti, tubuh Karel berpindah sedikit demi sedikit, melewati punggung Teza, sehingga kini posisi Teza menghalangi keseruan obrolan Karel dan Bara. Tubuh besar pria itu memblokir pandangan Karel. Awalnya, Karel masih berusaha melanjutkan mengobrol meski harus mengintip-intip ke belakang tubuh Teza. Namun akhirnya ia menyerah. Setiap kali Karel bergerak, tubuh Teza juga akan ikut bergerak memberi pembatas. Bara, di sisi yang lain, merasa seperti menerima peringatan kedua dari Teza. Ia ikut menyerah.
Usai mengambil foto bersama — dengan posisi Teza berdiri di sebelah Karel tentunya — para pemain film pamit kepada tuan rumah. Satu per satu dari mereka pergi, menyisakan Karel sebagai pengunjung terakhir.
“Ayo pulang, Karel,” ajak Bunda Ina. Karel mengangguk, hendak menyusul Inara yang sudah berjalan keluar lebih dulu. Namun mendadak, seseorang menarik tangannya. Seseorang itu membawa Karel pergi, jauh ke bagian dalam backstage, ke ruang ganti dan rias para personel The Phantom.
Teza langsung menutup pintu setelah menyembunyikan Karel ke balik sofa. Akhirnya, sungguh sebuah penantian yang amat panjang, Teza bisa bertemu dan berdua saja dengan tunangannya. Seakan seluruh dunia ingin mempersulit keinginannya yang satu ini. Begitu melihat wajah Karel, Teza tahu penantiannya tidak sia-sia. Karel tersenyum lebar menatap Teza.
“Halo, Kak Teza,” sapa Karel ceria.
Teza menahan diri untuk tidak langsung memeluk Karel. Ia masih agak gondok mengingat bagaimana Karel menghabiskan waktu lebih banyak untuk bersama Bara ketimbang bersamanya.
“Ngapain tadi bisik-bisik sama Bara? Ngomongin apa?” tembak Teza.
Matanya bergerak tak sabar memindai wajah Karel, memastikan tunangannya baik-baik saja dan tidak terpapar sedikitpun oleh pesona pria yang tadi membuat darah Teza mendidih ketika berada di panggung. Kalau bukan karena profesionalisme dan kewajiban menjaga reputasi The Phantom, Teza pasti sudah melompat ke bawah dan menerjang Bara dengan sadis menggunakan stand mic. Beraninya. Berani-beraninya pria itu memaksa mengajak Karel berbicara dalam jarak intim di depan Teza terang-terangan.
Mata Teza berhenti bergerak ketika Karel cengengesan. Pandangannya fokus menatap keseluruhan wajah gadis itu yang malam ini dipoles riasan wajah tipis. Pipi Karel merona sempurna, bibirnya semerah buah seri yang baru ranum.
“Hehehe… lupa….”
Teza mengembuskan napas keras sebelum menjitak Karel pelan saking gemasnya. “Sombong banget. Giliran gue dari tadi dikacangin, nggak diajak ngobrol.” Bibir Teza mencebik.
“Ini ngobrol?” balas Karel.
“Emang lo nggak kangen sama gue?” pertanyaan Teza semakin menuntut.
Karel mengangguk-angguk. “Kangen.”
Belum sempat Teza merasa tersipu mendengar jawaban Karel, telinganya menangkap suara grasak-grusuk di depan pintu. Terdengar seperti suara Bunda Ina yang mencari-cari Karel. Teza dan Karel bertatapan, wajah Teza sedikit panik dan cemas. Ia tahu waktunya tidak banyak untuk bertemu sang tunangan. Ia berharap bisa menculik Karel dan membawanya kabur malam itu.
Suara ribut kembali terdengar di luar. Karel menoleh ke arah pintu sebelum bergerak cepat memeluk tubuh Teza erat.
“Kangen banget sama Om Tedi,” ucap karel pelan, kepalanya menempel tepat di dada Teza yang sedang sibuk menabuh drum. “Semangat tur konsernya!”
Dengan begitu, Karel melepaskan pelukannya tiba-tiba, menyisakan rasa hampa yang kembali menyelinap di dada Teza. Pria itu termenung, pikirannya korslet ketika berusaha mencerna situasi yang terjadi antaranya dirinya dan Karel.
Karel berlari, menjauhi Teza ke arah pintu sambil melambai-lambai berpamitan. Untungnya, Teza keburu sadar. Ia cepat-cepat memanggil Karel.
“Karel!”
Karel berhenti tepat sebelum memegang gagang pintu. Tubuhnya berbalik menghadap Teza, menemukan wajah tunangannya masih diselimuti keterkejutan dan kebingungan.
Seakan baru teringat sesuatu, Karel kembali berlari kecil menghampiri Teza. “Oh iya, lupa,” ujarnya sebelum meminta Teza menunduk, seperti ingin membisikkan sesuatu. Teza mengikuti perintah Karel. Tubuhnya membungkuk sehingga tinggi kepala mereka sejajar.
Teza kira Karel akan mengatakan sesuatu di telinganya. Sesuatu yang manis seperti yang dilakukan Karel kepadanya beberapa menit lalu. Namun pria itu salah, karena yang dilakukan Karel bukan hanya membisikkan kata-kata manis. Jauh, lebih jauh dari apa yang Teza bayangkan.
Karel mengcup cuping hidung Teza sebelum berlari ke pintu dan berseru,
“Semangat, tunjanganku!”
Lalu, bocah itu menghilang secepat embusan angin. Teza sempat mendengar suara Karel berbicara “Iya, aku lagi mau nyari toilet terus nyasar.” disusul suara langkah kaki yang kian lama kian menjauh. Sementara, Teza masih terdiam di tempat, termenung.
Ia baru saja dirampok. Hatinya baru saja dirampok oleh anak kecil!
— tbc.