[Kembaliannya Mana?] — The Happiest Day

soljaecruise
4 min readSep 21, 2024

--

Sebelum beranjak menuju meja akad, Sadam Januar merasakan jantungnya berdebar ribuan kali lebih cepat. Sebenarnya sudah berlangsung selama beberapa lama, tepatnya sejak Sadam gagal menaikkan ritsleting celana putih yang ia kenakan karena tangannya bergetar akibat nervous.

Tepat saat itu, pintu kamar hotelnya diketuk. Panggilan Sultan memecahkan konsenterasi Sadam.

“Dam, udah belom?”

“Belom. Tolongin ini beh!” Sadam berteriak meminta bantuan Sultan. Babehnya datang tergopoh-gopoh. Dikiranya Sadam kesakitan, taunya hanya terserang rasa panik.

“BEH! NGGAK BISA NAIK CELANANYA.”

Sadam menengok ke kanan dan kiri, takut tiba-tiba ada yang memergokinya selain ayahnya. Padahal kamar hotel itu hanya Sadam tempati sendiri. Karena kesepian, Sadam tadi malam juga sengaja mengundang Tama dan Pepet untuk bermain gaple di kamarnya.

“Nggak bisa naik begimana si, Dam? Itu pan celana udah lu pake.” Sultan berkacak pinggang.

“M-maksudnya ritsletingnya, Beh!”

Sultan mendekati Sadam, menempatkan tangannya di atas ibu jari Sadam yang berusaha menaikkan ritsleting sekuat tenaga hingga wajahnya memerah.

“Jangan lu paksa begitu. Nanti jebol!” omel Sultan sambil menepuk tangan Sadam, mengusirnya sehingga hanya tangannya sendiri tersisa di sana. Sadam menunduk, menatap jeli ibu jari Sultan Januar yang mulai ikut memerah karena terlalu kuat menekan kaitan ritsleting.

“Beh, pelan-pelan, Beh. Pusaka berharga penerus klan Januar ini. Kalo gak bisa berfungsi lagi berabe.”

Sultan menyeringai sinis. “Sepele lu. Genetik gua mah kuat, gak gampang rusak begini doang.” Ritsleting di tangan Sultan mulai bergerak naik dengan kecepatan di luar kendali, melesak kuat hingga ke bagian ujung.

Sadam berteriak, melenguh kencang saat kaitan ritsleting menjepit sebagian kulit bagian sensitifnya yang hanya terhalang boxer tipis.

“ARGHH… BEH!” Sadam berguling ke kasur. Melihat pose Sadam yang meringkuk seperti udang, wajah Sultan berubah panik. “Dam, emang kena?”

Sadam tak sanggup menjawab, kini ia malah menungging di atas kasur, membelakangi Sultan, berusaha mencari posisi terbaik untuk meredakan rasa sakitnya.

“Sadam kan udah bilang pelan-pelan, Beh! Kalo putus begimana coba??”

“Mana mungkin putus sih, Dam. Gak usah aneh-aneh lu ngomong.” Wajah Sultan mengerut menatap Sadam yang masih bergerak ke kiri-kanan, seperti bebek yang melenggak-lenggok. “Udah nggak usah manja. Buruan pake baju lu. Bentar lagi penghulu dateng.”

Begitu ditinggalkan ayahnya sendirian di dalam kamar, Sadam mulai merangkak turun dari kasur. Ia berjalan sedikit sempoyongan menuju lemari, tempat jas putihnya digantung. Di depan cermin, sambil mengenakan bajunya, Sadam terus meratapi kecelakaan kecil barusan.

Sadam menunjuk bayangan dirinya sendiri di kaca. “Okeh, tenang. Lecet dikit gak ngaruh. Jangan malu-maluin depan Raya. Tunjukin kalo lu laki!”

****

Begitu sampai di meja akad, debaran jantung Sadam kembali meningkat drastis. Tangannya bahkan butuh meraba tepian meja begitu ia duduk di kursi, memastikan tubuhnya tidak terjatuh.

Begitu sang penghulu datang, Sadam tak bisa menahan rasa cemas yang semakin menggerayangi. Dalam hitungan menit, ia akan segera menjadi suami bagi Ratu Soraya. Memikirkannya saja sudah membuat Sadam nyaris pingsan saking senangnya. Perempuan idamannya, yang ia kejar mati-matian, akan menjadi miliknya, seutuhnya, sebentar lagi.

Sadam menjabat tangan Indra — Ayah Raya — erat, hatinya sudah mantap. Ia pun segera mengucapkan ijab kabulnya dengan lantang begitu Indra mempererat jabatan tangan Sadam, memberi isyarat.

“Saya terima nikah dan kawinnya Ratu Soraya binti Indra Mustafa dengan mas kawin seperangkat alat solat dan emas senilai seratus gram dibayar tunai.”

“Sah?”

“SAH!”

“Alhamdulillah.”

Darah di sekujur tubuh Sadam akhirnya mengalir kembali. Kimi yang menatap abangnya dari kursi undangan keluarga menangis terharu. Ia menyandarkan kepalanya pada Samm yang duduk setia di sebelah Kimi.

Tiba saatnya mempelai wanita datang. Raya, ditemani Tania dan Uta, berjalan perlahan, membelah tumpukan mawar putih di bawah kakinya yang memenuhi jalur menuju meja akad. Dari jauh pun Sadam bisa melihat Raya — istrinya — tampak bersinar seperti malaikat dalam balutan kebaya putih dan hiasan siger mengilat di kepalanya.

Raya menunduk sambil tersenyum malu-malu begitu tiba di meja akad, wajahnya enggan menatap Sadam yang sudah tersenyum lebar sejak melihat Raya datang. Rasanya tak sabar ingin menghujani wajah Raya dengan ciuman bertubi-tubi dan mengklaim perempuan itu sebagai istrinya ke depan semua orang.

Namun tidak, di hari spesial ini, Sadam berusaha menahan segala hasrat menggebu-gebu yang ia rasakan. Sesuai pesan pepet, “Lu berwibawa dikit ye udah jadi suami. Jangan malu-maluin lu besok. Tar kalo udah di kamar, berdua, lu bebas dah mau ngapain aja.”

Saat Raya meraih tangan Sadam, hendak menciumnya, tubuh Sadam mulai bergetar penuh rasa haru. Matanya terasa basah, tapi sekuat tenaga Sadam berusaha membendung air mata di pelupuk matanya.

Sadam balas mencium kening Raya, lalu memeluknya erat sambil mengusap-usap tubuh mungil istrinya dalam dekapannya.

“Makasih ya, Yang. Makasih udah nerima aku jadi suami kamu.”

Raya balas memeluk Sadam erat. “Aku yang makasih. Kamu selalu sabar nungguin aku. Halovyuu, Sadam Januar.”

Sadam tertawa mendengar candaan Raya. “Halovyu tuu istrikuu,” balas Sadam dengan suara sedikit kencang hingga terdengar ke kursi para tamu undangan.

“WOI MALU WOI SAMA PENONTON!!” Teriak Pepet dengan hasrat menggebu-gebu ingin melempar selop kepada Sadam.

Sadam dan Raya melepaskan pelukan masing-masing, tersenyum dan tertawa tak tahu malu kepada penghulu maupun keluarga mereka yang menjadi tamu akad nikah.

“Maklum, baru pertama kali nikah,” jawab Sadam cengengesan yang langsung disambut sikutan oleh Raya.

“Yang, plis, jangan bercanda dulu.”

Sadam kembali menatap Raya masih sambil cengengesan. Ia pun merunduk, sengaja ingin berbisik. “Nanti kalo udah di kamar berduaan doang boleh bercanda apa aja?”

Raya mendadak merinding mendengarnya, tetapi ia hanya bisa menelan ludah sambil menjawab dan tetap tersenyum. “Boleh.”

****

--

--

No responses yet